Opini

MASJID AL-HASAN II, SIMBOL GOTONG-ROYONG RAJA DAN RAKYAT MAROKO

BAGIAN II

FaktualNews.co – Saat kaki menginjak halaman teras masjid Hassan II, tidak ada yang bisa dikata kecuali ucapan: Subhanallah, Maha Suci Engkau Ya Allah. Kagum sekaligus mengundang banyak pertanyaan. Bagaimana cara masjid ini di bangun? Berapa biaya yang harus dikeluarkan kerajaan? Berapa lama waktu yang dibutuhkan dan berapa banyak tenaga yang harus dikerahkan?

Kekaguman semakin menjadi-jadi setelah kami menyisir satu persatu pintu dan bangunan utama masjid. Menara masjid yang bergaya cordoba, interior dan eksterior masjid yang mengandung unsur campuran Arab dan Eropa menambah keindahan bangunan. Masjid yang atapnya didominasi warna biru juga tergolong unik, karena sebagian bangunannya menjorok dan berdiri kokoh di atas Samudra Atlantik.

Tidaklah salah kemudian, kalau Masjid Hassan II yang berdiri kokoh di tengah kota Casablanca Maroko ini dinobatkan sebagai masjid terbesar ke-3 setelah Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madina Arab Saudi. Terlebih lagi, konon masjid Hassan 2 ini mampu menampung jama’ah sekitar 105 ribu lebih.

 

Gotong Royong Bukan Hanya Milik Indonesia 

Yang lebih megagumkan lagi adalah kuatnya nilai dan budaya gotong-royong antara raja dan rakyat Maroko dalam membangun Masjid Hassan II ini. Sebuah nilai yang selama ini hanya dikenal milik bangsa kita, Indonesia. Sebuah keagungan budaya yang bersumber dari kearifan lokal yang selama ini dipersepsi kuat hanya milik bangsa Indonesia.

Maroko yang terkenal elitis dan kata raja adalah sabda, ternyata juga tumbuh nilai gotong-royong. Sesuatu yang paradoksal sebagai negeri dengan sistem monarchi. Hebatnya, nilai gotong-royong ini bersemi saat pembangunan Masjid Hassan II dimulai hingga usai. Baik keluarga raja hingga warga Maroko yang kaya maupun yang miskin, semuanya tanpa kecuali bergotong-royong membiayai pembangunan Masjid Hassan II ini hingga selesai.

Gotong-royong dan bahu-membahu antara raja dan rakyat ini pun semakin menguat saat gelombang ‘Arab Spring’ melanda dan mululuh-lantahkan negeri di wilayah Timur Tengah dan Afrika. Tidak mau seperti Tunisia, Mesir, Sudan Dan Aljazair, Raja dan Rakyat Maroko bergegas merapatkan barisan dan bergotong royong untuk memastikan bahwa Maroko harus tetap menjadi negeri yang damai dan toleran.

Masjid-masjid besar di seluruh pelosok negeri, khususnya Masjid Hassan II di jantung kota casablanca, harus dapat dipastikan dan dilarang keras tidak dijadikan kelompok radikal untuk melakukan agitasi politik, propaganda dan menebar kebencian terhadap raja dan sesama. Masjid harus sepi dari upaya merongrong kewibawaan negara dan pemerintah, terlebih lagi dengan berkedok dakwah dan jihad di jalan Tuhan.

Sebagai penganut kuat aqidah al Asy’ariyah yang moderat dan toleran, maka Masjid Hassan II tidak hanya dijadikan simbol kebanggaan rakyat Maroko, tapi juga dapat dipastikan sebagai tempat suci untuk menebar pesan-pesan agama yang sejuk, damai dan menguatkan persatuan ummat.

Barangkali karena moderasi dalam beragama, responsi yang cepat dan tegas dalam menghadapai monster politik ‘Arab Spring inilah membuat Maroko mendapat apreasi positif dari banyak pengamat politik internasional. Dalam sebuah artikel yang berjudul “the Moroccan Exception”, Ahmad Charai dari Foreign Policy Research Institute ( FPRI) yang berkantor di Philadelphia Amerika Serikat ini menyatakan bahwa pengecualian Maroko terletak pada aspek keunikan budaya dan keseimbangan politik, rakyat Maroko telah menikmati sentuhan reformasi politik yang digaungkan oleh Raja Muhammed VI.

“Saat ini pemuda Maroko memiliki banyak wadah untuk mengekspresikan pendapat mereka dan dapat berdebat persoalan publik yang disiarkan oleh media milik pemerintah kerajaan. Raja telah banyak mempelopori perubahan politik bahkan untuk mengatasi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi pun, raja telah keluarkan banyak uang untuk melakukan kemitraan dengan lembaga-lembaga masyarakat sipil”, tegas Charai.

Meski melakukan perubahan politik besar-besaran, tetapi Raja dan Rakyat Maroko tetap bersatu dan bergotong-royong untuk tetap dapat memastikan bahwa persatuan rakyat Maroko adalah segala-galanya. Jangan hanya demi perubahan politik yang demokratis, tapi mengorbankan dan meluluh-lantahkan negara dan rakyatnya. Jangan hanya karena atas nama demokratisasi tapi rakyat menjadi anarkhi.

Dan dari Masjid Hassan II inilah semuanya dimulai. Antara Raja dan rakyat bergotong-royong untuk membangun modernisasi peradaban bangsa, menyemai benih-benih perdamaian sekaligus secara bersama-sama menghadapi dan menyelesaikan tantangan bangsanya.

Bagaimana dengan Indonesia? Kiranya belum terlambat untuk mengambil pelarajan yang indah. Kata pepatah: late is better than never.

 

 

31 Oktober 2019
Puncak Al-Hambra Granada-Spanyol

Sean Choir

Khadam Kultural NU, Direktur Elsekutif ICDHRE Foundation dan Orbit Poll.