SURABAYA, FaktualNews.co – Rencana penerapan Ujian Akhir Madrasah Berstandard Daerah (UAMBD) menggunakan handphone yang dilakukan Kementrian Agama (Kemenag) Jombang, Jawa Timur, sepertinya harus dievaluasi kembali atau dikaji ulang. Mengingat dampak besar dibelakangnya.
Hal itu disampaikan psikolog Universitas Airlangga, Surabaya, Dr Nur Ainy Fardana Nawangsari Spsi Msi kepada FaktualNews.co, Rabu (5/12/2018). Ia menilai perlu kecermatan terkait dengan kebijakan UAMBD MI menggunakan handphone sebagai pengganti komputer itu.
“Sebenarnya perlu kecermatan dalam membuat kebijakan terkait ujian akhir sekolah berbasis handphone,” kata perempuan yang akrab disapa Dr Neny ini, Rabu (5/12/2018).
Karena menurutnya, piranti handphone dengan komputer jauh berbeda. Kendati ada kemiripan dasar teknologi yang digunakan dua perangkat elektronik tersebut.
“Karena piranti handphone berbeda dengan komputer. Secara psikologis interaksi manusia dengan handphone dan komputer dinamikanya berbeda meskipun ada kemiripan dasar teknologi yang digunakan,” imbuhya.
Handphone dibuat pada dasarnya sebagai alat bantu untuk komunikasi semata. Seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, berbagai menu dan fitur handphone semakin lengkap. Itu yang kemudian dikenal dengan smartphone atau ponsel pintar.
Banyaknya fitur dan menu-menu yang disediakan melalui ponsel pintar, dikhawatirkan akan mengganggu arah psikologi anak. Sehingga, menurut Dr Neny, tak patut jika handphone diberikan pada usia sekolah jenjang MI. Karena usia ini, anak-anak berada pada tahap eksplorasi fisik, sosial dan kognitif.
“Perlu dipahami, bahwa pada usia dimana anak berada pada jenjang pendidikan SD/MI, anak-anak berada pada tahap eksplorasi fisik, sosial dan kognitif,” tuturnya.
Kondisi seperti ini, perlu peran orang tua kepada anak untuk mengarahkan ke hal yang positif dalam penggunaan handphone. Termasuk oleh guru di sekolah, karena dampak negatif pemakaian handphone sangat besar.
“Berdampak negatif kalau anak menjadi kecanduan terhadap penggunaan menu atau fitur di handphone, misalnya game, medsos (media sosial),” pungkasnya.
Kebijakan kontroversial terkait dengan pelaksanaan UAMBD MI di Jombang menggunakan handphone menuai sorotan dari berbagai kalangan. Disinyalir penggunaan handphone atau smartphone dalam hal ini guna menggantikan komputer.
Alih-alih memanfaatkan kemajuan teknologi dan mengaplikasikannya di dunia pendidikan, rencana penggunaan smartphone atau handphone android dalam sistem UAMBD tingkat MI justru menimbulkan polemik di ranah publik.
Sorotan demi sorotan pun mulai bermunculan dari berbagai pihak di Kota Santri. Salah satunya dari Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) Jawa Timur, Aan Anshori. Ia menilai kebijakan yang dikeluarkan Kemenag Jombang itu tak masuk akal atau absurd.
“Kebijakan Kemenag Jombang yang mewajibkan siswa dan siswi ‘membeli’ gadget untuk mengikuti ujian adalah absurd. Penyelenggaraan pendidikan secara umum sepenuhnya menjadi tanggungjawab sekolah termasuk ujiannya,” kata Aan kepada FaktualNews.co, Senin (3/12/2018).
Aktivis yang juga dedengkot komunitas GUSDURian Jatim ini pun menyindir langkah Kemenag Jombang yang mengeluarkan kebijakan kontroversial itu. Menurutnya, kebijakan tersebut tak lain dari cara Kemenag untuk lari dari tanggungjawab penyelenggaraan pendidikan.
Setelah menuai polemik dan mendapatkan sorotan publik, Kepala Kantor Kemenag Jombang Abdul Haris langsung membantah jika pelaksanaan UAMBD MI menggunakan handphone itu merupakan kebijakan yang dikeluarkan pihaknya. Haris menyatakan, penggunaan handphone dalam UAMBD MI hanya salah satu metode yang bisa dipilih pihak sekolah guna menggantikan komputer.
Haris menyebut, dari 279 MI di Jombang hanya 57 sekolah yang siap melaksanakan UAMBD MI berbasis komputer atau android (handphone). Ia pun mengaku sudah menekankan kepada para kepala sekolah untuk tidak memaksakan pelaksanaan UAMBD MI menggunakan handphone. Melainkan menyesuaikan kondisi keuangan wali murid dan kesiapan sekolah.