FaktualNews.co

Cerita Korban Selamat Gempa dan Tsunami Palu Asal Jember yang Lolos dari Maut

Peristiwa     Dibaca : 1167 kali Penulis:
Cerita Korban Selamat Gempa dan Tsunami Palu Asal Jember yang Lolos dari Maut
FaktualNews.co/Muhammad Hatta/
Salah satu korban selamat asal Jember saat bencana gempa dan tsunami Palu

JEMBER, FaktualNews.co – Musibah gempa bumi disertai tsunami di Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, menyisakan kisah yang penuh duka dan pilu, para korban selamat. Sebab, pasca musibah dahsyat itu, masyarakat masih harus berjuang untuk hidup, ditengah kondisi kota yang porak poranda, dan banyak pendatang dari pulau ataupun kota lain, berusaha untuk bisa pulang ke kampung halamannya masing-masing.

Seperti yang dialami Junaedi (35) dan Sulakso (35), warga Dusun Gaplek Barat, Desa Suci, Kecamatan Panti, Kabupaten Jember, Jawa Timur ini. Mereka merupakan korban selamat dari gempa itu, dan kini telah kembali ke kampung halamannya masing-masing, bertemu dengan anak dan istri di rumah.

Namun Junaedi dan Sulakso tidak sendiri, mereka bersama dengan korban selamat lainnya, yakni Trisula (40), Antonio (30), Samsul Arifin (40), Darwis (35), semuanya warga Sukorambi, kemudian Widianto (25), warga Desa Serut, Andika (30), warga Desa Suci, Kecamatan Panti, Ahmad Fauzi (35), warga Curah Banteng, Kecamatan Rambipuji, dan Rukin, warga Surabaya, merupakan rombongan pertama korban selamat warga Jember, yang berhasil sampai di Pulau Jawa.

Setelah menumpang pesawat Hercules milik TNI yang sampai di Bandara Abdurrahman Saleh, Rabu malam (3/10/2018). Setelah mereka masih ada lagi rombongan lainnya, yang masih menunggu antrian untuk dapat menumpang pesawat hercules tersebut.

Perjuangan Junaedi dan Sulakso, dengan satu kelompoknya itu, menyisakan kisah tersendiri. Pasalnya pasca gempa itu, tidak kemudian selesai begitu saja. Mereka harus berjuang, untuk benar-benar bisa selamat, mulai dari gempa yang terjadi, hingga sampai di rumah masing-masing.

Kepada sejumlah media, Junaedi menyampaikan, gempa dahsyat yang memporak-porandakan Kota Palu itu, sebelumnya diikuti gempa kecil yang terjadi sekitar Pukul 3 sore waktu setempat.

“Tepatnya bada’ Asar, dan guncangannya itu sekitar 5 menitan. Saat itu, saya sedang bekerja sebagai kuli bangunan, untuk membuat rumah walet, di Jalan Cut Nyak Dien, Kota Palu,” ujar Junaedi menceritakan detik-detik awal kejadian gempa tersebut, Kamis sore (4/10/2018).

Namun guncangan gempa tersebut, kata Junaedi, dianggap biasa, karena di Kota yang terkenal dengan sebutan Kota Teluk itu, sering terjadi gempa kecil.

“Bahkan selama 5 tahun saya bekerja di sana, guncangan (gempa) kecil itu sering terjadi. Jadi kami sudah biasa,” katanya.

Kemudian saat ibadah Salat Maghrib, katanya, tepatnya setelah bacaan surat Al Fatehah, guncangan besar pun terjadi. Sehingga mengakibatkan jemaah salat berhamburan lari keluar masjid.

“Bahkan lantai masjid itu pecah sampai terangkat ke atas. Saya pun terlempar karena dahsyatnya gempa. Bukan terguncang lagi. Bahkan teman saya (Sulakso), yang juga selamat sama dengan saya ini, luka kakinya karena pecahan lantai keramik itu,” tandasnya.

Dahsyatnya gempa saat itu, kata Junaedi, bahkan sampai membuat dirinya berkali-kali terjatuh, dan saat keluar kakinya gemetaran karena perasaan shock dan ketakutan yang dialaminya.

Sementara itu, Sulakso teman kerja Junaedi menyampaikan, saat kejadian gempa tersebut, dirinya sedang mengambil air wudhu untuk melaksanakan Salat Maghrib di masjid yang tidak jauh dari tempat kerjanya.

“Baru mengucapkan amin (setelah pembacaan Surat Al Fatehah), semua berguncang dan bergetar hebat, tempat saya salat, lantainya langsung pecah, saya terjatuh, dan pecahan keramik lantai, melukai kaki saya,” ujarnya dengan wajah masih tampak shock, mengingat kejadian tragis yang dialaminya.

Semua jemaah salat saat itu, berlarian keluar masjid. “Saya juga melihat menara masjid seakan-akan mau roboh, saat itu saya mengucap takbir Allahuakbar, Allahuakbar, karena takutnya itu, saya mau berdiri saja susah, berusaha mencari perlindungan, takut kejatuhan atap,” jelasnya.

Namun beruntung, lokasi masjid tempatnya salat, jauh dari bibir pantai. “Jaraknya dari pantai sekitar 1 kilometer. Jadi kemudian setelah gempa terjadi tsunami, syukur Alhamdulillah masjid saya tidak kena dampaknya,” katanya dengan wajah sedih mengingat kejadian dahsyat yang dialaminya.

“Setelah kejadian itu, saya juga sampai sekarang masih trauma. Karena jika anak saya yang kecil memukul meja dengan suara keras, saya jadi kagetan. Saya masih takut, dan selalu mengucap syukur Alhamdulillah masih selamat,” tandasnya.

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
Z Arivin
Tags