JEMBER, FaktualNews.co – Ramai dibahas dan diperbincangkan, setelah sehari sebelumnya sejumlah orang tua calon wali murid wadul ke dewan terkait polemik penerapan PPDB zonasi. Salah seorang anggota Komisi D DPRD Jember Nur Hasan, juga turut menjadi korban.
Hal itu dialami anaknya yang akan masuk ke tingkat sekolah dasar (SD). Bahkan akibat dari penerapan aturan PPDB zonasi, putranya itu akhirnya memilih sekolah swasta sebagai alternatif.
“Saya sebenarnya senasib dan juga jadi korban PPDB zonasi. Anak saya berusia SD, tidak bisa sekolah di sekolah dasar yang jaraknya hanya 500 meter,” kata Nur Hasan saat dikonfirmasi wartawan, Selasa (25/6/2019).
Hasan menyampaikan, terkait aturan zonasi, anaknya diterima di sekolah yang berjarak satu kilometer. “Akhirnya daripada jauh-jauh, saya sekolahkan saja di MIMA yang jaraknya 200 meter dari rumah,” ungkapnya.
Legislator dari PKS ini menjelaskan, sebenarnya terkait penerapan zonasi PPDB, beberapa hari sebelum PPDB dibuka. Komisi D sudah mengira akan terjadi masalah dengan sistem penerimaan peserta didik baru itu. Bahkan saat pihaknya melakukan rapat kerja dengan Dinas Pendidikan Jember, Jawa Timur, Komisi D juga sudah mempertanyakan sistem tersebut.
“Untuk di Jember Peraturan Bupati itu saklek. Semua yang dari Peraturan Mendikbud Nomor 51 Tahun 2018 diambil semua, dan hanya ditambah satu item dalam 10 persen jalur prestasi adalah tahfidz (hapalan) Alquran satu juz sejak Surat Al-Baqarah,” kata pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris Komisi D ini.
Komisi D pun, katanya, sudah meminta kepada Dinas Pendidikan Jember untuk melonggarkan persyaratan. “Ternyata Dispendik tidak berani, tetap melaksanakan, dan bahkan meminta panitia PPDB setiap sore harus melaporkan hasil pendaftaran online. Tujuannya agar tidak terjadi main-main di antara panitia PPDB,” kata Nur Hasan.
“Yang lebih saklek lagi, adalah penerimaan siswa SDN. Ada dua zonasi berbeda. Kalau PPDB SMP, benar-benar menerapkan sistem jarak. Kalau SD, zonasinya adalah wilayah desa,” ungkapnya.
Hasan menjelaskan, dirinya tinggal di Desa Purwoasri, semua anaknya dulu sekolah di SDN Menampu 03. “Ternyata di zonasi SDN Menampu 03 bisa mengambil dari Desa Menampu dan Desa Karangrejo. Apabila tidak mencukupi pagunya, berhak mengambil zonasi 2 dan itu bukan desa zonasi saya. Padahal desa saya cuma berbatasan 600 meter. Zonasi 2 mengambil dari Desa Gumukmas dan Mojomulyo yang jaraknya begitu jauh,” terangnya.
Namun Peraturan bupati sudah terlanjur dibuat. Nur Hasan pun akhirnya hanya mengingatkan agar Dispendik mewaspadai munculnya surat-surat keterangan domisili dadakan.
Mendikbud kemudian merevisi peraturannya. “Tapi tanggung banget. Dari pagu 10 persen, jalur prestasi bertambah 15 persen. Jalur prestasi ini tidak diambil dari hasil ujian, tapi dari anak didik kita yang menang lomba-lomba sains dan olahraga. Ini jadi catatan kami,” kata Nur Hasan.
Sehingga dengan ramainya polemik sistem PPDB zonasi tersebut, pihaknya pun akan menegaskan aturan tersebut.
“Kami akan memanggil Dinas Pendidikan lagi. Semoga bupati juga mendengar, sehingga ada perubahan di peraturan bupati ini. Paling tidak 30-40 persen,” tegasnya.
Pasalnya, jika aturan ini tak direvisi, menurut Nur Hasan, anak-anak yang tinggal di kawasan pesisir akan kesulitan masuk ke sekolah negeri karena jauhnya jarak rumah mereka. “PPDB SMA lebih miris lagi. Kami di Kecamatan Gumukmas tidak punya SMA negeri. Jadi dari Kecamatan Gumukmas, kami mau bersekolah di mana,” tandasnya.