“BANG, lu kenal gak sama panitia pengadaan alat kesehatan di RSUD JomBang. Bantu masukin barang gue dong, sampaikan ke panitia pengadaannya, 20 persen bagi rata deh dari margin gue sama kaya yang sudah jalan di RSUD Ploso,” papar pria di ujung telepon, belum lama ini.
Potongan percakapan itu, menjadi bagian sebuah pengakuan panjang tentang pengadaan obat dan alkes yang saat ini menggunakan sistem e-katalog (e-catalogue).
Pria berprofesi distributor resmi sebuah alat kesehatan (alkes) di Jawa Timur ini bercerita banyak tentang pola-pola lama yang digunakan para vendor untuk bersekongkol dengan panitia pengadaan.
Mereka mensiasati mark up harga dari jeratan hukum, hingga penyalahgunaan wewenang dalam pembelian di e-katalog.
Sebelum penerapan e-katalog, diakuinya menjadi zaman keemasan bagi para distributor alkes dan obat-obatan.
Mereka mampu meraup keuntungan besar kendati telah berbagi dengan para panitia pengadaan. Namun kini, masa itu sudah berganti, pemerintah telah menerapkan pola e-purchasing dengan sistem e-katalog.
Presiden Jokowi mengharuskan pengadaan barang jasa seluruhnya menggunakan sistem e-katalog. Pemerintah menggantungkan harapan cukup besar atas peningkatan daya serap barang yang cukup signifikan melalui lelang e-katalog.
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2015, diktum keempat berbunyi, melakukan percepatan pengemBangan sistem untuk e-procurement dan penerapan e-purchasing berbasis e-katalogue.
E-katalog sendiri memungkinkan pengadaan barang dan jasa dapat dilakukan dengan mudah karena memiliki beberapa keunggulan.
Seperti tanpa tender/lelang berapa pun nilai pengadaannya, memutus komunikasi antara vendor dengan panitia pengadaan hingga harga barang yang tak lagi bisa di mark up.
Pria tadi berkisah, banyak kawan sejawatnya yang gulung tikar akibat penerapan sistem e-katalog tersebut. Namun, prinsip utama seorang pengusaha agar tetap bisa survive menghadapi tuntutan zaman, menjadikan pria ini bertahan hingga saat ini.
“Gue kudu ekstra keras melobi para panitia pengadaan agar mereka mau mengklik barang gue,” keluhnya.
Sistem e-katalog memang mampu meningkatkan transparansi dan menekan angka korupsi khususnya dalam hal penentuan harga.
Namun, bukan berarti dalam sistem e-katalog tidak ditemukan celah korupsi. Pola korupsi dalam pengadaan di sektor kesehatan tetap menggunakan pola lama, tapi dengan sedikit polesan.
Pihak penyedia tak lagi bisa memainkan harga seenak mungkin. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), telah menentukan syarat yang cukup ketat agar barang penyedia bisa terpampang dalam bursa e-katalog.
Laba bersih dari penyedia pun seolah telah diketahui oleh pemerintah melalui LKPP.
Sebelum bisa dipajang di e-katalog, menurut pria ini, seleksinya cukup ketat. Selain harus lengkapnya berkas administrasi, masalah harga menjadi problem utama.
Para penyedia harus mampu memberikan harga terbaik. Pihak LKPP akan menanyakan secara detail harga pembelian pokok dari produsen.
Ditambah beban ongkir (ongkos kirim) yang ditanggung para distributor pemegang lisensi, pajak yang harus dibayar, akan ketemu berapa margin yang diperoleh para distributor resmi ini.
Jika dianggap ambil untung terlalu tinggi, pihak LKPP akan langsung melakukan penawaran terhadap calon penyedia.
“Kalau gak mau nurunin harga, ya alamat barang kami gak lolos dalam e-katalog. Jadi paling banter kami bisa ambil margin dari salah satu produk itu kisaran 30 persen,” papar pria yang terus mewanti-wanti agar nama dan usahanya disembunyikan.
Ia juga menambahkan, keuntungan yang didapat itu masih harus menanggung ongkir ke buyer, belum lagi gaji karyawan hingga pembelian ATK dan operasional lain-lain.
Bukan ‘pemain’ jika tak bisa melihat celah dalam ketatnya sistem e-katalog. Mereka tahu, keputusan tertinggi agar bisa meng klik barang-barang di e-katalog adalah panitia pengadaan.
Tidak hanya itu, mereka paham, dalam sistem birokrasi, selain panitia pengadaan, adapula petinggi-petinggi lain yang mesti ‘dipiara’ agar sirkulasi barang dagangan mereka bisa tetap terjaga. Kolusi di bawah tangan akhirnya menjadi pilihan.
Langkah pertama, mereka akan mencoba meyakinkan pada para user, (dokter dan kepala ruangan) untuk mau menggunakan produknya.
“Kami sewa ruangan untuk bisa presentasi, selain itu kami pula yang sediakan makanan dan minuman. Proses ini saja sudah harus merogoh kocek dalam-dalam, jaminan barang kami bisa dibeli pun tidak ada. Tergantung proses selanjutnya,” paparnya lebih rinci.
Usai presentasi, para pemain ini akan mendekati para user lebih jauh. ”Bahasanya sih, macam-macam, tapi intinya mereka (para user) minta bagian,” tambahnya.
Ia juga menyebut, para user tidak mematok berapa persen bagian yang diperoleh, asal diberi saja mereka sudah senang. Selesai di tingkat user, para penyedia akan melobi panitia pengadaan.
Di sini tingkat kerumitan cukup tinggi. Panitia pengadaan, maupun para petinggi pada umumnya memiliki jago sendiri-sendiri.
“Jangan harap kita selesai dengan user maka barang kita pasti terbeli. Justru di sini (panita pengadaan), itung-itungan dimulai,” tegasnya.
Serumit apapun seleksi LKPP, pemain harus bisa menyingkirkan para pesaing mereka dengan iming-iming pembagian margin lebih besar.
“Di sini pola kolusi lama dengan bungkus baru dimulai. Secara hukum tidak melanggar, tak ada keuangan negara bocor. Yang dibagi margin yang diperoleh pengusaha. Setengah buat panitia pengadaan dan pimpinannya, separuhnya lagi buat operasional perusahaan agar tetap eksis,” elaknya.
Pria ini mengaku rela berbagi margin keuntungan yang ia peroleh demi menjaga lisensi produk yang sudah ia pegang.
Ia dituntut produsen agar bisa tetap dipercaya memegang lisensi distributor resmi, dengan syarat penjualan dalam setahun memenuhi target yang dipatok.
“Gue harus berpikir bagaimana karyawan gue yang udah berkeluarga tetap hidup. Jadi asal tidak rugi gue sikat aja. Kalau target pabrik terpenuhi dan gue dapat bonus, malah sering bonus dari pabrik ini gue kasihkan kepada mereka, yang penting barang gue terus dipakai mereka,” cerocosnya.
Dalam keterangannya pula, secara tegas kasus yang ia ceritakan terjadi di RSUD Ploso, Kabupaten Jombang.
“Ya gue berani ngomong karena memang gue bermain di RSUD Ploso. Kalau di RSUD JomBang sulit, mereka sudah punya jago-jago sendiri. Tangannya seperti terkunci, yang diklik itu-itu saja Bang,” terangnya.
“Kalau kaga percaya, coba lu pancing dah mereka make alat ini gak (sambil menyebut sejumlah merek alkes),” terangnya.
Alat yang ia sebut itu, merupakan kompetitornya yang ditengarai telah menguasai RSUD JomBang. Ia meyakini modus yang digunakan di RSUD Jombang diduga kuat persis yang ia praktikkan di RSUD Ploso.
Selain modus langsung sebagaimana yang ia sebutkan, adalagi praktik mencurangi aturan yang lain. Yakni membeli produk tidak dari pemegang lisensi langsung.
“Mereka beli produk kita tapi tidak langsung lewat kita, melainkan melalui distributor lain. Ini demi mendapat keuntungan yang lebih gede, ini kan gila namanya,” gerutunya.
Ia mencoba kembali meyakinkan, modus-modus seperti itu juga ditengarai terjadi di RSUD Jombang. Bahkan, untuk meyakinkan FaktualNews.co (dan kelompok faktual media), ia tak segan menyebut nama ‘mitra’-nya di RSUD Ploso.
Mitra dia tersebut, diakuinya hingga kini masih bermain dalam pengadaan dengan sistem e-katalog. Data di lapangan sendiri, orang yang disebut sumber memang ada di RSUD Ploso.
Tak jauh beda dengan pengakuan distributor alkes ini, distributor obat yang kami temui juga mengatakan modus serupa dengan para distributor alkes.
“Ya samalah, memang seperti itu. Tapi yang paling menarik obat, sugesti masyarakat kita masih mempengaruhi proses penyembuhan seseorang,” imbuh distributor salah satu obat ini.
Menurutnya, masyarakat masih percaya jika berobat ke dokter langganannya bisa langsung sembuh. Kalau bukan dokter langganannya, maka mau dikasih obat mahal pun, mereka mengaku tidak akan sembuh.
Kalau sudah mendapat dokter semacam ini, maka akan menjadi ‘ladang’ tersendiri. Para distributor obat akan berlomba-lomba menawari berbagai hadiah agar dokter tersebut memakai obat-obatan mereka.
Tapi menurutnya proses akan kembali pada perkara miri[ pengadaan alkes, apabila melakukan pengadaan obat di Rumah Sakit Daerah.
Mereka harus siap berkompetisi dengan sejumlah tawaran menggiurkan dari kompetitor, dengan mensiasati hukum yang ada.
Selain itu, ada modus yang sedikit berbeda. Yakni penjualan obat yang masa kedaluwarsanya mepet.
“Jadi jika panitia mengklik jenis obat tertentu, yang dikirim obat yang sudah dekat masa kedaluwarsanya,” ujarnya.
Dengan begitu, panitia pengadaan dan penyedia berkoordinasi di bawah tangan, untuk harga lebih murah dari yang terpampang di e-katalog. Selain itu, proses pengadaan obat akan lebih sering terjadi.
Para pemain alkes dan obat ini meyakini, jika hal yang dilakukan tidak melanggar aturan. Mereka mengaku yang mereka bagi adalah bagian dari margin keuntungan mereka yang secara hukum juga ‘diketahui’ pihak LKPP.
“Margin kita sudah disetujui LKPP. Tidak ada kerugian negara yang ditimbulkan. Rugi di kita iya, tapi bagaimana lagi. Kalau gak gitu barang kita gak dipakai. Kalau memunculkan monopoli usaha ya bagaimana lagi, itu salah satu cara kita agar tetap bisa survive aja,” jawab pria ini.
Pria distributor alkes ini senada pula dengan rekannya, pemain obat, menjawab pertanyaan kami terkait potensi perbuatan melawan hukum atas apa yang mereka lakukan.
KATEGORI GRATIFIKASI
PERSPEKTIF hukum sendiri tidak sebagaimana yang ia paparkan. Ulah para pemain alkes dan obat berbagi margin yang diperoleh kepada para penyelenggara negara dalam hal ini panitia pengadaan beserta kroninya, masuk dalam kategori Gratifikasi.
Dalam buku saku memahami gratifikasi yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebutkan, gratifikasi adalah akar dari korupsi.
Dikutip dari buku saku ini, dijelaskan, pada umumnya, masyarakat memahami korupsi sebagai sesuatu yang merugikan keuangan negara semata.
Padahal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada 30 jenis tindak pidana korupsi.
Ke-30 jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tujuh.
Yaitu: Kerugian keuangan Negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Dari berbagai jenis korupsi yang diatur dalam undang-undang, gratifikasi merupakan suatu hal yang relatif baru dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia.
Pengertian gratifikasi terdapat pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa: Yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas.
Yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinzaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Apabila dicermati penjelasan pasal 12B Ayat (1) di atas, kalimat yang termasuk definisi gratifikasi adalah sebatas kalimat pemberian dalam arti luas, sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi.
Dari penjelasan pasal 12B Ayat (1) juga dapat dilihat, pengertian gratifikasi mempunyai makna yang netral. Artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata gratifikasi tersebut.
Apabila penjelasan ini dihubungkan dengan rumusan pasal 12B dapat dipahami, tidak semua gratifikasi bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur pasal 12B saja.
Penerimaan gratifikasi sendiri, masih dalam tulisan buku saku dari KPK tersebut, dikategorikan menjadi dua kategori. Yaitu Gratifikasi yang Dianggap Suap dan Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap.
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kewajiban dan tugas ini sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dijelaskan pula dalam buku ini, Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yang terkait dengan Kegiatan Kedinasan, meliputi penerimaan dari pihak lain berupa cinderamata dalam kegiatan resmi kedinasan seperti rapat, seminar, workshop, konferensi, pelatihan atau kegiatan lain sejenis.
Dapat pula pemberian dari pihak lain berupa kompensasi yang diterima terkait kegiatan kedinasan, seperti honorarium, transportasi, akomodasi dan pembiayaan lainnya sebagaimana diatur pada Standar Biaya yang berlaku di instansi penerima.
“Sepanjang tidak terdapat pembiayaan ganda, tidak terdapat Konflik Kepentingan, atau tidak melanggar ketentuan yang berlaku di instansi penerima,” tulis di buku saku KPK tersebut.
Ancaman pidananya juga tidak main-main, yaitu pidana penjara minimum empat tahun, dan maksimum 20 tahun atau pidana penjara seumur hidup, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), maksimum Rp 1 Miliar.
BEGINI RESPON RSUD JOMBANG
RUMAH Sakit Daerah Umum (RSUD) Jombang, melalui surat bernomor 027/s265/415.47/2019 perihal jawaban konfirmasi membantah segala sesuatu tentang dugaan gratifikasi dan monopoli yang terjadi.
Surat yang ditandatangani Direktur RSUD JomBang, dr Pudji Umbaran menjelaskan, di instansi yang ia pimpin tidak ada penyalahgunaan wewenang yang dilakukan panitia pengadaan terkait dengan pengadaan barang dan jasa.
“Seluruh proses pengadaan barang dan jasa selalu dilaporkan ke pengguna anggaran,” sebagaimana dikutip dari surat jawaban konfirmasi tersebut.
Ia juga menjelaskan, dasar pemilihan barang, khususnya alkes dan obat-obatan di e-katalog terdapat berbagai parameter.
Di antaranya, Formalium Nasional dan Formalium Rumah Sakit, Ketersediaan barang, harga yang paling efisien, spesifikasi sesuai dengan yang dibutuhkan, pemilihan alkes yang paling lengkap beserta asesorisnya dan siap digunakan.
Terkait dugaan monopoli sendiri pun langsung dibantah dengan dukungan oleh kurang lebih 70 penyedia barang dan jasa yang telah mereka gunakan selama ini.
Tentang obat, RSUD Jombang, menurutnya senantiasa melakukan proses pembelian obat yang efektif dan efisien sesuai dengan proses bisnis yang sehat. “Tidak ada komitmen fee terkait pengadaan apapun di kami,” jelasnya.
RSUD Ploso sendiri belum bisa dikonfirmasi. Berbagai upaya baik tertulis, via telepon hingga didatangi langsung telah dilakukan, namun pihak RSUD terkesan menghindar.
“Surat permintaan konfirmasi sudah dibawa panitia pengadaan selaku pihak yang berwenang,” tukas Dian Kepala Tata Usaha RSUD Ploso via telepon seluler.