Pagi ini, kabar duka kembali diterima Cak Besut. Seorang kawan yang dulunya mantri hutan, telah berpulang ke rahmatullah. ” Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un,” gumam Cak Besut dalam hati.
Belum tuntas selimut duka Cak Besut karena kepergian Pakdhe nya, kini semakin bertambah deretan kawan yang lebih dulu menghadap Sang Khaliq. Dalam lamunannya, Cak Besut teringat betul bagaimana kawan ini berusaha agar Cak Besut mau menjadi tim sukses, dalam bursa caleg beberapa waktu lalu.
“Ayolah, bantu aku kali ini, aku bener-bener butuh sentuhanmu agar bisa tarung untuk caleg DPR RI,” pinta kawan Cak Besut kala itu.
Cak Besut hanya tertawa kecil, ia pun mengatakan dirinya bukan siapa-siapa, dan juga tidak memiliki kemampuan teknis maupun strategis dalam hal meraup suara pileg. Tak lupa, Cak Besut juga meminta agar kawannya itu berpikir ribuan kali sebelum memutuskan terjun ke dunia penuh intrik tersebut.
Namun rupanya sang kawan ini memiliki pandangan sendiri sehingga memantapkan diri untuk terus maju dalam bursa pencalegan. Masih tergambar jelas ketika Cak Besut berpesan kepada sang kawan.
“Selain duit, kekuasaan iku yo penting untuk memuluskan niat sampean, ojo polos-polos sampean mundak ditumpaki wong-wong. Terus maneh, lek wes niat maju ojo kepalang tanggung, lek nanggung mending mundur. tapi sepurane aku gak iso ngrewangi,” nasehat Cak Besut sembari guyonan kepada kawan ini.
Keputusan keukeuh Cak Besut ini rupanya cukup dimengerti sang kawan. Meski tanpa campur tangannya, kawan ini akhirnya tetap melanjutkan pertarungan di bursa caleg DPR RI.
Sebagaimana kekuatiran Cak Besut, kawannya gagal mencapai finish. Raupan suara yang diperoleh pun tak cukup signifikan. Setelah itu, Cak Besut tak mendengar kabar apapun dari sang kawan. Hingga pagi tadi, kabar duka itu sampai ke telinga Cak Besut.
Sedikit penyesalan dalam hati Cak Besut. Andai Cak Besut mampu membelokkan hati keras sang kawan, mungkin ia bisa menikmati masa pensiun dengan lebih santai.
Secara ekonomi, bisa dibilang sang kawan lebih dari cukup. Kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menyalurkan hobi menelusuri hutan dengan kendaraan off roadnya, ia cukup mampu bahkan berlebih.
Tapi rupanya, keinginan mengabdi untuk negeri melalui jalur politik praktis lebih kuat. Jika saja kawan ini menjadi anak atau menantu dari seorang Adipati, atau setidaknya menjadi kerabat atau bahkan sebatas orang dekat penguasa atau anekdotnya lebih dikenal dengan kurcaci, usaha yang ia tempuh akan lebih mudah. Namun kembali, semua sudah tertulis di lauh mahfudz jauh sebelumnya.
Manusia hidup menunggu untuk mati. Kehidupan justru terasakan dalam menunggu. Makin bisa menikmati cara menunggu, makin tenang dalam hati sebagaimana tulisan Arswendo Atmowiloto dalam novelnya berjudul Canting. Selamat jalan kawan, pengabdianmu telah tuntas.
“Kini kamu menemui yang ditunggu dengan senyum. Kamu bukan lagi tarzan, meski bukan anak dari Adipati. Bukan pula kerabat penguasa, tapi kamu pengayom masyarakat desa hutan, semoga husnul khatimah,” jare Cak Besut lirih, sembari mengantar jasad kawan ini ke liang lahat.