FaktualNews.co

Biasa Digunakan Untuk Iktikaf, Ini Sejarah Musala Abu Darin Grati Pasuruan

Ramadan     Dibaca : 2579 kali Penulis:
Biasa Digunakan Untuk Iktikaf, Ini Sejarah Musala Abu Darin Grati Pasuruan
FaktualNews.co/Abdul Aziz/
Musala Abu Darin Di Dusun Tugu, Desa Kedawung Kulon, Kecamatan Grati, Kabupaten Pasuruan.

PASURUAN, FaktualNews.co – Musala Abu Darin yang berada di Dusun Tugu, Desa Kedawung Kulon, Kecamatan Grati, Kabupaten Pasuruan, konon menurut cerita para sesepuh warga setempat, adalah sebuah surau yang dibangun dari sebuah batu yang dilempar oleh KH Mahalli asal Ponpes Sidogiri Pasuruan di masa penjajahan Belanda.

Bahkan, musholla ini jelang pertengahan bulan Ramadan mulai banyak dikunjungi warga (jamaah) dari desa lainnya. Mereka datang biasanya pada malam hari untuk menjalankan ibadah salat sunnah dan dzikir (iktikaf) untuk lebih mendekatkan diri pada sang Khalik. Bahkan tiap harinya bisa puluhan warga yang datang jelang tengah malam.

Menurut warga sekitar, Hilmi (38), musala ini merupakan peninggalan penjajahan Belanda kala itu. Saking dianggap sakral dan punya sejarah yang dianggap keramat, sehingga banyak orang yang datang untuk melaksanakan ibadah seperti pada bulan Ramadan untuk beriktikaf. “Biasanya mulai ramai didatangi di malam 21 keatas di bulan ramadhan,” ujarnya, Sabtu (18/5/2019).

Dikenalnya musala ini, sudah puluhan tahun silam. Dari penuturan salah satu keturunan Mbah Abu Darin, yakni istri Gus Masduki (Nyai Masduki) mengatakan, bahwa Mbah Abu Darin diminta mencari batu hitam yang dilempar oleh Kyai Mahalli Sidogiri dan Mbah Abu Darin kemudian menemukan batu hitam itu sebelum terbitnya fajar.

“Saat ditemukan batu itu, kemudian oleh Mbah Abu Darin, ditandainya tempat dimana ditemukannya batu tersebut dengan tanaman pohon Trenggulun (Rukem) yang dicabut dari sekitar batu. kemudian batu sebesar kepalan tangan itu diserahkan kembali oleh Abu Darin kepada gurunya yakni Kyai Mahalli di Sidogiri,” papar Nyai Masduki, ditemui di kediamannya tak jauh dari musholla itu.

Masih menurut Nyai Masduki, saat itu Mbah Abu Darin menolak untuk dijadikan menantu gurunya yakni Kyai Mahalli karena pesan ayahnya agar tak menjadi menantu sang guru karena dianggap kurang sopan atau tidak mengerti unggah-ungguh (tata krama). “Setelah mengembalikan batu hitam ke Kyai Mahalli, Abu Darin kemudian bermukim di dekat batu dengan bangunan surau (musala),” jelasnya.

Singkat cerita, Pemerintah penjajah kolonial Belanda yang menguasai daerah Kedawung Kulon, saat itu memaksa Abu Darin untuk mengungsikan keluarganya ke daerah yang lebih aman yakni di Desa Karangsono, Kecamatan Winongan, Kabupaten Pasuruan. Permintaan itupun disanggupinya. Bahkan saat ini masih banyak keturunan dari Mbah Abu Darin, yang bermukim di Desa Karangsono.

Di musala ini juga tidak pernah lepas dari kegiatan pengajian, Istighosah dan kegiatan Haul mbah Abu Darin setiap bulan Syawal (Idul Fitri). Bahkan pengajian setiap malam Jumat legi, rutinan di minggu Wage dan saat bulan Ramadan Tarawih dan Tadarus serta kegiatan Istighosah yang diasuh oleh beberapa ulama Pasuruan dan Jember yang merupakan keturunan Abu Darin.

Tak hanya itu, konon Ulama besar yakni Syaikhona Cholil, asal Bangkalan Madura, juga pernah belajar tentang ilmu Laduni kepada Mbah Abu Darin, Namun saat itu, beliau Abu Darin tak lama kemudian wafat.

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
S. Ipul