Opini

Ngaji Diri dari Petani di Masjid Nabawi

Jare Cak Besut

Di Tanah Haram Madinah, Cak Besut mendapat banyak pelajaran tentang agama mesti tidak secara formal didapat dari mondok. Bukan dari syekh, kyai, ustad ataupun gus. Justru ia belajar banyak dari seorang petani miskin asal Jember yang kebetulan menjadi satu rombongan bersama Cak Besut.

Sedikit mengenal sosok bapak yang memiliki nama Said ini. Pria bertubuh kecil itu berkulit legam. Maklum saja, setiap hari paparan terik matahari tak henti-hentinya menyengat kulitnya.

Cak Besut masih teringat keusilannya ketika dalam pesawat. Kebetulan Pak Said adalah orang yang duduk persis disebelah Cak Besut. Begitu pesawat take off dari Bandara Juanda Sidoarjo, segala tingkah laku Cak Besut selalu ditiru pria ini secara diam-diam. Berawal dari pembagian earphone untuk mendengar musik, hingga cara Cak Besut menikmati hidangan yang disediakan kru pesawat.

Dasar Cak Besut, tahu ada yang mencontoh setiap gerakan, sifat usilnya mulai muncul. Ketika menikmati hidangan kedua, Cak Besut meminta seafood sebagai makan malamnya. Seperti yang ia kira, pria ini juga meminta makanan persis dengan Cak Besut dengan tanda isyarat pada sang pramugari. Pramugari yang berkebangsaan Arab ini cepat tanggap dengan permintaan pria ini. Singkat cerita, dihadapan Cak Besut tersedia hidangan udang goreng tanpa nasi. Olahan kentang menjadi pengganti nasi yang jelas tidak disukai lidah Indonesia.

Tutup hidanganpun dibuka, Cak Besut melirik pria ini kebingungan mencari nasi dibalik tumpukan udang goreng dan kentang olahan. Keusilan masih berlanjut Cak Besut membuka sachet kecil bertuliskan Salt dan Pepper. Cak Besut berpura-pura menaburkan kedua bahan masak ini diatas makanannya.

Dengan cepat pula Cak Besut membuang sachet tersebut ke kantong plastik yang tersedia sebagai tempat sampah seolah-olah semua isinya sudah habis tertuang. Pria inipun dengan polosnya menyobek sachet berisi garam dan lada tersebut dan menaburkan diatas makanannya persis yang Cak Besut lakukan hingga habis.

Tibalah saat menikmati hidangan, suapan pertama Cak Besut dengan santai menyusuri tenggorakannya. Namun tidak dengan pria ini. Begitu sendok berisi makanan ia masukkan kedalam mulut, wajahnya seketika berubah. Berkali-kali pria ini mengecapkan mulutnya mencoba membuang rasa aneh yang menghinggapi.

Tak seperti sebelumnya, makanan yang dihidangkan ludes dalam hitungan menit. Pada menu kedua tersebut, pria ini seolah memaksa makanan yang entah bagaimana rasanya tersebut untuk bisa masuk kedalam perutnya. Cak Besut yang melihat semua itu hanya bisa menahan tawa.

Said belakangan rupanya menjadi jodoh Cak Besut. Ia dan dua saudara laki-lakinya berada satu kamar dengan Cak Besut selama 8 hari di Madinah. Semula biasa saja bagi Cak Besut. Sampai kemudian ia dan Said berkesempatan ngobrol panjang. Said mengatakan bahwa ia, dua saudara sepupu laki-laki serta seorang tante yang sama-sama berusia lanjut, bisa ke tanah suci karena kebaikan dari salah satu kerabatnya.

“Kami semua adalah orang gak punya, bisa ke sini karena kebaikan dari saudara,” terang Said mengawali cerita.

Tidak pernah terbesit dalam pikiran Said bahwa ia bisa ketanah suci. “Jangankan ke tanah suci, untuk makan sehari-hari saja saya harus banting tulang,” tambah Said dengan ekspresi datar. Beban hidup yang ia tanggung, baginya bukan sebuah cobaan tapi anugerah dari Allah.

Ketika panggilan itu datang, Said bagai mimpi disiang bolong. Antara percaya dan tidak, tapi Allah telah menjalankan rencana-Nya. Ia pun berangkat dengan uang saku ala kadarnya. “Saya cuma bawa uang 1 juta itupun dari tabungan yang puluhan tahun saya simpan. (Biaya) yang paling banyak itu tasyakurannya, sekali tasyakuran habis 2 juta padahal itu paling sederhana,” jawabnya kembali tanpa ekspresi.

Menurut Said, itu sudah jadi tradisi nenek moyang orang Madura dalam pengenalan Islam pada suku yang terkenal dengan caroknya tersebut. “Islam itu beragam dalam penyebarannya. Sampean lihat di Masjid Nabawi, hampir seluruh penjuru dunia datang, ketika salat khususnya duduk diantara sujud ada sejumlah perbedaan, tapi apakah ini menjadikan kita berbeda?,” tanya Said

Tanpa bisa dijawab oleh Cak Besut. Pembicaraan mereka tiba-tiba terpotong, ketika salah satu saudara Said meminta tolong Cak Besut agar difotokan dengan background Masjid Nabawi. “Nanti sampean foto terus kirim ke nomor WA anak saya ya, biar dicetak besar dan ditulisi H.Subandi (nama pria tersebut),” pesan Bandi kepada Cak Besut. Cak Besut pun langsung mengambil smartphone miliknya dan mengambil beberapa foto dengan background terbaik.

Bahkan, saudara Said inipun kembali ke hotel dan berganti jubah panjang lengkap dengan sorban kotak berwarna merah dan putih yang dikalungkan dileher. Dengan berdandan ala Arab, Bandi meminta agar hasil jepretan Cak Besut lebih banyak sehingga ia bisa memilih yang terbaik. Said yang sedari melihat kelakuan saudaranya inipun seperti biasa. Lagi-lagi tanpa ekspresi ia melirik Cak Besut yang tiba-tiba menjadi fotografer dadakan.

Ketika proses pengambilan gambar selesai, Cak Besut kembali menghampiri Said. Ia pun menawarkan diri untuk memfoto Said sebagai kenang-kenangan. Namun jawaban Said justru membuat Cak Besut tertunduk malu. “Pak ayo tak foto, ditulisi Haji Said terus digedekno,” gurau Cak Besut.

Masyakarat dari segala penjuru dunia usai melaksanakan salat Jumat di Masjid Nabawi

Oala le, haji dan umroh iku ibadah, kalau di Mekkah dan Madinah seluruh jamaah dipanggil haji dan hajah itu karena mempermudah panggilan saja. Yang datang itu dari berbagai penjuru dunia, makanya lebih mudah untuk tegur sapa, digunakan panggilan itu,” jawab Said di luar dugaan seolah dia telah berkali-kali datang ke tanah suci.

Said pun melanjutkan, apabila panggilan ini dibawa pulang ke Indonesia, bisa dipastikan akan muncul riya’. Bahkan yang lebih parah, golongan kaum ini akan memisahkan diri dari status sosial yang melekat pada dirinya sebelum berangkat ke tanah suci. Mereka akan menjelma jadi sosok baru yang beranggapan mereka lebih tinggi dari yang lain.

Sampean ngerti begitu wong nyandang status haji, mau gak mau ia akan menempati posisi lebih tinggi dari yang sebelumnya, hakikat haji dan umroh agar kita sadar bahwa semua sama dimata Allah,” tukasnya.

Ia kembali melanjutkan ceritanya. Di rumah Allah seluruh jabatan predikat yang dimiliki telah dilepas semua. Mulai dari penggunaan baju ihrom yang seluruh dunia memiliki model dan warna yang sama. “Terus lek nang njero masjid, mosok yo onok bedane Adipati karo wong cilik, shaf e yo dadi siji, lek nang roudho yo jek desek-desekan, gak iso sakpenake dewe salat karo ndungo suwi lek gak pengen dicengkeweng askar,” katanya sambil tetap menunjukkan ekspresi datar.

Perbedaan mencolok hanya berada dipenginapan para jamaah. Orang-orang berduit bisa memilih hotel yang jaraknya dekat dengan Masjid. Selain itu, hotel yang mewah biasanga menyediakan masakan sesuai selera kita. “Tapi mbalek maneh, urusan duniawi tok seng iso mbedakno antara jamaah yang kaya dan yang tidak, selebihnya semua sama,” ulas Said.

Begitu pula ketika disinggung tentang pakaian jubah ala Arab. Said kembali menerangkan dengan gaya cueknya. Ia mengatakan, Indonesia identik dengan sarung dan baju sederhananya. Tujuan pakaian adalah menutup aurat bukan untuk yang lain. “Sampean pasti paham, wong Arab bukan semuanya muslim tapi pakaiannya yang mereka kenakan ya seperti itu. Thawb biasanya orang arab menyebutnya yakni gamis panjang berwarna putih apabila musim panas dan bahan yang dikenakan adalah bahan yang menyerap keringat, sementara jika musim dingin mereka mengenakan thawb dengan warna-warna gelap,” jelas pria yang sama sekali tidak mengeyam pendidikan tinggi tetapi bisa menjelaskan yang tidak diketahui Cak Besut.

Sejatinya Thawb, lanjut Said adalah simbol kesederhanaan. Dengan memakai Thawb di Arab, tidak ada yang tahu pemakainya kaya atau miskin. Akan hal inilah pula masyarakat Arab bisa dibedakan dari pakaian mereka. “Lah kalau Arab mampu mempertahankan pakaian tradisional mereka, kita kok malah malu pakai sarung dan ikut-ikutan gaya berbusana mereka. Kita iku wong Indonesia bukan wong Arab,” terangnya tanpa menunjukkan pemaksaan sedikitpun atas narasi yang ia bangun.

Allah mempertemukan orang-orang dari seluruh penjuru dunia, dengan datang ke Madinah dan Mekkah bukan untuk saling berbeda. “Sampean delok, gerakan salat mereka, enek seng takbiratul ihram gak ngangkat tangane blas, enek seng duduk diantara dua sujud drijine nduding karo diuter-uterno koyok lek ogok-ogok opil, wes pokok e reno-reno tapi tujuan mereka tetap satu berdoa dan salat hanya kepada Allah bukan yang lain,” tambahnya melanjutkan kisah.

Kalau seperti itu, pantaskah kita merasa ajaran yang kita terima tentang Islam adalah yang paling benar? pantaskah kita memaksa agar Islam harus sesuai dengan negara Arab? Sementara dulu, kita tidak pernah tahu bagaimana para sahabat Nabi Muhammad SAW menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia? Kalau di Indonesia ada kisah Walisongo, yang kemudian berkembang menjadi berbagai ajaran ilmu Islam hingga terpolarisasi antara kaum abangan dan kaum putih.

Mbah Hasyim ngedekno NU iku gak angger ae, Mbah Ahmad Dahlan ngadekno Muhamdiyah yo gak asal-asalan, lah lek ancen podo lapo biyen Mbah Hasyim karo mbah Dahlan kerjasama ae ben gak onok NU ta Muhamadiyah, cukup Islam Indonesia,” wejang Pak Said.

Itu di Indonesia, lanjut pak Said, Belum menyentuh orang Negro, India dan lain-lain. “Londo-londo seng kulit e putih abang iku, mereka juga mengenal Islam dari para sesepuhnya terdahulu, kemudian jika mereka berbeda dengan ajaran yang kita terima apakah pantas kita menyalahkan mereka dengan mengganggap kita yang paling benar,” ulasnya kembali.

Makane lek enek seng rame koyok nang Indonesia ngomong Islam iku seng bener kudu Arab kiblate, wonge kongkon moro nang Arab. Terus kongkon benerno wong sakdunyo seng moro nang Masjidil Haram Mekkah lan Masjid Nabawi Madinah ben podo seng dikarepno. Lek iso, sak arab kongkon agomo Islam kabeh iku baru jenenge mengislamkan Arab ojo kemudian malah meng Arabkan Islam. Jarno Islam Indonesia ben dadi Islam Indonesia, Islam Arab ben dadi Islam Arab, Islam Negro ben pancet dadi Islam Negro, seng penting gak nyimpang teko Islam dengan berpatokan Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir umat Islam yang merupakan utusan Allah,”.

“Aku bukan ahli ibadah, ilmu agamaku juga gak duwur, sampean karo aku iku podo ae, mrene karena panggilan Allah. Ojo dipikir sampean duwe duit dengan mudah bisa haji setiap tahun dan umroh berkali-kali. Lek gak enek panggilan gak bakal iso budal sampean,” tambahnya. Tanpa jeda ia melanjutkan wejangannya. “Coba sampean golek wong sugih 10 ae, terus kongkon budal umroh, lak gak kabeh gelem, mesti onok ae alasan seng bisnis e wedi ilang, seng gak enek waktu, seng tabungan durung nglumpuk, iku mbuktekno lek umroh karo kaji iku wes enek garise,” tambahnya.

Dadi intine, lek ancen wes dipanggil dadi tamu Allah, gunakan waktu yang ada untuk mengevaluasi diri. Mrene iku duduk panggonan gawe ndungo karo njaluk ben diijabahi tapi yang lebih utama adalah mengkaji diri. Anggap di sini adalah pondok pesantren kilat. Begitu balik setidaknya bisa lebih baik dari sebelumnya karena kesempatan untuk datang ke sini itu tidak dimiliki semua orang,” pungkas Said.

Sayup-sayup berkumandang suara Adzan Maghrib. Said pun permisi mengambil air wudhu dan bergegas menuju Masjid Nabawi. Sementara Cak Besut diliputi berbagai perasaan tidak menentu. Seluruh omongan petani miskin dari Jember ini hampir sesuai dengan realita. Dalam rombongan Cak Besut dan Rusmini yang nota bene bisa umroh karena menang undian Kacang Merona, ada pula seorang pembantu rumah tangga asal Sidoarjo. Ia seorang janda, tak memiliki sanak keluarga, sejak muda ia ikut sebagai pembantu. Karena kebaikan tuan rumahnya terdahulu ia bisa umroh yang pertama. Karena tuan rumahnya dulu sudah meninggal, ia kemudian ikut juragan baru. Dan kembali, oleh juragan barunya ini, ia diberangkat kembali ke tanah suci.

Begitu pula dengan Cak Besut, dua kali ia ke tanah suci juga tak lepas dari Anugerah Illahi. Yang pertama Cak Besut berangkat karena adanya ‘sponsor’ dan yang kedua inipun karena menang undian. Belum tuntas Cak Besut melamun, sayup terdengar suara merdu Iqomah dari dalam Masjid Nabawi. Tak ingin tertinggal takbiratul ihram pertama Cak Besut segera mengambil posisi agar shaf nya terjaga.

Jare Cak Besut :

Godong temu digawe jamu
Godong salam digawe pengharum lemari
Nuntut ilmu hukume fardhu
Mergo Islam agomo sejati

* Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Share
Penulis