JEMBER, FaktualNews.co – Kesadaran masyarakat akan rumah atau hunian tahan gempa di Indonesia belum merata. Bahkan rata-rata rumah pedesaan lebih mudah hancur terkena gempa daripada rumah atau bangunan yang ada di area perkotaan.
“Yang banyak roboh ketika terjadi gempa adalah bangunan rumah tinggal, bangunan tingkat rendah. Regulasi (pedoman bangunan tahan gempa sudah diterbitkan Kementerian Pekerjaan Umum) sudah ada, tapi kan sulit mengaturnya,” kata Josia Irwan Rastandi, pakar gempa dari Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Indonesia saat berada di Jember.
Rumah di daerah perdesaan rata-rata tidak menggunakan beton, hanya batu bata. “Kalau bata saja, tidak kuat. Jadi harus ada tiang betonnya,” kata Josia.
“Aturannya, kalau mau membangun rumah harus membuat IMB (Izin Mendirikan Bangunan), sehingga kalau ada gambarnya (gambar bangunan yang hendak didirikan) bisa kelihatan. “Tapi kan seringkali masyarakat perdesaan bilang ngapain buat kayak begitu. Pemerintah pun mengawasinya bagaimana,” ujarnya.
Ini berbeda dengan perumahan-perumahan yang dibangun real estate atau pengembang. “Seharusnya itu sudah memenuhi. Sekarang juga ada sertifikasi keahlian tukang, yang merupakan salah satu cara untuk menjamin pembangunan rumah lebih tahan gempa. Tapi kalau di perdesaan kan belum tentu (ada tukang tersertifikasi),” kata Josia.
Josia juga menjelaskan, untuk tukang bersertifikat, lebih banyak digunakan para pengembang perumahan. Namun hal itu diabaikan untuk perumahan masyarakat yang dibangun secara mandiri, karena dianggap menyusahkan.
Dengan adanya persoalan itu, Josia menegaskan, pihak akademisi siap membantu sosialisasi soal pembangunan rumah tahan gempa kepada masyarakat. “Tapi kami tak punya kemampuan mengumpulkan massa. Kami siap saja kalau diminta pemerintah kelurahan untuk mengadakan ke tukang-tukang bangunan,” katanya.
Saat ini, dari sisi bentuk, bangunan rumah di masyarakat sudah ideal. “Kalau bentuknya nyeleneh aneh-aneh justru rawan gempa. Tapi saat gempa kan lebih banyak rumah yang tidak roboh. Di Kota Palu sendiri, yang roboh kurang dari lima persen. Itu di luar yang likuifaksi,” ungkapnya.
“Kalau yang berada di daerah likuifaksi. Ampun deh, mau pakai peraturan apapun tak bisa melawan itu. Tapi di luar itu, sedikit yang roboh. Ini menunjukkan kalau standar pembangunan diikuti, itu bisa (tahan gempa). Kalau kita ikuti pedomannya, rumah bisa selamat,” pungkas Josia.