Nasional

Derita Nenek Laminten Asal Jember, 10 Tahun Tinggal di Bekas Toilet Umum

JEMBER, FaktualNews.co – Nenek Laminten (74), warga Lingkungan Krajan Barat, Kelurahan/Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember, Jawa Timur, 10 tahun sudah tinggal di bekas kamar mandi umum wilayah setempat. Bahkan tempat tinggal nenek renta itu, bersebelahan juga dengan fasilitas umum (fasum) sumur yang sehari-hari masih digunakan warga untuk mendapatkan air bersih.

Pantauan di lapangan, tempat tinggal Nenek Laminten, sebenarnya tidak jauh dari jalan raya dekat perempatan lampu merah Gladak Kembar. Dimana jalanan tersebut selalu ramai dan merupakan daerah padat, yang sering dilewati masyarakat umum, misalnya akan menuju ke Kabupaten Banyuwangi. Terletak di belakang kios jamu tradisional, untuk masuk menuju ke rumah wanita tua itu, harus melewati gang sempit yang hanya cukup dilalui satu motor dengan jarak kurang lebih 50 meter dari jalanan utama.

Nenek tua yang juga akrab dipanggil Mbah Rakim oleh warga sekitar itu, awalnya memiliki rumah yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggalnya sekarang. Namun karena keegoisan anak perempuan semata wayangnya, kini dia pun hanya tinggal di tempat tidak layak seperti sekarang ini.

“Saya sudah 10 tahun di sini, anak saya Mimin, menjual rumah, dengan harga murah ke orang lain. Uang hasil penjualan rumah, saya juga tidak dapat. Saat itu saya bingung, dan menemukan kamar mandi dekat sumur ini, untuk saya tinggali,” ujar Laminten saat dikonfirmasi, Jumat pagi (28/9/2018).

Nenek yang kini juga memiliki pendengaran tidak normal itu menceritakan, saat awal tinggal di kamar mandi tersebut, bentuknya tidak seperti sekarang ini. “Namanya juga kamar mandi umum, bisa dibayangkan, mulai dari bau, bentuk ataupun atapnya yang tidak layak. Tetapi saya diusir dan bingung mau tinggal dimana. Akhirnya terpaksa tinggal di sini. Namun kemudian dibantu warga sekitar, dibangun dan lumayan untuk ditempati,” ungkapnya.

Kamar mandi bekas yang kini dibangun namun masih kurang layak itu, kata Laminten, hanya berukuran sekitar 2 x 1,5 meter. Jangankan untuk menerima tamu, untuk tidur saja, nenek renta itu harus melipat badannya.

“Jadi saya kalau tidur harus mlungker (menekuk, red). Tapi bagaimana lagi, ini saya syukuri. Daripada tidak punya tempat tinggal. Alhamdulillah warga sekitar, dengan keterbatasannya, masih mau membantu saya. Cukup sudah menurut saya. Saya berterima kasih,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.

Untuk hidup sehari-hari, Nenek Laminten, berjualan nasi, yang biasanya dibeli tukang becak ataupun pedagang tape pinggir jalan di dekat tempat tinggalnya. Dengan harga per porsi makanan Rp 5 ribu, pembeli mendapatkan makanan nasi dengan lauk sayur lodeh ontong, tempe, dan tahu.

“Biasanya pembeli datang 1 atau 2 orang, ya tukang becak, penjual tape di pinggir jalan itu, ataupun orang lewat yang tahu saya jualan. Penghasilan paling banyak Rp 25 ribu per hari, tapi tidak mesti. Dulu pernah jualan rujak, saat hari raya, malah rugi. Karena modalnya habis, yang beli juga malah hutang,” ucapnya dengan tertawa kecil, mengingat pengalamannya.

Kata Nenek Laminten, kemampuan memasaknya itu didapat saat dulu masih muda menjadi petugas di bagian dapur pabrik rokok. Sayangnya, di usianya yang sudah senja, ia pun lupa dimana lokasi tempatnya bekerja itu.

“Dulu saya punya pengalaman (menjadi) tukang masak di pabrik rokok. Jadi kemampuan itu saya manfaatkan untuk berjualan. Pabriknya lupa dimana. Dulu pokoknya,” tutur nenek tua itu.