Nasional

Berpotensi Timbulkan Konflik, Warga Tetap Tolak Tambang Silo Jember

JEMBER, FaktualNews.co – Tiga orang staf Kementerian ESDM dan empat orang Warga Negara Asing (WNA) asal China yang sempat dihadang warga Desa Pace, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember, tersebut untuk melakukan survei tentang rencana melakukan kegiatan pertambangan

Staf Dinas ESDM Provinsi Jatim Darmanto, mengatakan kedatangan dirinya bersama 4 orang WNA tersebut, adalah untuk melakukan survei lokasi pertambangan di desa setempat. “Kami datang ke Silo untuk melakukan survei lokasi, sekitar 2 atau 3 titik. Tetapi melihat kondisi ini (adanya penolakan warga tentang pertambangan), kayaknya tidak memungkinkan,” jelasnya, Rabu (5/12/2018).

Dari hasil survey tersebut, lanjutnya, nanti akan disampaikan kepada Dinas Provinsi Jatim, apakah tetap akan dilakukan penambangan di wilayah tersebut, atau tidak. “Nanti hasil (survei) ini, akan kami sampaikan ke dinas provinsi,” tutur Darmanto.

Saat dikonfirmasi terpisah, salah satu tokoh masyarakat Desa Pace, Kecamatan Silo Taufik Nurahmadi menegaskan, hingga saat ini masyarakat tetap menolak rencana penambangan emas di kawasan Silo. Bahkan, tambah Taufik, masyarakat Desa Pace sudah membuat posko untuk memantau kondisi jalan.

“Sehingga jika ada orang yang dianggap mencurigakan, dan menuju ke arah kawasan tambang. Akan langsung dihadang oleh warga dan diamankan,” tegasnya kepada media di Jember, Rabu (5/12/2018).

Karena menurut Taufik, izin usaha pertambangan di Blok Silo, Kecamatan Silo, tersebut dapat berpotensi menimbulkan konflik yang menyebabkan situasi wilayah menjadi tidak kondusif sebagaimana yang terjadi selama ini.

Kepmen Tambang Emas Silo Bisa Dicabut

Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara, Kementrian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Muhammad Wafid, menyatakan Kepmen tersebut terbit karena Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim mengusulkan ke Kementerian ESDM.

“Kepmen diterbitkan setelah adanya usulan Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui surat Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Timur No 545/981/119.2/2016 tertinggal 29 Februari 2016 Perihal Usulan Penetapan WIUP Mineral Logam,” kata Wafid seperti dilansir dari Detik.com, Minggu 23 September 2018.

Namun, Kepmen ESDM saja tak cukup menjadi landasan beroperasinya pertambangan di Silo. Harus ada pelelangan wilayah usaha pertambangan oleh Pemprov Jatim sebagai landasan menambang di Silo. Harus ada pula Keputusan Gubernur Jatim terkait penetapan perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP).

“Tanpa adanya proses lelang dan Keputusan Gubernur tersebut maka segala bentuk aktivitas pertambangan di wilayah Silo dapat dikategorikan sebagai pertambangan ilegal,” jelasnya.

Akan tetapi, jika warga dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jember tak mau ada aktivitas penambangan di wilayah Silo, maka Pemprov Jatim tak perlu mengadakan lelang wilayah usaha pertambangan. Selain itu, pencabutan wilayah Silo dari lampiran IV Kepmen ESDM Nomor 1802 K/30/MEM/2018 dapat dilakukan. Namun pencabutan wilayah Silo dari Kepmen itu perlu didahului oleh usulan dari Pemprov Jatim ke Kementerian ESDM.

Sementara menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim, sejak awal 2017 hingga sekarang telah tercatat sedikitnya ada 482 kejadian bencana ekologis di seluruh Jawa Timur dan hal itu menunjukkan peningkatan dari catatan tahun 2016 yang hanya mencatat 386 kejadian bencana ekologis.

Bencana ekologis adalah akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan lingkungan dan gagalnya sistem pengurusan alam. Banjir, tanah longsor, abrasi, dan kekeringan yang diakibatkan kerusakan lingkungan karena aktivitas manusia adalah bentuk-bentuk bencana ekologis yang mengancam kehidupan.

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional dan Jawa Timur juga telah menggarisbawahi bahwa kawasan selatan Jawa, termasuk Jawa Timur adalah kawasan rawan bencana, sehinga dengan mengacu pada kenyataan itu, penataan kawasan di pesisir selatan seharusnya ditujukan untuk meminimalisir dampak kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh bencana.

“Kawasan selatan Jawa selayaknya ditetapkan menjadi kawasan lindung dan konservasi demi mengantisipasi bencana yang mungkin timbul. Pelepasan wilayah-wilayah yang penting secara ekologis menjadi wilayah usaha pertambangan yang berpotensi merusak keseimbangan ekosistem kawasan adalah tindakan yang kontradiktif terhadap usaha menurunkan risiko bencana di Indonesia,” kata Direktur Eksekutif Walhi Jatim Rere Christanto, dilansir dari Antara.

Data yang dihimpun melalui Koordinasi-Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk Pertambangan Mineral dan Batubara menunjukkan bahwa per 29 Agustus 2016, jumlah izin usaha pertambangan (IUP) di Jawa Timur mengalami penurunan bila dibandingkan data Kementerian ESDM di tahun 2012 yaitu dari 378 IUP tahun 2012 menjadi 347 IUP di tahun 2016.

Namun terdapat peningkatan signifikan terhadap luasan lahan pertambangan. Jika di tahun 2012 luas lahan pertambangan di Jawa Timur hanya 86.904 hektare, pada tahun 2016 tercatat luasan lahan pertambangan di Jawa Timur mencapai 551.649 hektare dan mengacu angka dalam dua dokumen itu maka kenaikan jumlah lahan pertambangan di Jawa Timur mencapai 535 persen hanya dalam jangka waktu 4 tahun saja.