Nasional

Menakar “Keberhasilan” Alat Propaganda Tabloid Indonesia Barokah di Pilpres 2019

JOMBANG, FaktualNews.co – Pada perhelatan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, muncul tabloid propaganda bernama “Obor Rakyat” yang sempat memicu kontroversi.

Tabloid Obor Rakyat memang difabrikasi untuk menyerang pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla dalam konstelasi politik Pilpres 2014. Waktu itu Jokowi disebut sebagai antek asing, komunis, bahkan anti Islam.

Strategi yang digunakan Obor Rakyat dalam “berjualan” muatan hoaks, agar dibaca. Dengan mengedarkannya ke masyarakat, masuk ke masjid-masjid di Indonesia.

Edisi pertama Obor Rakyat yang mulai diproduksi Mei 2014 berjudul ‘Capres Boneka’. Halaman depannya ialah karikatur Jokowi mencium tangan Megawati. Tak perlu waktu lama untuk tabloid ini jadi viral dan jadi perbincangan panas di jagat politik.

Tim pemenangan Jokowi-Jusuf Kalla, kala itu langsung mengadukan tabloid Obor Rakyat ke Bawaslu pada 4 Juni 2016. Di tengah proses aduan itu, edisi kedua Obor Rakyat berjudul ‘1001 Topeng Jokowi’ beredar. Edisi kedua beredar lebih luas, bahkan sampai masjid-masjid dan pondok pesantren, seperti melansir detik.com.

Kini, Pilpres 2019 muncul tabloid propaganda baru bernama “Indonesia Barokah” yang berpotensi menimbulkan kegaduan. Dalam konten tabloid ini, bukan lagi Jokowi yang diserang. Namun, giliran Prabowo-Sandi diserang melalui Indonesia Barokah.

Cara penyebaran tabloid Indonesia Barokah dengan Obor Rakyat tidak ada yang berbeda. Tabloid ini disebar ke takmir masjid di seluruh penjuru Indonesia.

Takmir Majid di Jombang dan Sumenep Terima Indonesia Barokah

Di Jombang, tabloid Indonesia Barokah yang berisi berita-berita kampanye salah satu pasangan Capres-Cawapres rata-rata beredar ke para pengurus masjid.

Tabloid ini dikirim melalui Kantor Pos dengan nama dan alamat pengirim yang tidak jelas. Sebab hanya tertulis Jakarta Pusat. Seperti yang diterima oleh salah satu warga Desa Pulorejo, Sofiyatun. Dia mengaku mendapat titipan paket tabloid yang dialamatkan kepada pengurus Masjid An-Nur yang berada persis disebelah rumahnya, pada Kamis (24/01/19) sore kemarin oleh petugas pos.

“Karena Masjidnya sepi tidak ada orang makanya dititipkan ke saya. Saya juga bingung apa maksudnya koran ini, hanya saya taruh saja dirumah,” kata Sofiyatun, Jumat (25/1/2019).

Tabloid Indonesia Barokah yang diterima warga ini memiliki 12 halaman. Isi beritanya cenderung memuat tentang kampanye dan kegiatan salah satu pasangan capres dan cawapres dan menyudutkan pasangan capres lainnya.

Sementara di Sumenep tabloid Indonesia Barokah ini juga ditemukan di wilayah kepulauan, tepatnya ditemukan di Kecamatan Gayam, Pulau Sapudi.

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sumenep, Anwar Noris, tabloid yang keberadaannya misterius tersebut ditemukan di Kecamatan Gayam, Pulau Sapudi.

“Berdasarkan laporan Panwascam di sana, sementara kita temukan di Kepulauan Sapudi, tabloid tersebut dikirimkan ke salah satu masjid disana,” kata Noris, Jumat (25/1/2019).

“Kita belum tahu pengirimnya dari mana, tetapi secara garis besar isi dari tabloid tersebut berisi prestasi salah satu paslon. Informasinya ini sudah tersebar di berbagai daerah,” imbuhnya.

Pengiriman Dihentikan

Pihak Kantor Pos baik di Jombang dan Sumenep sama-sama menghentikan pengiriman tabloid Indonesia Barokah yang ditujukan ke takmir masjid.

Ini disampaikan Kepala Kantor Cabang Pos Diwek Jombang, Sutono, mengaku mendapat sejumlah paket tabloid yang sama. Namun, sejauh ini pihaknya belum mengirim paket kepada alamat yang dituju menyusul adanya perintah dari pimpinan untuk menunda paket tersebut.

“Belum kami bagikan karena ada perintah untuk dipanding dulu, isinya kami belum tahu,” tegasnya, Jumat (25/1/2019).

Propaganda atau Perlawanan

Di banyak negara yang menjalankan demokrasi, propaganda seolah menjadi alat politik yang tidak bisa dipisahkan dari Pemilu. Pilpres Amerika Serikat (AS) tahun 2016 adalah salah satu panggung terbesar propaganda yang disebut melibatkan kekuatan politik sistematis, setidaknya demikian yang ditulis oleh The New York Times.

Tuduhan propaganda di Pilpres AS tersebut diarahkan kepada Rusia yang disebut sebagai dalang dalam kampanye politik di sosial media untuk memenangkan Donald Trump.

Sementara di Indonesia, propaganda dalam Pemilu telah terjadi sejak tahun 1955. Bahkan, kala itu model propaganda dengan selebaran dan lain sebagainya dilakukan secara terang-terangan.

Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang adalah partai-partai besar kala itu menggunakan propaganda lewat media massa untuk saling serang dan membenturkan ideologi di antara mereka.

Sementara di era Orde Baru seperti dikutip dari majalah Historia, pelaku propaganda adalah pemerintah dengan Golkar sebagai partai utamanya. Kala itu, Soeharto menggunakan semua aparat negara untuk memperkuat legitimasi politiknya dan agar Golkar terus menjadi partai utama.

Pasca kejatuhan Orde Baru hingga saat ini, propaganda masih menjadi alat politik yang digunakan oleh hampir semua partai dan faksi politik. Tabloid Obor Rakyat pada Pilpres 2014 lalu mungkin menjadi salah satu contoh kecilnya saja.

Adapun dalam konteks Pilpres 2019, propaganda itu pun telah terjadi, baik lewat pertarungan buzzer di media sosial, maupun lewat narasi-narasi yang ditampilkan ke hadapan publik. (Supanjie/Muji Lestari/Redaksi)