SIDOARJO, FaktualNews.co – Sebanyak sepuluh orang warga Desa Kepatihan, Kecamatan Tulangan, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur kembali mendatangi Kejari Sidoarjo, Senin (12/11/2018). Mereka kembali menanyakan laporan progam PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) yang diduga ada pungutan liar (Pungli) untuk ditindak lanjuti.
Kedatangan warga yang dikomandani Sutaji, warga setempat itu yang kedua kalinya. Sebelumnya, pada 18 April lalu mereka mendatangi Korps Adhyaksa Jalan Sultan Agung Sidoarjo untuk mempertanyakan laporan yang dibuat pada 7 Maret lalu itu.
Meski sejak awal dan kali keduanya kedatangan para warga itu langsung diterima, ditemui dan mendapat tanggapan dari Kajari Sidoarjo Budi Handaka. Nampaknya, para pelapor masih saja belum bisa menerima bahwa tuduhan pungli kepada Panitia Program PTSL Desa Kepatihan itu sudah sesuai aturan dan tidak ada perbuatan melawan hukum.
Lagi-lagi, mereka masih ngotot meminta penegak hukum untuk memproses laporan tersebut. Bukan hanya itu, mereka juga mendalilkan persoalan itu bisa masuk tidak pidana korupsi karena dari sekitar 1500 pemohon PTSL, tidak semua pemohon ditarik biaya akta kepemilikan yang dikeluarkan dari Notaris.
“Kita dua alat bukti sudah punya,” klaim Sutaji, usai ditemui Kajari Sidoarjo Budi Handaka dengan didampingi Kasi Intelijen Idham Kholid.
Menurut dia, bukti yang dimiliki yaitu kwitansi (pembayaran notaris) dan bukti sertifikat yang di dalamnya tidak tercantum untuk biaya Notaris. Bukti itulah yang diklaim sebagai dua alat bukti dugaan pungli. “Saya kami juga diklarifikasi,” ucap dia.
Meski begitu, datangnya sepuluh warga yang langsung ditemui Kajari Sidoarjo itu mengaku tidak merasa dirugikan atas biaya yang telah dikeluarkan untuk biaya Notaris sebagai syarat dikeluarkannya akta kepemilikian.
“Semua yang datang di sini tidak ada yang merasa dirugikan,” ucap Kajari Sidoarjo Budi Handaka. Bahkan, Kajari mengapresiasi kehadiran warga, sebagi patner Kejakasaan untuk pemberantasan korupsi. “Bagi kami merka adalah patner kami,” ucap dia.
Meski begitu, terkait urusan yang dilaporkan itu warga itu, mantan Aspidum NTT itu mengungkapkan, bahwa pihaknya selama ini sudah menerima serta melakukan pengumpulan bukti dan data untuk menindak lanjuti laporan tersebut.
Namun, pihaknya tidak menemukan perbuatan melawan hukum (PMH) dalam dugaan kasus tersebut. Menurut dia, proses yang dilakukan oleh panitia program PTSL dalam penarikan itu sudah sesuai dan tidak ada Pungli.
Ia menjelaskan, untuk biaya senilai Rp. 150 ribu itu sudah sesuai berdasarkan surat keputusan bersama (SKB) tiga Menteri (Agraria, terkait program PTSL. Kemudian, lanjut dia, dalam aturan itu sejak tahun 1997 ke atas, bagi pemohon sertifikat harus wajib dengan adanya akta kepemilikan.
“Akta kepemilikan dibuat pejabat tanah pembuat akta tanah (PPAT). Itu bisa Camat dan Notaris. Lha dalam hal itu Camat (Tulangan) tidak bisa menjadi PPAT, maka ditunjuklah atas kesepakatan antara pokmas sama masyarakat menunjuk Notaris membikin akta,” jelas dia.
Lebih jauh menurut mantan Kajari Bontang itu, dalam aturan itu menyatakan harus ada akta, sehingga untuk biaya jasa Notaris itu tergantung dari kesepakatan. “Kalau warga sepakat walaupun biayanya murah maupun mahal itu urusannya pemohon dengan Notaris, tarifnya masing-masing. Dalam aturan yang penting ada akta kepemilikan yang dikeluarkan PPAT,” ungkap dia.
Kini para pemohon sertifikat melalui program PTSL yang diajukan sudah terbit sertifikat. Namun, persoalan proses itu masih diungkit oleh pelapor yang menduga bahwa biaya notaris itu dianggap pungli meskipun sudah jelas aturannya.
“Semua sertifikat sudah jadi. Kami sudah berikan penjelasan, kalau tidak mau faham dan mengerti terus kami harus gimana. Kami gak mau sampai mendholimi orang,” pungkas pejabat asal Kabupaten Gunung Kidul, Jogjakarta itu.