FaktualNews.co

Suka Malas? Bisa Jadi itu Karena Faktor Keturunan

Gaya Hidup     Dibaca : 2141 kali Penulis:
Suka Malas? Bisa Jadi itu Karena Faktor Keturunan
FaktualNews.co/Ilustrasi
Ilustrasi.

SURABAYA, Faktualnews.co – Setiap dari kita pasti pernah merasakan rasa malas. Tak dipungkiri, memang kadang menyenangkan rasanya apabila kita bisa sejenak melupakan pikiran dari pekerjaan atau tugas-tugas sekolah. Apalagi bila hari malas kita ditemani dengan camilan dan film favorit.

Malas adalah kondisi ketika seseorang menghindari pekerjaan yang seharusnya dapat dikerjakan dengan potensi dan energi yang dimiliki. Malas sering dikaitkan dengan dua perilaku, yaitu prokrastinasi (menunda-nunda) dan idleness (berdiam diri tanpa melakukan apa-apa).

Orang yang melakukan prokrastinasi cenderung menunda atau mengerjakan pekerjaan lain yang dirasa lebih mudah daripada pekerjaan utama. Sementara idleness merujuk pada perilaku yang nirfaedah dan mengabaikan pekerjaan yang seharusnya dilakukan.

Perilaku malas sering dikaitkan dengan kegagalan dan ketidakproduktifan. Meski begitu, ada anggapan bahwa malas memiliki sisi positif tersendiri. Berikut fakta dan mitos seputar malas.

 

Salah Satu Bentuk Self-sabotage

Penyenan perilaku malas masih menjadi perdebatan. Namun, perilaku malas bisa jadi merupakan salah satu bentuk self-sabotage. 

Menunda pekerjaan maupun berdiam diri, bisa jadi disebabkan oleh self-esteem yang rendah dan ketakutan pada kegagalan. Daripada menghadapi perubahan atau suatu keadaan yang tidak pasti, orang yang malas lebih memilih untuk menghindarinya.

Dengan begitu ia akan meminimalisir rasa bersalah dengan berpikir bahwa ia bukanlah orang yang gagal, namun hanya belum mencoba saja. Perilaku malas inilah yang membuat seseorang tidak dapat mencapai tujuan-tujuan hidupnya.

 

Kemungkinan Adanya Gen ‘Malas’

Secara psikologis, otak dan tubuh kita terbiasa untuk merespon secara positif terhadap reward atau hadiah yang dirasa menyenangkan. Misalnya pada makanan, hobi atau olahraga. Rasa senang yang kita rasakan saat melakukan hal-hal tersebut berasal dari dopamin yang menjadi pemicu utama terhadap sistem hadiah (reward system).

Semakin banyak otak mengeluarkan dopamin, maka sesuatu akan dirasa menyenangkan, dan perilaku untuk mendapatkan rasa senang itu akan diulang kembali.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Universitas Missouri menunjukan bahwa adanya kemungkinan perubahan genetik yang berkaitan dengan aktivitas fisik dan kemalasan.

Percobaan ini dilakukan pada dua kelompok tikus, yaitu tikus yang aktif berlari dan yang kurang aktif berlari di roda mainan. Setelah sepuluh generasi, keturunan dari kelompok tikus yang aktif berlari secara umum dapat berlari 7 mil per hari.

Sementara itu, keturunan dari kelompok tikus yang kurang senang berlari, hanya dapat berlari 4 mil per hari. Penelitian ini menemukan kemungkinan keberadaan  couch-potato gene yang dapat diturunkan.

Dengan adanya couch-potato gene ini, dopamin akan kurang banyak dikeluarkan, sehingga orang akan lebih malas untuk melakukan sesuatu karena tidak ada rasa excitement atau kesenangan. Gen inilah yang mungkin membuat sebagian orang lebih tidak suka melakukan aktivitas fisik dibandingkan yang lain.

Meskipun hasil penelitian ini masih belum bisa digeneralisir pada seluruh manusia, namun penelitian ini bisa menjadi salah satu insight untuk memahami bahwa mungkin perubahan biologis dalam gen bisa berdampak pada kepribadian malas seseorang.

 

Depresi = Malas?

Seseorang yang sedang mengalami depresi bisa saja kehilangan motivasi untuk melakukan apapun. Biasanya hal ini mengakibatkan mereka memiliki tumpukan tugas-tugas yang tidak terselesaikan.

Secara kasat mata, orang yang sedang mengalami depresi bisa disamakan dengan orang yang malas. Namun sesungguhnya kedua hal tersebut cukup berbeda.

Orang dengan depresi memilki keinginan untuk menyelesaikan tugas-tugasnya, namun ia tidak bisa. Sementara itu, orang yang malas memilih untuk menghindari tugas dan melakukan hal yang menyenangkan, meski mereka memiliki energi untuk melakukannya.

 

Malas dapat Menular

Ada anggapan bila kita berinteraksi dan berteman dengan orang-orang yang malas, maka kemungkinan kita akan tertular menjadi orang yang malas.

Sebenarnya  bukan berarti rasa malas itu menular. Namun, hal ini bisa dijelaskan dengan teori  konformitas.

Manusia cenderung untuk mengikuti atau mengimitasi orang lain yang berada di dalam satu kelompok yang sama. Contoh sederhana misalnya, kita mendapatkan tugas dari sekolah dalam waktu satu minggu. Ketika teman-teman sepermainan kita terlihat sangat santai dan tidak terburu-buru mengerjakannya, maka kita akan cenderung untuk ikut mengulur waktu pengerjaan.

 

Belum Tentu Malas adalah Hal Negatif

Meski sering dikaitkan dengan kegagalan, belum tentu malas merupakan hal yang negatif. Memang, terkadang seseorang tidak ingin melakukan suatu pekerjaan meski memiliki energi untuk melakukannya.

Bisa jadi pekerjaan tersebut membosankan dan tidak menyenangkan sehingga membuat orang tidak ingin mengerjakannya. Alih-alih melihat hal ini sebagai suatu yang negatif, kemalasan bisa memberi dampak yang positif.

Dalam sejarah, banyak penemuan inovatif yang muncul karena kemalasan seseorang. Misalnya, mesin uap otomatis ditemukan karena seseorang malas menunggu uap air naik pada batas tertentu dan melepaskan katup pada mesin tradisional.

Di era modern, seseorang selalu mencoba untuk melakukan sedikit pekerjaan dengan hasil yang maksimal. Malas bisa jadi hal yang positif dan efisien apabila tujuan yang ingin dicapai tetap terselesaikan dengan baik.

Meskipun rasa malas merupakan hal yang wajar dialami seseorang, namun ada baiknya tidak sampai mengganggu tujuan-tujuan hidup kita.

Ketika kita menyadari diri sedang dalam keadaan malas, kita bisa mengubah keadaan itu dengan mencari solusinya. Ada banyak life hack  mengenai cara mengatasi malas yang bisa  dipraktikan. Malas memang sering dikaitkan dengan hal negatif, namun kita bisa mengubah hal yang bersumber dari kemalasan menjadi output yang lebih positif.

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
Muhammad Sholeh
Sumber
Pijar Psikologi