Opini

Memahami Politik Harmoni Ala Jokowi

JOMBANG, FaktualNews.co – Menjelang pelantikan periode kedua dan pengumuman kabinet kerja jilid II nya. Publik disibukkan dengan pro-kontra politik harmoni ala Jokowi dalam menyusun kabinet kerja jilid II.

Apa yang dimaksud politik harmoni, disini lebih dimaknai sebagai politik akomodasi. Dengan mengajak semua elemen politik bangsa bergabung dalam kabinet tanpa lagi mempersoalkan residu politik pasca kompetisi tajam saat pilpres dan pileg yang lalu.

Bagi yang kontra, argumen penolakannya semata-mata didasari atas pentingnya check and balances dalam demokrasi. Parpol yang kalah seharusnya memilih oposisi dan tidak bergabung ke kabinet agar fungsi kontrol atas kuasa tetap jalan.

Tanpa kontrol yang seimbang, di khawatirkan  kekuasaan tidak lagi berpihak kepada rakyat. Terlebih lagi  watak asli kekuasaan cenderung korup ( power tends corrups).

Bagi yang pro, argumen persetujuannya lebih didasari pertimbangan yang jauh lebih penting. Tidak sebatas pada pertimbangan logis-demokratis. Terlebih lagi demokrasi bukanlah tujuan tapi  alat untuk mencapai tujuan.

Jadi demokrasi bukan untuk demokrasi itu sendiri. Tapi alat untuk mencapai tujuan-nasional dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yaitu mencerdaskan dan  mensejahterahkan kehidupan bangsa,  menjaga keamanan dan ketertiban umum dan mewujudkan keadilan sosial.

Kondisi geopolitik dan ekonomi global yang yang serba tidak pasti. Sebagai dampak terjadinya Proxy dan Asimetris War. Sepertinya menjadi dasar pertimbangan utama Politik Harmoni Jokowi di Jilid II.

Karena itu, mencipta stabilitas keamanan dan politik nasional adalah kebutuhan mendasarnya dalam menjalankan Roda Pemerintahan Jilid II nya.

Dan itu akan dimulai saat upacara pelantikan Presiden dan Wapres terpilih secara lebih sederhana tanpa lagi diikuti parade budaya seperti saat  periode pertama.

Kemudian diikuti dengan memilih menteri-menterinya yang saya yakini akan jauh lebih akomodatif. Gerindra, Demokrat dan PAN yang adalah lawan politik saat kompetisi dimungkinkan akan mendapat jatah menteri di susunan kabinet jilid II nya.

Blokade Hambatan Utama

Jokowi sadar betul bahwa untuk bisa gerak cepat dalam mengeksekusi janji-janji politiknya, dibutuhkan stabilitas nasional yang mantap. Terlebih lagi modal kemenangan pilpres 2019 yang hanya terpaut 10% dari lawan politiknya, tidaklah cukup mampu untuk mencipta stabilitas keamanan dan politik.

Keterbelahan politik bangsa berbasis SARA terus dicoba dipertahankan lawan politiknya. Khususnya kelompok radikalis anti Pancasila dan sakit hati. Dengan menjadikan  residu politik pasca pilpres sebagai amunisi politiknya.

Bersetubuh dengan kekuatan asing, Asimetris-War dicoba dilakukan dengan membikin Papua  membara dan hutan pun dibakar secara terorganisir. Demo anti pemerintah pun digerakkan dengan membonceng  isu populis “amputansi KPK”.

Kesemuanya ditembakkan dengan harapan, Jokowi tidak jadi dilantik karena dikesankan sebagai presiden gagal dan hanya membawa kesengsaraan rakyat.

Jadi menarik lawan politik ke dalam lingkar inti kabinet adalah respon cerdas Jokowi yang patut diapresiasi.  Meski tidak mudah untuk keseimbangan politik dalam kabinet, tapi paling tidak Jokowi sedang praktekkan nilai Demokrasi Pancasila : politik gotong-royong dan musyawarah.

Bukan politik ambil semua untuk kemengan politik ( takes for all). Sebagaimana yang dianut dalam logika politik demokrasi liberal. Yang menang ambil semua untuk bekuasa sementara yang kalah dipaksa untuk beroposisi.

Jauh lebih strategis dari itu semua adalah Jokowi dapat mengalienasi sekaligus mengkanalisasi gerak kaum radikalis yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan khilafah yang selama ini menempel bahkan  menjadikan Prabowo sebagai ‘kuda troya’ nya.

Alineasisasi dan kanalisasi ini sangat penting agar Jokowi dapat lebih mudah dan berani dalam mengikis habis kaum radikalis karena tokoh politik yang selama ini dijadikan “kuda troya” nya tengah menjadi bagian dari kekuasaanya.

Kesimpulan

Dengan jurus politik-harmoni, Jokowi dapat lebih mencipta stabilitas politik bagi upaya eksekusi cepat janji politiknya. Saat yang sama dapat menguatkan ideologi Pancasila sebagai ideologi bangsa dengan dapat lebih tegas untuk membumi hanguskan kaum radikalis dari bumi Pancasila yang jumlahnya kian hari kian meresahkan saja.

Jadi Jokowi dengan tegas ingin membuat garis politik tegas. Siapa yang ingin terus merah-putih berkibar dan siapa yang ingin merobek-robeknya dan menggantinya dengan  bendera khilafah.

Demi tugas berat kebangsaan ini, tidak ada pilihan bagi rakyat kecuali berada dibelakangnya. Selebihnya, mari kita lihat dinamikanya.

Penulis : Sean Choir, Khadam Kultural NU, Direktur Elsekutif ICDHRE FOUNDATION dan ORBIT POLL.