JOMBANG, FaktualNews.co – Polemik pembangunan pabrik kertas di Desa Daditunggal Kecamatan Ploso kian memanas. Pasca warga mencabut berkas tanda tangan yang sudah diberikan, terungkap jika PT.Indonesia Royal Paper belum bisa melakukan kegiatan apapun karena masih sebatas mengantongi Izin Pemanfaatan Ruang (IPR) saja.
“Pelaku usaha memang sudah mengantongi Online Single Submission (OSS) tapi bukan berarti bisa melakukan action, karena OSS sendiri sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah no 28 tahun 2018,” terang Wildan Kepala Bidang Tata Ruang dan Pertanahan Dinas PUPR Jombang, kamis (18/4/2019). Dijelaskannya, OSS yang dikantongi oleh PT.Indonesia Royal Paper harus dilengkapi dengan sejumlah komitmen yang lain.
Sebagaimana tertuang dalam Bab III Pelaksanaan Perizinan Berusaha pasal 20 PP no 28 Tahun 2018 huruf b, penerbitan izin usaha dan penerbitan izin komersial atau operasional berdasarkan komitmen. Serta tertera pada huruf c, pemenuhan komitmen izin usaha dan pemenuhan komitmen izin komersial atau operasional.
Komitmen yang dimaksud menurut Wildan adalah sejumlah persyaratan lain selain IPR. “Selain IPR, harusnya langsung diurus izin lingkungan. Dimana izin HO yang sekarang dihapus sebenarnya bukan ditiadakan melainkan dimasukkan jadi satu dengan izin lingkungan,” tandas Wildan. Lebih jauh diungkapkan, salah satu syarat wajib terbitnya izin lingkungan adalah adanya surat keterangan tidak keberatan dari warga terdampak sekitar pabrik.
“Jika ada gejolak sosial karena penolakan warga, pasti pihak pemkab akan mengkaji ulang dan mengembalikan permasalahan tersebut kepada perusahaan dan warga, dan izin tidak mungkin bisa diberikan jika permasalahan belum clear, tapi ini bukan kewenangan kami karena izin lingkungan ada pada Dinas Lingkungan Hidup. Baru setelah izin lingkungan ada maka kami akan proses IMB nya,” jelasnya.
Terkait adanya kegiatan pengurukan oleh pihak perusahaan yang memantik reaksi warga sekitar, menurut Wildan hal tersebut seharusnya tidak terjadi. Menurut regulasi yang ada, jika perusahaan belum menjalankan seluruh komitmen yang seusai dengan PP 28 tahun 2018, harusnya seluruh kegiatan ditiadakan dulu.
“Mereka mengantongi izin IPR dari Pemkab Jombang dan Pembangunan jembatan dari Propinsi Jatim, namun hal itu bukan serta merta bisa menjalankan kegiatan. Ibarat buka rumah mereka masih boleh membuka pagar saja, belum bisa membuka kunci rumah apalagi lain-lainnya. Sekali lagi harusnya mereka tidak melakukan kegiatan apapun dulu sebelum melengkapi semuanya,” tukas Wildan menganalogikan izin yang dimiliki oleh PT. Indonesia Royal Paper.
Senada juga diungkapkan Kepala Bidang Penegakan Perda Satpol PP Jombang, Yudha Asmara mengaku telah turun lapangan atas munculnya gejolak sosial atas pembangunan pabrik kertas Ploso ini. Namun saat itu, ia mengaku tidak bisa melakukan apa-apa. Karena saat tiba dilokasi tidak ada satupun yang mengetahui siapa yang berwenang atas pembangunan pabrik tersebut.
“Tidak ada petunjuk apapun, siapa pemiliknya, siapa yang bertanggungjawab, papan nama yang mengatasnamakan salah satu PT pun tidak ada, yang ada hanya satu alat berat saja, kami tanya perangkat desa juga dijawab dengan hal yang sama, mereka tidak tahu menahu atas pembangunan tersebut,” terang Yudha. Karena minimnya informasi terkait keberadaan pabrik kertas ini, Yudha mengaku tidak bisa mengambil tindakan.
Atas temuan ini, Yudha mengaku sudah melaporkan ke Sekretaris Daerah Achmad Jazuli dan langsung ditindak lanjuti dengan berkirim surat kepada Camat Ploso. Surat yang ditandatangani Sekda Jazuli ini menurut Yudha, berisikan tentang himbauan kepada Camat agar lebih mengintensifkan peran Kepala Desa sehingga hal-hal seperti pabrik kertas Ploso bisa diantisipasi.
Sementara berdasarkan hak jawab dari PT.Indonesia Royal Paper yang dikirim via email serta pos ke redaksi Faktualnews.co menyebutkan, bahwa PT.Indonesia Royal Paper telah mendapatkan berbagai perizinan baik dari Pemkab Jombang Pemprop Jatim dan Pusat. Hal ini berbanding terbalik dengan realita yang ada. Temuan dilapangan, PT. Indonesia Royal Paper hanya mengantongi OSS dengan komitmen yang belum sepenuhnya terpenuhi serta IPR.
Hak jawab yang ditandatangani oleh M.Chanafi selaku direktur PT.Indonesia Royal Paper ini juga menyebutkan apabila pihak mereka telah mengadakan koordinasi, konsultasi dan pertemuan dengan warga dan ditunjukan dengan berita acara yang ditandatangani oleh pihak Kepala Desa dan warga sekitar. Namun belakangan, warga yang membubuhkan tanda tangan pada berita acara tersebut telah melayangkan surat pencabutan atas tandatangan mereka. Warga merasa tandatangan yang mereka bubuhkan waktu tersebut adalah daftar hadir, bukan berita acara persetujuan. Warga juga menuding, perusahaan tersebut melakukan penipuan terhadap warga sekaligus Kepala Desa. Karena pada saat pertemuan, Kepala Desa setempat tidak hadir, namun pada berita acara yang dimiliki perusahaan, tertera tanda tangan Kepala Desa lengkap dengan stempel.
Disebutkan pula jika PT.Indonesia Royal Paper bahwa kegiatan pembangunan pabrik tidak akurat. Hal ini menurut mereka belum memulai proses pembangunan. Namun kegiatan baru berupa konstruksi jembatan sebagai akses jalan. Dan hal itu dilakukan atas dikantonginya izin dari Balai Besar Sungai Propinsi Jatim guna pendirian bangunan diatas sungai. Namun praktik dilapangan, selain pabrik telah mendirikan jembatan, sekaligus juga melakukan proses pengurukan tanah yang menggunakan alat berat yang membelah pemukiman padat penduduk. Hal inilah yang kemudian menimbulkan gejolak sosial.
Pertanggungjawaban atas kegiatan pendirian pabrik sendiri juga terkesan secara diam-diam. PT.Indonesia Royal Paper sengaja tidak memasang papan nama serta pemberitahuan yang bisa diketahui secara luas terkait keberadaan lahan yang sedang dikerjakan tersebut. Hal ini diperkuat dengan kedatangan dari Kepala Bidang Penegakan Satpol PP Jombang yang mendapat laporan atas keresahan warga, kesulitan mencari tahu alamat dan penanggung jawab proyek ini. “Sebelum ramai diberitakan saya sudah kesana, namun semua mengaku tidak tahu itu pabrik apa dimana lokasi kantornya, siapa penanggungjawabnya, papan nama pun gak ada, akhirnya kami harus kembali dengan tangan hampa,” tegas Yudha Asmara, Kabid Penegakan.