TRENGGALEK, FaktualNews.co – Produksi kain tenun ikat Desa Buluagung, Kecamatan Karangan, Kabupaten Trenggalek Jawa Timur, meski menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) namun masih tetap eksis. Tak hanya menyoal produksi, kearifan lokal dibalik pembuatan kain yang menjadi ciri khas budaya ketimuran ini rupanya menjadi alasan tersendiri untuk mempertahankan nilai historis.
Menurut Rohmad Ismal (penenun), menggeluti produksi kain tenun ikat bagian dari meneruskan cita-cita mendiang sang ayah. Meski terbilang baru di Kabupaten Trenggalek dan diklaim satu-satunya yang masih eksis menenun menggunakan ATBM, produksi kain tenun ikat yang diberi nama ‘Telaga Sari’ banyak menghiasi hati konsumen.
“Alhamdulillah, hingga saat ini segmen pasar tenun ikat kami masih terus menunjukkan perkembangan positif. Meskipun di Trenggalek sendiri belum terlalu familiar seperti daerah lain,” ucapnya, Sabtu (10/11/2018).
Dikatakan Rohmad, produksi tenun ikat miliknya justru melancong ke berbagai luar daerah, misalnya Jakarta, Surabaya, Malang dan beberapa kota/kabupaten lainnya. Bahkan, tenun ikat miliknya pernah menjamah hingga ke Negeri Jiran.
“Untuk konsumen di daerah sekitar juga banyak yang melirik hasil produksi kain tenun menggunakan ATBM ini. Misal pejabat di lingkup Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Trenggalek, kemudian ada juga masyarakat sekitar. Segmen pasar di daerah memiliki andil yang positif juga,” katanya.
Lebih lanjut Rohmad menuturkan, sejak kecil sudah tak asing lagi dengan tenun ikat menggunakan ATBM. Karena ayahnya dulu juga berkecimpung di kain tenun ikat. Pada waktu tinggal di Kota Kediri, di Kelurahan Bandar Kidul (sentra tenun ikat, red).
“Sejak kecil saya sudah diajari mendiang sang ayah belajar menenun. Jadi setelah lulus SMA sekitar tahun 1995, saya sudah mahir menenun meskipun acap kali hasil produksinya masih belepotan, namun tak membuat patah semangat,” terangnya.
Berbekal keuletan dan ketelatenan, lanjut Rohmad, menjadi kunci utama menenun selain modal kreativitas. Prosesnya untuk 1 potong berukuran 2,5 meter di kali 92 centimeter membutuhkan waktu hingga satu hari.
Tenun itulah yang nantinya akan disulap menjadi ragam produk, misalnya kemeja hingga kain sarung. Soal harga, selain penggunaan jenis benang yang dipilih, corak dan pola turut mempengaruhi harga.
“Untuk harga juga berwariasi, mulai Rp 190 ribu yang katun, kemudian ada juga yang harga Rp 600 ribu yang sutra. Disini ada sutra, semi sutra, katun, dan lain sebagainya,” pungkasnya.