TEHERAN, FaktualNews.co – Iran menerapkan aturan perempuan dilarang menonton sepak bola secara langsung di stadion. Sahar Khodayari perempuan yang dijuluki blue girl menolak aturan itu dengan cara membakar diri. Tindakan itu menyulut protes dan seruan perubahan di Iran.
Dilansir dari laman Deutsche Welle Indonesia, ribuan pengguna Twitter pun ramai-ramai menggunakan tagar Blue_Girl dan mencuitkan twit dalam bahasa Inggris untuk membuka mata masyarakat dunia.
Seorang pengguna Twitter dengan nama Mulanium dengan geram menyatakan bahwa Sahar Khodayari telah membakar dirinya sebagai tindakan protes. Dia mempertanyakan kapan orang-orang akan berbuat sesuatu tentang hal ini.
Tindakan putus asa
Sahar Khodayari, perempuan asal Iran ini menyiramkan bensin dan menyulutkan api pada tubuhnya sendiri tanggal 1 September 2019di Pengadilan Revolusi Islam di Teheran. Tindakan putus asa ini mengejutkan banyak orang Iran. Baru hari ini, media Iran melaporkan bahwa perempuan itu meninggal di rumah sakit pada hari Jumat (06/09/2019) karena luka bakar yang parah.
Sahar Khodayari, usianya 29 tahun dan tidak ingin mendekam dalam penjara. Ia diancam hukuman penjara hingga enam bulan karena berpakaian sebagai laki-laki dan pergi menonton sepak bola di stadion. Di Iran, perempuan dewasa dan remaja dilarang mengunjungi stadion lapangan bola untuk menonton pertandingan.
Sahar adalah penggemar klub sepakbola Esteghlal Teheran. Para pemain klub ini bermain dengan mengenakan kaus biru. Dengan mantel biru panjang pada tanggal 12 Maret, Sahar pun ingin pergi ke stadion untuk menyaksikan secara langsung pertandingan Esteghlal melawan klub al-Ain dari Uni Emirat Arab. Dia ditangkap namun beberapa hari kemudian dibebaskan dengan jaminan, hingga persidangan 1 September itu.
Pihak berwenang “tidak mau ada kerepotan”
“Dia bukan hanya si ‘gadis biru’. Sahar adalah perempuan di negara tempat para lelaki memutuskan apa yang harus atau tidak harus dilakukan perempuan. Kita semua bertanggung jawab atas penangkapan dan peristiwa pembakaran diri ini,” tulis Parvaneh Salahshouri, pemimpin faksi perempuan di parlemen Iran dalam akun Twitternya.
Anggota parlemen yang berpikiran reformis dalam beberapa hari terakhir telah berulang kali membahas nasib si ‘gadis biru’ di parlemen.
“Keluarganya telah diperingatkan dan tidak boleh berbicara dengan media,” ujar Maziyar Bahari, jurnalis dan pembuat film keturunan Iran-Kanada dalam sebuah wawancara dengan Deutsche Welle.
Bahari memiliki kontak langsung dengan keluarga Sahar. Ia mengatakan: “Sahar meninggal pada Jumat dan pihak keamanan langsung menguburkannya. Pihak berwenang mengatakan kepada keluarganya: ‘Putri Anda telah membuat kami menerima banyak kemarahan, kami tidak mau lagi mendengar apapun dari kalian.’ Kerabat diintimidasi secara besar-besaran.”
Cari solusi dan tekanan internasional
Kasus Sahar Khodayari telah membuat marah masyarakat Iran. Larangan mengunjungi stadion untuk kaum perempuan berdasarkan pada aturan agama dan telah lama menjadi isu sensitif di Iran. Adalah dosa bagi para perempuan untuk “menonton permainan pria setengah telanjang,” demikian menurut seorang ulama konservatif di Iran.
Namun banyak perempuan tidak mau menerima larangan ini. Mereka terus memprotes di depan stadion dan telah sering kali menyampaikan masalah ini ke organisasi sepak bola internasional FIFA. Pada Piala Dunia di Rusia tahun 2018, Iran adalah satu-satunya negara yang turut berlaga namun melarang perempuan menonton di dalam negeri.
FIFA telah meminta Iran untuk mencabut larangan itu, jika tidak partisipasi negara itu di Piala Dunia 2022 akan terancam. Presiden Hassan Ruhani yang cenderung moderat pun telah mencoba beberapa kali untuk memecahkan masalah ini. Setidaknya ada tribun ekstra untuk penonton perempuan di berbagai stadion di Teheran. Namun sejauh ini ia telah gagal karena adanya perlawanan dari para ulama.
“Larangan berasal dari orang bodoh”
Kini banyak orang Iran merasa marah dan putus asa. Mantan kapten nasional Masoud Shojaei menulis di Instagram: “Larangan mengunjungi stadion kepada perempuan begitu menjijikkan dan berasal dari orang bodoh.”
Dariush Mostafavi, mantan ketua Asosiasi Sepak Bola Iran, mengatakan dalam sebuah wawancara, “Cinta sepak bola adalah cinta yang murni. Motto Komite Olimpiade Nasional adalah Kebebasan Bagi Manusia. Apa yang dunia pikirkan tentang kita ketika mereka mengetahui apa yang terjadi di sini.”
Dan inilah tepatnya yang ingin disampaikan oleh para perempuan Iran. Mereka menulis dalam bahasa Inggris di akun Twitter dan menceritakan kisah ‘gadis biru’ kepada dunia.