SURABAYA, FaktualNews.co – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai izin yang dikeluarkan usaha pertambangan eksplorasi emas di Kecamatan Silo, Kabupaten Jember, merupakan bentuk ketidak pedulian pemerintah terhadap rakyatnya. Diantaranya untuk melindungi dan menjaga keselamatan rakyatnya yang berada di pesisir selatan Pulau Jawa.
Pernyataan ini menanggapi soal dikeluarkannya Kementerian ESDM telah mengeluarkan izin melalui surat Keputusan Menteri ESDM No. 1802 K/30/MEM/2018 tentang Wilayah Izin Usaha Pertambangan dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus Periode Tahun 2018.
“Keputusan Menteri ESDM ini semakin memperpanjang daftar izin usaha pertambangan di wilayah pesisir selatan, setelah penetapan izin usaha pertambangan emas di kawasan Tumpang Pitu, Banyuwangi dan Trenggalek,” tutur Direktur Walhi Jatim, Tri Jambore Christanto dalam rilisnya, Jumat (21/9/2018).
Meski, kata dia, pertambangan mineral dan batubara menunjukkan bahwa per 29 Agustus 2016, jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Jawa Timur, mengalami penurunan bila dibanding data Kementrian ESDM di tahun 2012. Yaitu dari 378 IUP di tahun 2012, menjadi 347 IUP di tahun 2016.
“Namun terdapat peningkatan signifikan terhadap luasan lahan pertambangan. Jika di tahun 2012 luas lahan pertambangan di Jawa Timur, hanya 86.904 hektar, pada tahun 2016 tercatat luasan lahan pertambangan di Jawa Timur mencapai 551.649 hektar,” rincinya.
Dijelaskan Rere (sapaan Tri Jambore Crhristanto), data tersebut dihimpun dari Koordinasi-Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (Korsup KPK). Dengan mengacu pada angka didalam dokumen tersebut, maka kenaikan jumlah lahan pertambangan di Jawa Timur, mencapai kenaikan 535% hanya dalam jangka waktu 4 tahun saja.
Hal lain yang menurut pihaknya menjadi pertanyaan besar adalah soal dikeluarkannya surat Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Timur, No 545/981/119.2/2016 tertanggal 29 Februari 2016, perihal usulan Penetapan WIUP Mineral Logam. Padahal, masyarakat setempat menolak terhadap aktivitas pertambangan di wilayahnya tersebut.
“Kawasan selatan Jawa Timur, telah lama menjadi kawasan budidaya, baik pertanian maupun perikanan tangkap, sehingga aktivitas pertambangan yang eksploitatif, rakus lahan dan rakus air akan menimbulkan gesekan dengan kebutuhan warga akan keberlanjutan fungsi-fungsi alam sebagai syarat budidaya mereka,” tandas aktivis alumnus Universitas Brawijaya ini.
Pada kesempatan itu, dirinya juga menyampaikan bahwa permasalahan terkait pertambangan di wilayah pesisir selatan Jawa Timur, kerap terjadi mulai dari kawasan Tumpang Pitu, di Banyuwangi, tambang emas Trenggalek, Pantai Jolosutro di Blitar, Pantai Wonogoro di Kabupaten Malang, hingga pertambangan pasir di Lumajang.
Akan tetapi, munculnya konflik yang bahkan sampai menelan korban jiwa seperti kasus Salim Kancil di Lumajang. Menurutnya sama sekali tidak menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk segera melakukan perubahan penataan kawasan, “Bahkan terus menerus memberikan izin usaha pertambangan di wilayah selatan Jawa Timur,” tegasnya
Ditandaskan, aktivitas pertambangan yang tidak mengindahkan keselamatan lingkungan telah lama menjadi momok mengerikan bagi masyarakat. Selain menyebabkan eskalasi konflik lahan, jelasnya, pertambangan juga mengakibatkan peningkatan bencana ekologis. “Sehingga pemberian perijinan pertambangan terhadap wilayah yang mempunyai nilai penting secara ekologis seperti Kecamatan Silo ini tidak bisa terus dibiarkan,” imbuhnya.
Menurut catatan WALHI Jawa Timur, sejak awal 2017 hingga sekarang, telah tercatat sedikitnya ada 482 kejadian bencana ekologis di seluruh Jawa Timur. Hal ini menunjukkan peningkatan dari catatan tahun 2016 yang hanya mencatat 386 kejadian bencana ekologis.
Bencana ekologis adalah akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan lingkungan dan gagalnya sistem pengurusan alam. Banjir, tanah longsor, abrasi, dan kekeringan yang diakibatkan kerusakan lingkungan karena aktivitas manusia adalah bentuk-bentuk bencana ekologis yang mengancam kehidupan.
“Dalam hal ini, bencana ekologis menunjukkan bahwa pemerintah seringkali gagal mematuhi regulasinya sendiri yang menyebabkan rusaknya fungsi-fungsi ekosistem,” katanya.
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Jawa Timur disampaikannya telah menggarisbawahi bahwa kawasan selatan Jawa, termasuk Jawa Timur adalah kawasan rawan bencana. Dengan mengacu pada kenyataan ini, penataan kawasan di pesisir selatan seharusnya ditujukan untuk meminimalisir dampak kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh bencana.
“Kawasan selatan Jawa selayaknya ditetapkan menjadi kawasan lindung dan konservasi demi mengantisipasi bencana yang mungkin timbul. Pelepasan wilayah-wilayah yang penting secara ekologis menjadi wilayah usaha pertambangan yang berpotensi merusak keseimbangan ekosistem kawasan adalah tindakan yang kontradiktif terhadap usaha menurunkan resiko bencana di Indonesia,” tegas pria asal Surabaya tersebut.
Oleh sebab itu, pihaknya berharap pemerintah Propinsi Jawa Timur dan segenap jajaran pemerintah daerah untuk segera mengambil langkah nyata menghasilkan kebijakan yang mampu mencegah munculnya konflik-konflik pertambangan di kawasan selatan Jawa Timur dengan cara pencabutan wilayah usaha pertambangan dari kawasan pesisir selatan dan penetapan kawasan lindung dan konservasi.
“Ini menjadi syarat mutlak pemulihan kawasan dan menjadi bagian dari usaha besar penurunan resiko bencana ekologis serta penyelamatan ruang hidup rakyat,” tutupnya.
Direktur WALHI Jatim, Tri Jambore Christanto ketika ditemui di kantornya.