Peristiwa

Keliling Indonesia, Pria ini Ingin Pecahkan Rekor Dunia Pengumpul Tanda Tangan Terbanyak

PROBOLINGGO, FaktualNews.co – Sudah cukup banyak orang berkeliling Indonesia dengan bersepeda, bahkan ada yang sampai berjalan kaki. Namun, beda dengan Ismail (50), warga Kabupaten Indramayu, Jawa Barat yang sempat menginap 4 hari di Kota Probolinggo.

Pria tersebut keliling nusantara agar tercatat dalam Guinness World Record, sebagai pengumpul tanda tangan terbanyak di dunia.

Setelah 3 hari menginap di kantor Pemadam Kebakaran (Damkar) dan sehari bermalam di Selter milik Dinas Sosial Kota Probolinggo, akhirnya, Senin (21/10/2019) pagi, Ismail meninggalkan Kota Probolinggo.

Ia meneruskan perjalanannya ke Pasuruan. Selanjutnya ke Malang, Blitar dan menyusuri kota-kota lain selatan Pulau Jawa., Hingga tiba di rumahnya, Desa Cangko, Kecamatan Bangodua, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Sebelum singgah dan menemui Wakil Wali Kota Probolinggo, HM Souffis Subri, pria yang memilik dua anak tersebut, menempuh perjalanan dari Banyuwangi ke Jember, dan Kabupaten Lumajang.

Perjalanan keliling Indonesia kali ini, termasuk perjalanan yang ke 30 tahun, sejak tahun 1989. Saat Ismail kala itu masih berusia 20 tahun alias membujang belum menikah.

Pria yang sejak anak-anak bercita-cita keliling nusantara lantaran cinta tanah air ini, kini mengoleksi atau sudah mengumpulkan 3,9 juta tanda tangan. Tanda tangan dari berbagai kalangan tersebut tertera di 155 buku berukuran tanggung agak tebal.

“Ini buku yang ke 156. Kami sudah mengumpulkan 3,9 juta tanda tangan. Terakhir tanda tangan
Presiden Jokowi. belum tahu, kapan,” katanya sebelum meninggalkan Kota Probolinggo.

Apakah setelah tiba di rumahnya di Indramayu langsung ke Jakarta menemui Jokowi, atau masih meneruskan perjalanan keliling nusantara lagi. Nantinya, lanjut Ismail, ratusan buku yang berisi jutaan tanda tangan tersebut akan diserahkan ke Guinness World Record, perwakilan Indonesia.

“Belum tahu, apakah masih kurang atau sudah pas. Kalau tanda tangannya masih kurang, kami keliling lagi, kami kepingin tercatat pengumpul tanda tangan terbanyak di dunia,” tandasnya.

Disebutkan, mereka yang tanda tangan di bukunya, selain pejabat dari ketua RT hingga Gubernur, juga pihak swasta, seperti pimpinan institusi pemerintahan, perusahaan atau lembaga dan tokoh agama serta tokoh masyarakat.

Diceritakan, keliling Indonesia sekaligus pengumpulan tanda tangan dimulai tahun 1989 saat usianya masih 20 tahun, belum menikah. Perjalanan pertama diawali dari Bali menuju NTB,
NTT, Sulawesi, Papua, Kalimantan, Sumatra dan ke Jawa.

Saat beberapa kali melintas dan tinggal di Sumatera, ia menemukan tambatan hati yakni, Titik Aliyah (35) yang sudah memberinya dua anak. Ia tak khawatir keluarganya tak dapat nafkah, saat keliling di sejumlah kota. Sebab sawah 5,5 hektar yang ia miliki, dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya.

“Kami memiliki lahan pertanian dan ditanami kelapa sawit. Jadi enggak ada masalah dengan keluarga yang kami tinggal,” katanya.

Saat ditanya suka dan duka, Ismail mengaku, cukup banyak bahkan hingga lupa. Namun diantara duka yang ia ingat hingga kini adalah, saat disandra milisi Fretilin Timor-Timor (sekarang Timor Leste) selama 3 bulan, saat berperang dengan tentara Indonesia tahun 1990.

Di negara bekas jajahan Portugis tersebut, Ismail disangka mata-mata Indonesia. Bahkan, ia sempat dipukul dengan senjata oleh pasukan Fretilin hingga giginya rontok.

“Saya dilepas setelah meyakinkan Xanana Gusmao, pimpinan Fretilin yang menjadi presiden pertama Timor Leste, kalau saya bukan mata-mata,” tandasnya.

Selain itu, pengalaman saat dihukum adat oleh suku Dani di Papua, dan dihukum direndam di air selama 3 hari akibat menabrak babi. Ia dianggap melukai hati rakyat Papua.

Pengalaman selanjutnya terdampar di pulau kecil KK, kabupaten Maluku Tenggara waktu itu. Kapal yang Ismail naiki, tenggelam dan ia termasuk yang selamat. “Pokoknya banyak deh pengalamannya,” katanya.

Saat ditanya berapa kali pulang ke rumah di Indramayu, Ismail mengaku, baru satu kali yakni tahun 2002. Kala itu ia berada di Sampit Kalimantan Timur. Begitu pecah kerusuhan antara suku Dayak dengan Madura, ia lebih memilih pulang, agar selamat.

“Selama 30 tahun saya satu kali pulang. Kalau keluarga kangen, istri dan anak yang menemui saya. Ya saat di perjalanan. Terutama saat saya ada di Jawa, kan dekat dengan Indramayu. Kalau di Sumatra kan dekat dengan rumah mertua atau rumah istri saya. Sebelum ketemuan, kita telpon dulu ada di mana,” pungkasnya.