JEMBER, FaktualNews.co – Pro kontra terkait hak pilih bagi orang yang memiliki gangguan jiwa, atau akrab disebut orang gila, menjadi polemik tersendiri.
Namun antara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jember dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sepakat, jika seorang pemilih saat pemilu didiagnosis memiliki gangguan jiwa atau dipastikan gila, maka dikeluarkan dari daftar pemilih tetap (DPT).
Akan tetapi jika belum ada kepastian, dan pernyataan resmi tertulis dari ahli atau dokter kejiwaan, tetap akan diakomodir dalam DPT karena takut salah coret.
Hal itu disampaikan Ketua Bawaslu Jatim M. Amin, usai mengisi materi dalam kegiatan Sosialisasi Peraturan Bawaslu Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Pemantau Pemilihan Umum, di Aula Hotel Aston Jember, Jalan Sentot Prawirodirjo, Kecamatan Kaliwates, Selasa (27/11/2018).
Menurut Amin, kesepakatan itu diterapkan, karena seseorang yang memiliki gangguan jiwa, dinilai tidak obyektif dalam melakukan pemilihan.
“Memang hal ini menjadi polemik, yakni terkait pemilih yang memiliki hak pilih, tetapi mengalami gangguan jiwa. Namun antara KPU dengan Bawaslu sudah menyepakati,” kata Amin saat dikonfirmasi sejumlah media.
Dimana dalam kesepakatan tersebut, bahwa hak pilihnya orang yang memiliki gangguan kejiwaan itu hilang. “Namun nantinya, ada lembaga yang membawahi dokter dan ahli kejiwaan yang memutuskan secara resmi. Maka pemilih yang dinyatakan gangguan jiwa, dikeluarkan dari DPT,” tegasnya.
Tetapi bagi pemilih yang tidak ada keterangan dari ahli atau dokter kejiwaan, tetap akan diakomodir dan masuk dalam DPT. “Karena dikhawatirkan salah coret. Sebab pernah kejadian, alasan gila ternyata tidak terbukti,” terangnya.
Namun nantinya untuk penerapan yang dilakukan, akan dikoordinasikan dengan pengawas di masing-masing kecamatan, dan komunikasi secara intens dengan KPU. “Untuk kesepakatan yang diambil, akan dikomunikasikan lebih lanjut, dan penerapannya di masyarakat. Bahkan saat di TPS juga. Tetapi hal ini (pernyataan gila) tetap harus sesuai fakta,” tandasnya.