FaktualNews.co

Melihat Keberadaan Masjid Berusia Dua Abad di Mojokerto

Ramadan     Dibaca : 3263 kali Penulis:
Melihat Keberadaan Masjid Berusia Dua Abad di Mojokerto
FaktualNews.co/Amanu/
Masjid Besar Baiturrohman yang berlokasi di Desa/Kecamatan Gedeng, Kabupaten Mojokerto

MOJOKERTO, FaktualNews.co – Masjid Besar Baiturrohman yang berlokasi di Desa/Kecamatan Gedeng, Kabupaten Mojokerto, merupakan salah satu masjid tertua di Kabupaten Mojokerto. Selain memilik alur peradaban Islam di utara Sungai Brantas, masjid yang identik dengan warna hijau ini di perkirakan sudah berusia lebih dari dua abad.

Sejarahwan Mojokerto Ayuhanafiq, mengungkapkan, Masjid Besar Baiturrohman diperkirakan berusia lebih dari dua abad. Arsitekiktur masjid yang diperkirakan dibangun pada awal abad ke 19 ini memiliki kesamaan dengan masjid-masjid tua lainnya yang ada di Mojokerto.

Sebut saja Masjid Agung Al Fattah, Kelurahan Kauman, Kecamatan Prajurit Kulon, Kota Mojokerto yang didirikan pada 7 Mei 1877. Selain itu juga ada Masjid Besar Darussalam, Desa Gemekan, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto yang dibangun pada 15 Januari 1893. ”Masjid tua itu memiliki kesamaan cungkup atau kubahnya khas ala Jawa dengan tiga susunan,” terangnya.

Disamping itu, di bagian dalamnya juga terdapat tangga yang menuju sebuah ruangan atas. Tangga tersebut dulu difungsikan bagi muazin untuk mengumandangkan azan. Karena dulu belum ada pengeras suara, sehingga harus dilakukan di tempat yang lebih tinggi agar suara azan bisa terdengar.

Kesamaan lainnya adalah bangunan utama masjid yang ditopang oleh empat soko guru atau empat tiang utama dari kayu jati. Konon, kayu jati itu ditebang dari hutan di daerah perbatasan Kemlagi dengan Dawarblandong. Kayu jati yang tumbuh di kawasan tersebut dikenal memiliki kualitas tinggi. Tak lain karena ditanam pada tanah kapur Pegunungan Kendeng yang membentang dari Blora hingga Surabaya. ”Soko guru itu masih ada hingga kini,” ujarnya.

Masjid Besar Baiturrohman yang berlokasi di Desa/Kecamatan Gedeng, Kabupaten Mojokerto

Tangga yang digunakan untuk mengumandangkan adzan

Dengan adanya kesamaan itu, maka diperkirakan pendirian masjid dilaksanakan dengan selang waktu yang tidak terpaut tertalu lama. Yuhan menjelaskan, Masjid Besar Baiturrohman disebutkan didirikan oleh Raden Wasengsari ketika menjadi Penghulu di Kawedanan Gunung Kendeng.

Pada awal dibangun, gaya arsitekturnya hampir mirip dengan Masjid Demak yang kemudian menjadi kiblat pembangunan masjid-masjid di Jawa. Rata-rata tidak terpasang kubah di bagian atapnya, melainkan diganti dengan cungkup limasan. Di dalam cukup itu lah terdapat sebuah ruangan yang difungsikan sebagai tempat muazin. ”Kemungkinan masjid Gedeg didirikan pada tahun 1817,” ulasnya.

Yuhan memaparkan, setelah rampung dibangun, Masjid Kawedanan Gunung Kendeng dijadikan sebagai tempat berbagai kegiatan keagamaan Islam. Di sisi lain, masjid yang kini dinamakan Baiturrohman ini dulu juga sempat dijadikan kantor penghulu. Sehingga aktivitas pelayanan seperti urusan nikah, talak, waris dan segala hal yang berkaitan dengan muamalah maupun ubudiyah juga dilakukan di Masjid Baiturrohman.

Selain itu, aktivitas keagamaan juga terjadi di sebuah pesantren yang lokasinya tidak jauh dari masjid. Terdapat sebuah musala yang sekaligus dijadikan sebagai tempat untuk mengajarkan pendidikan agama bagi masyarakat sekitar. Pesantren itu didirikan oleh Kyai Basir yang berasal dari Sidosermo, Surabaya. ”Kyai Basir juga membantu membantu Raden Wasengsari melaksanakan tugas kepenghuluan,” paparnya.

Sampai saat ini, pesantren maupun masjid masih bisa dijumpai keberadaannya. Meski telah direnovasi, tetapi bangunan asli asjid Besar Biturrohman masih tetap dipertahankan. Hanya untuk kebutuhan perluasan, ditambahkan bangunan di bagian depan masjid.

Masjid tersebut juga dikenal sebagai Masjid Raden Ngabehi Wasengsari. Karena tepat di belakangnya dijadikan sebagai kompleks makam mantan penguhu Kawedanan Gunung Kendeng itu. Selain Wasengsari, juga terdapat sejumlah makam tua lainnya yang disemayamkan di area seluas 100 x 50 meter persegi itu. ”Salah satu di antaranya ada yang menyatakan sebagai makam prajurit Diponegoro yang lari ke Gedeg,” tandasnya.

Pada tahun 1910 sebagian wilayah Kawedanan Gunung Kendeng dimasukkan pada bagian dari Kabupaten Mojokerto. Kawasan di utara Sungai Brantas itu kemudian disebut sebagai Kawedanan Mojokasri dengan ibu kota di Gedeg.

Seiring berjalannya waktu, Kecamatan Gedeg kemudian menjadi salah satu tempat penting di Mojokerto. karena dari belasan pabrik gula yang pernah berdiri di Mojokerto, Pabrik Gula Gempolkrep yang masih bertahan sampai saat ini. Selain industri, eks Kawdanan Mojokasri tersebut juga menyimpan banyak nilai sejarah tentang peradaban Islam di Mojokerto.

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
Z Arivin