Opini

Nilai Historisitas PMII dan Pengaruh “Lumpur” Politik

PAMEKASAN, FaktualNews.co – Kini PMII hampir memasuki usianya yang ke-59 pada 17 April 2019 mendatang, bertepatan dengan pemilu 2019. Tentu ini bukan lagi usia yang masih muda. Banyak hal sudah dilewati,  pahit dan manis silih berganti mewarnai perjalanan panjang PMII.

Organisasi yang didirikan dari keputusan Konbes Kaliurang ini akhirnya dibentuk 13 orang pelopor. Selanjutnya, dilakukan musyawarah di Surabaya 14-16 April 1960 yang memutuskan pemberian nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Penunjukan Ketua Umum ” Mahbub Djunaidi” dan kemudian penyusunan Peraturan Dasar PMII, yang dinyatakan mulai berlaku pada 17 April 1960.

Ditengah perjalanan panjang yang sudah melewati setengah abad. Harus diakui saat ini PMII sedang dalam masa-masa penuh ujian dan cobaan untuk kembali melakukan pembenahan internal dan eksternal serta kembali kepada Khittah.

Tujuan awal didirikannya, yaitu sebagai wadah pergerakan mahasiswa yang berpegang teguh pada nilai-nilai keislaman dan keindonesian dan Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai manhaj berfikirnya.

PMII dihuni oleh mahasiswa yang berasal dari kalangan intelektual muda, cerdas, dan berani dalam mengambil sikap tegas. Serta memegang teguh nilai-nilai intelektual tersebut di mana saja mereka berada.

PMII juga konsisten mengambangkan tradisi intelektual literer. Tidak hanya mencakup kemampuan membaca dan menulis, melainkan menambah pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan.

Dapat membuat seseorang memiliki kemampuan berpikir kritis, mampu memcahkan masalah dalam berbagai konteks, mampu berkomunikasi secara efektif. Serta mampu mengembangkan potensi dan berpartisifasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat.

 *Pengaruh Lumpur Politik Praktis*

Saat ini, tradisi intelektual kader PMII yang dulu menjadi garda terdepan dalam menghadapi berbagai macam persoalan bangsa. Perlahan tetapi pasti sudah mulai terguras oleh syahwat politik praktis dan pragmatis yang menggorogoti nilai idealisme para kader PMII.

Ajang silaturahmi yang sejatinya diharapkan untuk saling tukar gagasan dan wacana keilmuan, telah beralih menjadi ajang argumentasi yang berbau politis. Bahkan dengan bangganya mereka berwacana sebagai budak dari para pelaku politik.

Sebagai wadah organisasi pergerakan, PMII juga mulai kehilangan gereget di level kaderisasi. Mulai dari masa penerimaan anggota baru (MAPABA), pelatihan kader dasar (PKD) dan pelatihan kader lanjut (PKL).

Agenda-agenda kaderisasi itu semua seakan-akan hanya formalitas penggukur amanah organisasi. Sehingga terkadang kaderisasi hanya sebatas dijadikan ajang untuk merekrut kader sebanyak-banyaknya guna menjaga keutuhan kuantitas sehingga lupa akan pentingnya kualitas.

Dan kurangnya pembaharuan metodologi training karena sering tidak adanya ruang bagi pengembangan profesionalitas, wirausaha, dan keterampilan teknis. Serta masih kurang seriusnya melakukan pengawalan terhadap kader-kader, terutama yang baru mengikuti MABA.

Begitu juga untuk anggota-anggota pergerakan yang sudah mengikuti PKD dan PKL. Akibatnya banyak kader yang buta tugas dan peran sehingga terkadang masih ada diantara mereka yang lupa terhadap aturan konstitusional organisasi.

Bahkan pudarnya pengatahuan terhadap independensi organisasi tidak lain merupakan dampak dari masih lemahnya tradisi intelektual serta kaderisasi yang kompoten.

Hal ini juga bisa dilihat dari dengan mudahnya beberapa kader bergumul dalam lumpur politik praktis tanpa dadisari topongan pengetahuan politik yang mumpuni, sehingga akibatnya mudah sekali didikte oleh kepentingan orang lain.

Akhirnya, sifat indepedensi yang seharusnya menjadi tolak ukur deri teguhnya idealisme musnah menajdi tak berarti.

Pemahaman yang salah tentang pola pikir dalam berorganisasi . Menjadi titik pangkal dari lemahnya budaya intelektual, kaderisasi yang mapan dan teristematis, serta independensi.

Hidup berorganisasi banyak dipahami sebagai batu loncatan untuk menembus lahan kerja dan menjadi bagian dari kekuasaan semata-mata. Bahkan terkadang Islam yang merupakan bagian utama dari PMII dengan _Ahlusunah Wal Jamaah_ terkadang dilupakan.

Akhirnya, penulis berharap sebagai organisasi ekstra kampus yang berbasis di perguruan tinggi serta mempunyai kader-kader dengan latar belakang mahasiswa.

Semoga ke depan PMII dapat menjadi telaga yang menghilangkan dahaga para kadernya dengan mata air intelektual dan budaya literer yang terus-menerus dijaga dan dipertahankan. Jayalah PMII ku, Tangan terkepal dan maju ke depan. (*Ach Hariyadi mantan kader PMII IAIN Madura)