JEMBER, FaktualNews.co – SD Negeri (SDN) Tegalwaru 4, di Jalan Sidomukti Dusun Plalangan, Desa Tegalwaru, Kecamatan Mayang, Kabupaten Jember, kondisinya sangat miris. Pasalnya di sekolah tersebut, 6 rombongan belajar dari kelas 1 hingga 6 hanya diajar oleh dua orang guru. Bahkan jabatan kedua tenaga pendidik tersebut, adalah kepala sekolah dan seorang guru olahraga. Bukannya guru kelas sesuai kebutuhan sekolah dasar.
Dengan kondisi tersebut, sekolah yang juga hanya memiliki 3 ruang kelas itu hanya bisa pasrah dalam menjalani proses kegiatan belajar mengajar (KBM). Dengan terpaksa, siswa yang belajar harus bergabung, agar bisa terawasi semuanya. Kelas 1 sampai 3 satu ruang kelas, juga kelas 4 dan 5. Namun khusus kelas 6, khusus 1 ruang kelas, karena pihak sekolah beralasan untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian nasional (UN) mendatang.
Kepala SDN Tegalwaru 4 Tri Hastuti menyampaikan, awal dia menjabat sebagai kepala sekolah di sekolah tersebut, sekitar tahun 2015. Saat itu, kondisi kekurangan guru sudah dialami olehnya. Untuk mata pelajaran agama tidak ada gurunya. Idealnya dengan jumlah siswa tidak terlalu banyak di sekolahnya sekitar 36 orang dibagi 6 rombel, membutuhkan sekitar 9 orang guru. Termasuk kepala sekolah, guru agama, dan guru olahraga.
“Kemudian tidak lama, salah satu guru pensiun, sehingga berkurang lagi gurunya. Kemudian ada aturan SP (Surat Penugasan), yang sebelumnya mengajar di sini (SDN Tegalwaru 4), dipindah ke domisili masing-masing,” kata wanita yang akrab dipanggil Tri ini, saat dikonfirmasi di sekolahnya, Rabu siang (16/1/2019).
Dengan kondisi kekurangan guru karena dipindah setelah aturan SP, lanjutnya, sekolahnya mendapat guru tidak tetap (GTT) pengganti dari wilayah lain. “Sesuai aturan SP, dan beda kecamatan (dengan sekolahnya). Hanya satu setengah bulan, Juli dan Agustus (2018). Bulan September dipindahkan sesuai permintaan masing-masing,” katanya.
Belum selesai mengkondisikan sekolahnya dengan GTT baru, dirinya mendapat guru ber SP lagi 4 orang, perempuan semua, dan berasal dari Kecamatan Wuluhan. “Kebetulan yang dua orang kondisi hamil. Akhir semester 1 ada SP lagi terhitung 1 Januari. Tetapi saya tidak bisa melarang mereka (untuk memaksa mengajar di sekolahnya). Karena jarak tempuhnya untuk perempuan menempuh jarak 47 kilometer, kasihan saya, dan saya persilahkan mencari lembaga yang SPM (Standar Pelayanan Minimal) agar tidak kembali lagi,” tandasnya.
Merasa kekurangan guru, Tri pun berharap, Dinas Pendidikan segera memberikan guru pengganti. Namun sejak masuk awal semester genap, guru baru itu pun tidak kunjung datang. Sehingga pihaknya pun Akhirnya berbagi tugas dengan guru yang ada. “Dengan rombel enam kelas, dari 1 sampai 6, mengajarnya kami bagi 2. Saya pun kepala sekolah yang tidak wajib mengajar, harus mengajar. Padahal materinya kan tidak sama, wong gurunya juga beda spesifikasi,” tukasnya.
Dengan kondisi itupun pihaknya terus berharap, ada jumlah guru ideal agar bisa mengajar di tempatnya sekarang.