SURABAYA, FaktualNews.co – Syiar Agama Islam di Surabaya, tak lepas dari sosok seorang Kyai berdarah Yaman bernama Assayid Ali Ashghor Basyaiban. Putra dari Assayid Ali Akbar Basyaiban.
Assayid Ali Ashghor Basyaiban ini, konon seorang Habaib (keturunan Nabi Muhammad SAW) yang berwajah Jawa. Beliau merasa mendapat tugas dari sang ayahanda, Assayid Ali Akbar Basyaiban. Untuk melanjutkan syiar Agama Islam di Tanah Jawa, atau persisnya di daerah selatan Kota Surabaya.
Media ini pun berusaha menelusuri jejak syiar Agama Islam yang dilakukan oleh Assayid Ali Akbar Basyaiban dan anaknya Kyai Ali Ashghor, atau banyak masyarakat menyebutnya dengan panggilan Kyai Ndresmo.
Ditemui di kediamannya, Nasrohuddin (52), pria warga Kelurahan Sidosermo, Kecamatan Wonocolo, Kota Surabaya yang juga salah seorang pengajar di Pondok Pesantren setempat menceritakan napak tilas perjalanan Sang Habaib secara singkat.
Diceritakan Nasrohuddin, pada abad 17, Assayid Ali Ashghor Basyaiban lahir. Bersamaan dengan kelahirannya, sang ayah, Assayid Ali Akbar Basyaiban bin Assayid Sulaiman. Dibawa oleh pihak Belanda.
“Tidak tahu itu dibawa kemana, keturunan-keturunannya itu juga tidak tahu dibawa kemana. Apakah dibawa ke tempat asalnya, karena beliau-beliau ini kan bukan asli Indonesia. Mungkin di Yaman,” tutur Nasrohuddin mengawali ceritanya, Jumat (10/5/2019).
Ketika dicokok Belanda, istri Assayid Ali Akbar ikut merasa panik. Karena khawatir Belanda turut serta membawa anaknya yang usianya baru beberapa minggu. Ia pun berusaha menyembunyikan sang orok.
Bayi laki-laki yang besarnya nanti dikenal sebagai Assayid Ali Ashghor Basyaiban, seorang kyai terkenal sekaligus sosok yang melanjutkan perjuangan sang ayah dalam babad alas Kelurahan Sidosermo, Kecamatan Wonocolo, Kota Surabaya itu, disembunyikan kedalam ‘kukusan’.
Kukusan adalah alat penanak nasi asal Jawa berbentuk kerucut dan terbuat dari sulaman bambu, yang penggunaannya dipadukan dengan kuali.
Alasan pihak Belanda meringkus Assayid Ali Akbar Basyaiban, karena ia dianggap menyebarkan ajaran-ajaran Agama Islam yang bertentangan dengan Belanda.
“Karena Belanda waktu itu tidak ingin ada orang yang mengembangkan ajaran-ajaran yang menentang Belanda,” lanjutnya.
Seiring berjalannya waktu, Assayid Ali Ashghor tumbuh dewasa. Meski tanpa bimbingan sang ayah, ilmu dan kecerdikannya dalam mempelajarai ilmu Agama Islam sangatlah mumpuni. Beliau pun melanjutkan perjuangan Assayid Ali Akbar Basyaiban, dengan terus menerus mensyiarkan ajaran Agama Islam di Kelurahan Sidosermo, Kecamatan Wonocolo, Kota Surabaya. Hingga kala itu, tempat ini menjadi terkenal seantero nusantara sampai Timur Tengah sebagai tanah Mekkahnya Jawa.
Karena kegigihannya dalam menyebarkan ajaran Agama Islam di Surabaya, khususnya Kelurahan Sidosermo. Julukan Kyai Ndresmo, Kyai Babad Alas Sidosermo melekat pada Assayid Ali Ashghor Basyaiban hingga wafat. Makamnya pun, kini tetap terawat dengan baik, terletak di tengah komplek pemakaman Islam Jalan Sidosermo Gang Kuburan, Kelurahan Sidosermo, Kecamatan Wonocolo, Kota Surabaya.
Awal Sebutan Sidosermo atau Ndresmo
Assayid Sulaiman bin Abdurahman Basyaiban, juga seorang Habaib keturunan Nabi Muhammad SAW yang makamnya berada di Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang. Kala itu, bercita-cita ingin menyebarkan ajaran Agama Islam di tanah Jawa seperti yang dilakukan oleh para Sunan terdahulu. Dan tujuannya itu berhasil, ada beberapa tempat syiar Agama Islam yang dilakukannya, kini telah menjadi sebuah pusat pendidikan Agama Islam berupa Pondok Pesantren besar seperti Sidogiri di Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan.
Tak hanya berhenti di daerah tapal kuda saja, beliau juga ingin mensyiarkan Agama Islam di daerah Surabaya Selatan yang belum terjamah. Akhirnya ia mengutus putranya, Assayid Ali Akbar Basyaiban, agar melaksanakan tugas tersebut.
Dalam munajat kepada Allah SWT, Assayid Ali Akbar Basyaiban mendapatkan sebuah tempat di aliran Sungai Brantas, Kota Surabaya. Yang sekarang merupakan Kelurahan Sidosermo, Kecamatan Wonocolo, Kota Surabaya.
Dahulu, Sidosermo masih berupa hutan aliran Sungai Brantas yang dikenal angker. Tidak ada satu orang pun yang berani menginjakkan kaki ditempat itu. Bukan tanpa alasan, sepanjang aliran Sungai Brantas kala itu, masih menjadi sarang hewan buas seperti buaya dan harimau Jawa.
Karena kegigihan Assayid Ali Akbar Basyaiban, daerah tersebut akhirnya bisa ditaklukkan. Ia bersama lima santri utusan ayahnya, mendirikan sebuah pesantren kecil ditempat yang pada saat itu dikenal dengan sebutan Demangan.
Seiring berjalannya waktu, hari-hari Assayid Ali Akbar Basyaiban beserta lima orang santri utusan ayahnya diisi dengan ibadah, belajar agama dan mengaji dengan tekun. Karena rutinitas inilah, Assayid Ali Akbar Basyaiban menamai tempat itu sebagai Ndresmo atau Nderes Limo, yang artinya mengaji dengan tekun (Nderes) lima orang (Limo).
“Ndresmo, Nderes Limo, orang lima yang tekun belajar Agama Islam. Mengaji,” ucap Nasrohuddin.
Sejak saat itu, Demangan lebih dikenal sebagai Ndresmo. Dan berubah menjadi pesantren jujugan masyarakat disekitarnya untuk menimba ilmu Agama Islam. Yang pada akhirnya, kemasyuran Ndresmo dilanjutkan oleh putranya, Assayid Ali Ashghor Basyaiban, beserta keturunannya dengan banyak mendirikan pesantren disana.