Religi

Sejarah dan Makna Tradisi Sungkeman Saat Idul Fitri

JAKARTA, FaktualNews.co – Perayaan Idul Fitri atau Lebaran, selalu diwarnai prosesi saling memaafkan antara keluarga, sanak famili, tetangga, teman serta sahabat. Di Indonesia, terutama di tanah Jawa, prosesi dikemas dalam tradisi Sungkeman.

Secara umum, Sungkem dilakukan oleh anak kepada orang tua atau keluarga yang lebih tua (pinisepuh), demi menunjukkan tanda bakti dan rasa terima kasih atas bimbingan dari lahir sampai dewasa. Dalam konteks Idul Fitri, tradisi dilakukan saat prosesi saling memaafkan.

Sungkem secara teknis dilakukan dengan bersimpuhnya anak yang lebih muda, lalu mencium tangan orang yang lebih tua. Selain pada momen Lebaran, prosesi ini kerap dilakukan kedua pengantin saat memohon doa restu pada upacara pernikahan.

Budaya sungkeman setidaknya memiliki sederet makna yang berkonotasi baik, antara lain sebagai sarana melatih kerendahan hati, lantaran membawa seseorang untuk menghilangkan sikap egoisme, melalui gestur merendah dan menyembah kepada orang yang lebih tua.

Makna kedua adalah wujud terima kasih seorang calon pengantin, kepada orang tua dan para pini sepuh, atas perlindungan, pengayoman serta bimbingan dan nasihat yang diberikan, sedari mula lahir hingga jelang pernikahan.

Ketiga, sungkeman dilakukan sebagai wujud rasa sesal dan permintaan maaf atas segala dosa yang pernah dilakukan, baik sengaja maupun tidak sengaja. Sebuah jalinan yang telah rusak lantaran sakit hati, diharapkan bisa pulih kembali lewat ritual sungkeman.

Makna keempat dari sungkeman adalah sebagai ritual penyadaran diri. Anak-anak muda diajak dan diingatkan kembali tentang bagaimana seharusnya memperlakukan orang tua, terutama kepada ayah dan ibunda.

Menilik sejarah, tidak diketahui pasti kapan dan di mana tradisi sungkeman lebaran bermula. Namun, seorang budayawan senior dari Universitas Gadjah Mada Dr. Umar Khayam (alm) pernah berteori perihal awal mula prosesi yang lekat di masyarakat Jawa ini.

Prosesi sungkeman merupakan bagian dari akulturasi budaya Jawa dan Islam, sama seperti budaya mudik dan perayaan lebaran. Kearifan para ulama di Jawa mampu memadukan kedua budaya demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat saat itu.

Sedari awal sungkem telah dilakukan anak-anak Jawa kepada orang yang lebih tua, sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang lebih tua atau dituakan.

Sementara para ulama yang ingin agar tujuan puasa Ramadan tercapai, memantik budaya saling memaafkan secara massal, dengan harapan dosa-dosa dan kesalahan yang mungkin dilakukan antar manusia, dapat terhapus dan berguguran.

Ide tersebut kemudian dijalankan secara kolektif, hingga menjadi sebuah kebudayaan di masyarakat Nusantara, seiring berkembangnya islam ke segala penjuru waktu itu.