Jare Cak Besut
Adipura dan Pedagang Kaki Lima, Piala Diatas Bencana
Lek Sumo siang ini tergopoh-gopoh mendatangi warung kopi milik Yu Rusmini. Ia mencari keberadaan Cak Besut guna mengadu. Ia mengaku lapak dagangannya akan dibongkar oleh pamong.
“Yu gak tumon Cak Besut ta ?,” tanya Lek Sumo pada Yu Rusmini.
“Ngaget-ngageti ae sampean iku Lek, ora mrene blas paling mare ngene lak teko,” jawab Yus Rus santai. Yu Rus pun menawarkan secangkir kopi kepada Lek Sumo sembari tetap duduk berdiri didepan wajan penggorengan. Tampak beberapa pisang goreng bikinannya sudah siap untuk dihidangkan.
“Nang ndi ae wong iku pirang-pirang dino gak tumon, lek gak dibutuhno jebas jebus ae tapi lek butuh ngene angel golek ane,” gumam Lek Sumo.
“Oala sampean iku aneh-aneh ae Lek goleki wong kok nang warung yo kono nang omahe,” jawab Yu Rus singkat. Ia pun menyodorkan secangkir kopi hitam kepada Lek Sumo.
“Wes Yu, tapi jare anake pirang-pirang dino gak moleh mabengi moleh tapi isuk-isuk metu ora pamit,” sela Lek Sumo.
Yu Rus pun keheranan melihat Lek Sumo yang sepertinya membutuhkan kehadiran sosok Cak Besut. Ia pun memberanikan diri menanyakan perihal kepentingan Lek Sumo mencari Cak Besut. Lek Sumo yang sepertinya menunggu pertanyaan dari Yu Rusmini pun langsung berkeluh kesah atas apa yang ia hadapi sekarang. Lek Sumo menceritakan, lapak dagangannya akan digusur pihak pamong. Alasan klasik, menurut Lek Sumo, kadipaten baru saja menerima penghargaan Adipura. Guna menerima penghargaan itu, jalan-jalan utama Kadipaten harus tampak bersih dari para pedagang kaki lima seperti dirinya. Satuan pamong penegak ketertiban saat ini telah berubah peran menjadi malaikat mikail. Mereka seolah mampu menentukan aliran rejeki para pedagang kaki lima.
“Ngalah-ngalahno malaikat Yu, rejeki kami seolah berada ditangan mereka saat ini. Mereka berhak menutup dan membuka kapan saja mereka mau. Jika melawan otomatis lapak kami disita. Kalau sudah seperti ini, darimana kami bisa menghidupi keluarga kami,” keluh Lek Sumo. Fenomena ini menurut Lek Sumo seolah menjadi tradisi tahunan. Setiap penilaian Adipura, maka bisa dipastikan, rakyat kecil dari golongan pedagang kaki lima yang menjadi korban.
“Wes kesel aku Yu ben tahun gak onok solusi gae pedagang kaki lima, gusur, tutup buka lagi hanya iku tok,” jlentreh Lek Sumo.
Ia pun mencari Cak Besut guna mengadukan nasib sekaligus berharap solusi tepat agar kejadian ini tidak menjadi tradisi tahunan. Lek Sumo berangan-angan penataan pedagang kaki lima bisa mengadopsi dari kadipaten-kadipetan lain yang berhasil menata kota tanpa mengorbankan pedagang kaki lima. Ditengah obrolan, nampak sosok Cak Besut berjalan mendekat. Guratan lelah menghiasi wajahnya yang nampak lusuh dan kusam.
“Teko ndi ae Cak, peno tak goleki ngilang terus,” kata Lek Sumo.
Cak Besut hanya tersenyum kecut. Tanpa mempedulikan pertanyaan Lek Sumo, Cak Besut meminta Yu Rus menyediakan Kopi tanpa gula kesukaan Cak Besut. Sambil menarik nafas panjang, Cak Besut mengatakan jika dirinya baru saja dari kantor catatan sipil untuk ngurus kelengkapan dokumen dirinya.
“Aku ngurus ktp ku durung mari-mari akeh seng kudu dibenahi, malah riwa-riwi koyok susur,” keluh Cak Besut membuka percakapan.
“Oala Cak aku kate sambat sampean njaluk solusi piye carane pedagang kaki lima iku iso tenang golek rejeki malah peno sambatan disek,” timpal Lek Sumo.
“Masalah penghargaan Adipura to…iku masalah klise, bagi para adipati memperoleh Adipura adalah merupakan kebanggaan tersendiri tapi bagi Pedagang koyok sampean ngunu iku musibah ngunu ta karep sampean,” jawab Cak Besut.
Solusinya gampang-gampang susah menurut Cak Besut. Andai saja wakil rakyat dan eksekutif konsen menangani permasalahan ini, maka bisa dibilang cukup mudah. Namun selama ini menurut Cak Besut, kunjungan kerja para wakil rakyat hanya dianggap sebagai rutinitas pekerjaan tanpa membawa hasil yang berarti. Solusi yang Cak Besut sampaikan semisal para pedagang kaki lima diakomodir, disediakan tempat dibeberapa titik keramaian. Untuk jalan-jalan protokol dibebaskan para pedagang kaki lima namun dengan catatatn para pedagang menjual dagangan khas Jombang. Semisal sepanjang jalan utama pedagang yang boleh berjualan adalah pedagang nasi pecel khas kadipaten ini atau camilan khusus oleh-oleh selebihnya ditempatkan dititik-titik keramaian.
“Koyok nang kuto Solo, nang kono jalan utama dipakai para pedagang serabi oleh-oleh khas Solo, pedagang lainnya ditempatkan dijalan-jalan yang bukan jalan utama,” terang cak Besut. Kemudian lanjutnya, pedagang-pedagang di Solo yang lain juga diakomodir disatu titik namanya Galabo. Konsep Galabo mirip dengan kawasan Kesawan di Medan dan Pasar Semawis di Semarang.
Disini setiap malam sepanjang ruas jalan tertentu ditutup untuk dijadikan kawasan kuliner. Dengan penataan seperti ini diharapkan adanya destinasi wisata baru. Pedagang untung, kadipaten juga untung dengan semakin banyaknya wisatawan yang hadir di Kadipaten tersebut.
“Tapi syarat e jual beli lapak serta siapa saja pedagang yang berhak jualan disitu harus memperhatikan para pedagang kaki lima yang asli. Jangan kemudian dijadikan komoditi dengan memasukkan pedagang-pedagang karbitan,” tegas Cak Besut.
Pedagang kaki lima sendiri selama ini selalu menempati ruang publik yang berada dipusat-pusat keramaian. Ruang publik sendiri menurut Cak Besut memiliki fungsi sebagai pusat interaksi dan komunikasi masyarakat baik formal maupun informal. Baik dalam konten sosial budaya dan ekonomi.
Bagi para pedagang kaki lima seperti Lek Sumo, memiliki hak yang sama untuk menggunakan ruang publik. Dalam sebuah penelitian, Pedagang kaki lima selalu menjalankan usahanya dengan mendekatkan diri pada konsumen. Secara otomatis para pedagang akan menjalankan aktivitasnya dilokasi yang memiliki tingkat kunjungan tinggi.
Pedagang kaki lima menempati ruang publik untuk menjalankan usahanya meskipun okupasi ruang publik tersebut menimbulkan persoalan, seperti kemacetan, ketidaktertiban,lingkungan kotor, kumuh dan tidak sehat. Namun demikian, para pedagang kaki lima sebagai manusia dan juga entitas ekonomi memiliki hak ekonomi untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi Lek Sumo dan kawan-kawan sejawatnya tidak bisa dihilangkan dari kegiatan diruang publik.
Keberadaannya justru menurut Cak Besut sebagai pelengkap dari segala unsur kehidupan publik terutama dikawasan perdagangan. ”Jadi penataan pedagang-pedagang koyok sampean Lek, harus dipikirkan tempat yang berdampingan dengan ruang untuk kegiatan sirkulasi kawasan yakni pedestrian dan jalan dengan alternatif membuat ruang publik baru dimana semua kegiatan publik berlangsung. Pedagang bisa tetap berjualan tetapi kepentingan pengguna jalan lain tidak terganggu,” Jare Cak Besut.
Golek gabah nang tengah sawah
Goro-goro Adipura, Pedagang Susah
* Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.