Opini

Cerdas Berkomunikasi di Era Digital

Oleh : A Sapto Anggoro
(CEO Tirto.ID)
Disampaikan pada Dies Natalis dan Wisuda Sarjana Stikosa AWS pada tanggal 30 November 2019 di Surabaya.

Sesuai dengan judul, saya akan membagi beberapa bagian, antara lain;
– Bagaimana situasi digital hari ini dan kemungkinan ke depan
– Bagaimana ilmu komunikasi berperan di era mendatang
– Perlunya mengembangkan kecerdasan hakiki agar tak terjebak dengan data dan artificial intelligent

Bagian Pertama, tentang situasi digital.

Seperti diketahui, teknologi digital adalah keniscayaan, tidak bisa dipungkiri. Mau tidak mau kita yang ada di dalamnya harus mengikutinya, bahkan bila perlu ikut mengontrolnya.

Menurut data dari APJII (Asosiasi Penyelenggrara Jasa Internet Indonesia), sejak tahun 2018 pengguna internet Indonesia sudah mencapai 171 juta orang dari sekitar 260 juta populasi penduduk. Artinya sudah 65% penduduk Indonesia tersambung dengan internet.

Dari jumlah tersebut, pengguna dari kalangan anak muda, merupakan porsi yang terbesar karena mereka merupakan generasi digital native yang sejak lahir sudah mengenal internet dan handphone.

Sementara generasi seperti saya dan para dosen serta para orang tua wisudawan, bagian dari generasi immigrant technology yang tak pantas disebut milenial, malah diolok sebagai generasi kolonial.

Para generasi kolonial ini, masih ditemukan membaca koran cetak, sementara media cetak satu-demi satu pamit kepada pembacanya. Dan tutupnya media cetak tidak hanya terjadi di Indonesia tapi global.

Beberapa nama beken di Indonesia yang sudah pamit adalah Sinar Harapan, majalah HAI, Tabloid Bola, Rolling Stone, Cek&Ricek, Jakarta Globe, Koran Jurnas (Jurnal Nasional), Cosmo Girl, Esquire, Majalah Kawanku, dan lain-lain.

Di Malaysia, koran Utusan Malaysia yang sudah berumur 80 tahun juga pamit, juga Star Media Grup menghentikan edisi cetak, Legenda media berbahasa Inggris Thailand, The Nation juga tutup. Sebenarnya mereka tidak tutup, tapi mengganti platform dari media cetak memakai kertas pindah ke media online yang bisa diakses seluruh dunia dari laptop, tablet, dan smartphone.

Di Amerika juga sejak 2004 hingga 2016 tercatat sekitar 50 media cetak tutup, sebagian besar menutup penuh, sebagian lainnya pindah ke online.

Sebenarnya trend penurunan media cetak di Indonesia lebih lambat, terutama di daerah, media cetak masih banyak diterbitkan, tak lain salah satu faktornya karena ada bisnis model belanja iklan pemda ke media cetak setempat.

Disrupsi media tidak hanya melanda media cetak, tapi televisi nampaknya akan menjadi gelombang berikutnya. Data dari Adstensity, sebuah lembaga monitor iklan televisi menyebutkan, belanja iklan televisi pada dari 2017 ke 2018 tumbuh 13,35% (mencapai Rp 110,46 triliun (sebelumnya Rp98 triliun).

Berapa pertumbuhan 2019, diprediksi maksimal 9%. Artinya, televisi sudah mulau digerogoti oleh iklan di Youtube dan platform video di media sosial yang menawarkan video on demand. Saat ini tidak harus melihat langsung acara teve, Baru kalau viral atau dibicarakan banyak orang, bisa lihat di youtube.

Kita sedang hidup di era peralihan, shifting, yang banyak mengejutkan kehadirannya. Era disrupsi atau era yang mengagetkan (mengganggu) bagi yang tidak siap. Digitalisasi adalah keniscayaan. Termasuk di media.

Oleh Dewan Pers disebutkan bahwa jumlah media secara keseluruhan di Indonesia ada 47 ribu media, baik televisi, cetak, radio, dan online. Namun dari jumlah itu, menurut Dewan Pers 43 diantaranya media online.

Karena mudahnya bikin media online, dari jumlah semua itu tidak semua profesional, hanya sekitar 170 saja yang dianggap layak.

Media pada hakikatnya adalah alat untuk menyampaikan pesan. Bila sebelum masehi pesan dititipkan melalui kuda atau rusa hewan, kemudian surat dititipkan melalui burung merpati pos, baru mulai tahun 1960 ada koran cetak setelah ditemukan teknologi bubur kertas.

Kemudian berkembang ada teleponteleks, tahun 1902 mulai ditemukan radio melaluai frekuensi udara, seperempat abad kemudian hadir televiisi, arphanet di Amerika yang merupakan cikal bakal komputer internet oleh tentara AS, baru tahun 1991 internet menjadi makin berkembang setelah ditemukan teknologi www (world wide web) oleh Tim Barnes Lee dari Inggris.

Di luar yang disangka oleh Tim Barnes Lee, internet bergerak begitu cepat lahirlah blogging, instant messaging mIRC (messaging Internet Rally Chat), kemudian lahirlah Facebook dan Twitter yang mengubah kebiasaan orang membaca informasi di halaman homepage atau web-base berubah cara dengan melalui media sosial. Dengan kedua media sosial tersebut pengguna internet tinggal follow medianya melalui medsos yang dipakai.

Perkembangan berikutnya muncul instant messaging yang bisa dijadikan grup bahkan bisa mengirim file teks, foto, dan video dalam jumlah byte besar seperti Whatsapp, Line, WeChat, Telegram, dan lain-lain.

Akibat dari maraknya messaging WA ini, email menjadi kurang penting. Bila dahulu email digunakan untuk pekerjaan kirim file, sekarang sudah bisa digantikan dengan instant messaging, maka emial sekarang fungsi utamanya dipakai untuk membuat akun sosmed, membership, dan lain-lain.

Setiap generasi pasti ingin kumpul di tempatnya yang nyaman. Nah, karena kelahirannya yang paling bungsu, platforms sosial media Instagram alias IG saat ini yang digandrungi anak muda milenial. Selain bisa dipakai untuk menyampaikan informasi gambar dan foto, juga ada video (IG-TV), dan media massa bisa memanfaatkan IG sebagai alat amplifikasi yakni dengan memanfaatkan layanan insta stories.

Media sosial telah mengubah konstelasi dan ekosistem komunikasi hari ini. Media mainstream bukan lagi satu-satunya kuasa, informasi ke publik begitu deras dilakukan oleh banyak orang, tanpa harus menjadi apa-apa. Mereka ada yang menjadi aktor ada yang yang menjadi penyambung informasi semata, dan ada yang bagian tukang telan atau yang kritis mempertimbangkan setiap informasi. Faktor trust menjadi ujian media, mampukah bersaing dengan para blogger, vlogger, netizen yang kadang kreatif dan khas informasinya.

Jumlah informasi di media sosial pun sangat banyak, IG misalnya di Indonesia ada sekitar 53 juta lebih pengguna yang bisa mengakses sekitar 95 juta gambar yang diproduksi rata-rata per hari. Youtube dengan 50 juta pengguna, sedikitnya 576 ribu jam konten baru setiap hari (global).

Bagaimana dengan twitter, sehari di Indonesia rata-rata 12 juta twitt, sementara Facebook sehari secara global ada 350 juta foto per hari dan pengguna Indonesia cukup banyak, 115 juta.

Dengan jumlah yang sangat banyak tersebut, maka informasi kini menjadi hutan yang sangat lebat yang untuk mencari barang yang sesuai dan benar, tidak mudah. Di sinilah perlu kepandaian untuk menentukan, memilih dan memilah informasi. Secara garis besar informasi ada yang menarik dan penting (perlu). Alih-alih memilih yang diperlukan, masyarakat punya kecenderungan memilih yang menarik saja, meski tidak ada korelasi dengan keperluan hidup kita, menjadi konsumsi yang massal. Tak heran bila banyak informasi-informasi yang settingan dan drama menjadi pembicaraan “seolah” penting, baik di waung kopi, ibu-ibu arisan, bahkan mungkin di kampus. (Kecuali kampus Stikosa-AWS.—joke- Red).

Bila informasi-informasi tersebut hanya bergerak antar media sosial, bisa dimaklumi. Akan tetapi kalau sudah menjadi informasi di media massa, apapun platformnya, maka kita perlu bertanya-tanya? Benarkah ini yang dicari oleh masyarakat?

Faktanya adalah bahwa informasi seperti itulah yang banyak dijejalkan ke masyarakat. Buktinya, info seperti itu bergerak deras di media sosial, di grup-grup whatsapp, bahkan di media online. Ramainya pengakses informasi-informasi yang menarik dan menghibur mesti — oleh beberapa orang tidak penting karena tidak berhubungan dengan kebutuhan hidup seseorang — dalam dunia internet bisa dicatat.

Catatan-catatan itu biasanya dinamai dengan hits, page views, unique visitor, unique user, session, dan lain sebagainya. Untuk dapat memenuhi ukuran-ukuran itu diperlukan berita sebanyak-banyaknya, secepat-cepatnya, banyaknya diakses/dibaca, banyaknya disebar (viralkan), tanpa pandang benar atau tidaknya berita tersebut. Di sini masih ada kelemahan mesin
komputer untuk pencatatannya.

Dengan ukuran-ukuran itulah, media online kini berebut posisi tertinggi. Ranking tertinggi menjadi ukuran keberhasilan pengelolaan media. Dalam hal-hal tertentu, ukuran-ukuran tersebut bagaikan nabi baru dalam pengelolaan media online, bila tak bisa menyebutnya sebagai tuhan.

Ukuran-ukuran tersebut dibuat berdasarkan requiremen atau persyaratan yang diubah menjadi kode binari teknologi IT, sehingga yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut akan menjadi ketinggalan. Oleh sebab itu, banyak wartawan atau media memiliki kecenderungan untuk membuat konten berita demi memenuhi kebutuhan mesin-mesin pemeringkat atau mesin pencari. Padahal berita benar atau salah, semuanya dibaca mesin. Salah atau hoax pun, kalau pun dianggap memenuhi kriteria mesin akan menaikkan peringkat. Soal kualitas, karena sifatnya yang dianggap relatif, terabaikan. Tak heran bila dalam banyak hal terjadi pengabaian terhadap informasi yang benar dan berkualitas.

Di platform lain, televisi misalnya, ukuran keberhasilan adalah banyaknya menyedot iklan, yang mana agen iklan Indonesia ditrigger oleh laporan riset Nielsen. Setiap periode tertentu Nielsen mengeluarkan hasil riset berdasar pendapat panel pengguna sebagai sample, untuk menentukan rating sebuah acara televisi.

Masalahnya, lembaga riset ini hanya satu-satunya yang dipercaya di Indonesia sehingga tidak ada alternatif pembanding, maka hasil pemeringkatan yang dilakukannya bagaikan fatwa yang harus diikuti televisi, pemasang iklan, dan agensi periklanan. Perusahaan media televisi baru, apalagi yang tidak berlangganan data, meski menurut masyarakat dianggap bagus, belum tentu dirating. Karena itu pengiklan tidak melirik, akhirnya pendapatan jeblok, sekarat, mungkin mati.

Selanjutnya, saya bahas bagian kedua: Tentang fakta komunikasi hari ini dan peran ilmu komunikasi.

Kita tentu saja sadar, bahwa karena ukuran-ukuran rating dan pemeringkatan tersebut, pengelola media komunikasi bisa terjebak pada kebutuhan utama dari sebuah komunikasi yang hakiki, tidak saja menyampaikan informasi dari komunikator ke komunikan, akan tetapi informasi atau pesan itu juga semestinya berisi kebenaran. Sebab, bila mengabaikan hal ini, bisa terjebak pada informasi yang tidak benar. Karena mengejar ketergesaan dan banyak-banyakan, tidak verifikasi, media bisa kepeleset dengan hoax.

Berdasarkan data dari Kemkominfo yang melakukan deteksi selama 9 bulan dari Agustus 2018 sampai April 2019, trend jumlah hoax naik significant. Penelitian dilakukan berkaitan dengan Pilpres. Dari sebelum Pilpres hanya ada 25 hoax tapi sembilan bulan berikutnya jadi 486 hoax (atau tumbuh hampir 1800% dalam 9 bulan) sebuah angka yang dahsyat, atau rata-rata tiap bulan jumlah hoax naik 200%. Dan paling banyak adalah hoax politik (43%).

Soal hoax memang bukan permasalahan Indonesia, tapi masalah global. Karena itulah, mendapat perhatian dari Unesco yang mendefinisikan menjadi misinformasi dan disinformasi. Misinformasi adalah informasi salah/palsu yang penyebarannya tidak disengaja atau tidak faham, karena asal kirim tanpa mikir. Sedangkan disinformasi adalah tindakan penyebaran hoax yang disengaja.

Banyaknya hoax, menurut Unesco, menjadi batu ujian bagi wartawan dan media, terutama berkaitan dengan gelontoran informasi. Jurnalisme menghadapi risiko ditenggelamkan oleh hiruk-pikuk disinformasi. Wartawan perlu sadar bahwa arena utama disinformasi adalah media sosial, tokoh utama bisa berperan atau jadi sumber masalah ‘berita palsu’.

Dengan disinformasi, karena gerakan yang massive, maka informasi yang diulang-ulang bisa berubah menjadi kebenaran. Itu disebut sinyalemen “post truth“: kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Akibatnya hoax punya pengaruh lebih besar ketimbang fakta sebenarnya.

Untuk menghindari jebakan-jebakan tersebut, media atau penggiat komunikasi harus check and recheck. Jangan malas untuk melakukan itu. Sebab, kalau wartawan terjebak jurnalisme ludah (talking news) yang simpang siur antar kedua sumber juga bahaya. Misalnya, bila sumber A mengatakan di luar hujan, sedang sumber B menyatakan di luar kering, adalah tugas media untuk melihat sendiri apa yang sebenarnya terjadi.

Demi kebenaran, maka hal ini menjadi mutlak dilakukan. Sebab, di situlah yang membedakan media dengan medsos. Media wajib melakukan verifikasi, medsos tidak. Karena Media massa terikat kode etik jurnalistik (KEJ) di pasal 2 KEJ tertulis : wartawan Indonesia harus profesional, pasal 3 : wartawan harus menguji informasi, dan pasal 4: wartawan Indonesia tak boleh menyebarkan berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Dalam bayangan saya, apa yang dilakukan wartawan juga newsroom (ruang redaksi), tak ubahnya seorang dokter yang menentukan penyakit pasien agar lebih detil. Caranya, menguji darah pasien, melihatnya dengan mikroskop, lalu dihipotesa, analisa, sebelum akhirnya memastikan tentang penyakit pasien. Pengakuan pasien mengenai kondisi adalah bagaikan sumber primer dalam reportase, sedangkan hasil laboratorium adalah data skunder yang bisa mempertajam analisa sebelum disimpulkan.

Tapi saya pesan tidak terjebak dalam fallacy theory seperti disampaikan politisi dan filsuf Inggris abad ke-19 awal, Benjamin Desraeli soal kebohongan dan data. Menurut dia, ada 3 macam kebohongan: Satu bohong itu sendiri, kedua bohong banget, ketiga sudah bohong pakai data, lagi. Ini niat banget.

Bila melihat bagaimana jurnalisme dan perbandingannya dengan kedokteran, memang sejatinya jurnalisme itu bukan sekadar pesan, komunikan, komunikator, dan menyampaikan informasi belaka, tetapi jurnalisme itu sendiri adalah ilmu.

Menurut Lawrence Cranberg, fisikawan yang juga pendidik jurnalisme (1989) mengatakan: “Jurnalisme itu sendiri adalah ilmu, dan seorang jurnalis yang memenuhi syarat dan bertanggung jawab adalah seorang ilmuwan yang berpraktik. Baik ilmuwan dan jurnalis melayani kebutuhan umum umat manusia untuk berbagi pengetahuan dan pemahaman,” katanya dalam The Commersialization of News (1989).

Karena jurnalisme itu ilmu, maka dekat dengan hal-hal sebagai berikut: fakta empirik, analisa, hipotesa, pengujian teori, pembuktian teori, publikasi. Dengan demikian, maka wartawan akan tetap menjaga ruh jurnalistik sesuai dengan pesan Bill Kovach & Tommy Rosenstiel dalam 9 elemen jurnalistik: 1. kebenaran, 2. loyal pada publik, 3. disiplin verifikasi, 4. independensi, 5. kontrol sosial (publik), 6. menjadi forum publik (public discourse), 7. menyampaikan hal penting jadi menarik, 8. komprehensif dan proporsional, dan 9. punya kewajiban nurani.

Akhirnya, saya sampai pada penjabaran ketiga, yakni perlunya mengembangkan kecerdasan hakiki agar tak terjebak pikatan big data.

Kita tentu tahu, bahwa saat ini gempuran teknologi yang berkaitan dengan komunikasi dan non komunikasi sangat dekat, tidak jauh dari kita, tapi di saku kita, di tangan kita, tentu saja termasuk saya.

Telepon seluler apalagi yang smartphone, adalah penemuan paling dahsyat abad ini. Ini penemuan canggih yang membantu memudahkan tugas umat manusia untuk menyelesaikan banyak masalah, tapi juga dituduh banyak bikin masalah. Semula handphone hanya menggantikan telepon tetap di rumah, lalu warnet, lalu membantu bersurat-suratan, menghentikan tugas tukang antar surat pos, juga mengganti pekerjaan pembuat jam tangan, kamera, mesin ATM, sampai menggantikan k o r a n.

Suatu hari saya ditanya seorang pengajar pasca sarjana komunikasi yang usianya mewakili generasi kolonial: Apakah media online akan mematikan koran? Saya jawab tidak. Sebab yang menggantikan adalah smartphone. Dunia bergerak ke smallscreen. Suka tidak suka, ini adalah fakta dan keniscayaan.

Teknologi yang ada di sekitar kita ini, 4G bukanlah ujung, atau malah permulaan. Sebab, di sebagian dunia justru sudah menggelar 5G. Loh apa itu 5G? Ya, kita selalu dihadapkan dengan istilah teknologi yang sering membingungkan dan bikin ruwet. 1G atau generasi pertama telepon yang ada di rumah, cuma bisa buat voice. Generasi ke-2 (2G) sudah bisa dipakai untuk kirim sms, 3G bisa dipakai smsdan tersambung internet dengan kecepatan sampai 8 mbps (megabite persecond), 4G atau LTE yang beredar mulai 2008 (tapi Indonesia baru deployment 2009) sudah bisa dipakai sms, internet, video, dan kecepatan 15 mbps. Kalau 5G, Anda sudah bisa memakai smartphone Anda untuk memutar film kualitas HD, 3D, utra video, sms, internet, dengan kecepatan 1-10 GigaBytePerSecond (GBpS).

Apa yang akan terjadi dengan 5G? Anda bisa melihat sebuah band yang dimainkan oleh 4 orang di tempat yang berbeda: satu di Surabaya, kedua di Jakarta, ketiga di Bali, keempat di Singapore misalnya, dengan tone yang bersamaan, ritme yang sesuai harmoni mereka, tidak ada lagi kata lemot. Selain itu, internet juga tidak hanya digerakkan oleh koding aplikasi semata, akan tetapi sudah setiap barang diberi IP Address (alamat internet protokol), yang diberi kode tertentu dengan aplikasi semacam Som-IP, sehingga alat-alat bisa bergerak sesuai perintah atau kebiasaan yang diatur.

Pengaturan berdasarkan kebiasaan itu, misalnya mobil saya setiap jam 7 pagi otomatis sudah berbunyi sendiri, atau diproses ketika saya masuk kamar mandi, sehingga setelah selesai mandi sudah siap, dan barang-barang isi kulkas sudah keluar buah-buahan sesuai program diet saya, dan itu bisa dikunci jarak jauh secara remote. Semua perilaku itu bisa dibuat semakin cerdas atau kecerdasan buatan (yakni artificial intelligent alias AI). Kecerdasan buatan ini masih selalu diperbaiki, kadang goblok, robotnya tidak seusai program. Program-program itu akan selalu diperbaiki dengan kecanggihan machine learning —disebut mesin yang belajar karena harus diajari terus — dengan cara memasukkan data-data masukan baru.

Data-data masukan baru itu jumlahnya tidak sedikit, sangat banyak (big data), dan dalam, maka diproses dengan mekanisme deep data. Tapi data yang banyak dan dalam itu harus bisa segera dipanggil bila dibutuhkan, Harus segera menjalankan perintah pembawa tombol. Semua ini adalah era internet of thing (IoT) yang lebih optimal bila jalan bersama 5G. Di Jepang sudah jalan, secara global akan memulai 2020, Indonesia belum diketahui, tunggu saja.

Lantas, apa kaitannya dengan ilmu komunikasi, Tentu sebagai sarjana komunikasi, Anda tidak harus ahli di situ, tapi tidak ada salahnya untuk memahaminya, syukur mengerti, dan tahu mengolahnya.

Seperti biasa, ketika ada informasi baru, sering ada masalah, di situlah sarjana komunikasi
memahami bagaimana menanggulangi (mitigasi). Banyak orang teknis tidak bisa menyampaikan permasalahan yang dihadapi. Adalah tugas sarjana komunikasi menyampaikan permasalahan yang sulit menjadi mudah dipahami, lebih simple.

Saat ini banyak praktisi komunikasi bukan dari sarjana komunikasi, ada dari teknik, dari ekonomi, bahkan hukum. Itu karena mereka mau belajar tentang komunikasi detil. Justru saatnya sekarang sarjana komunikasi memperkuat ilmunya, serta meningkatkan literasi di bidang lain, sehingga kaya ilmu dan bisa bekerja di seluruh industri supaya jadi agen bahkan aktor komunikasi. Jangan ragu untuk memanfaatkan seluruh platform media yang ada dan teknologi yang terbaru sekalipun, termasuk soal 5G dan internet of thing (IOT).

Bila Anda para wisudawan bisa menjadi agen dan aktor komunikasi di banyak sektor industri, maka posisi tawar Anda akan meningkat. Anda tidak lagi sebagai object dari perusahaan tapi menjadi subjek. Ini saatnya wisudawan-wisudawan Stikosa-AWS menjadi aktor-aktor komunikasi global yang diperhitungkan.

Untuk menuju ke situ, banyak data tersedia bisa dimanfaatkan. Hari ini, DATA menjadi hal yang penting. Bahkan pemerintah pun sedang menyusun aturan berkaitan dengan kedaulatan data, terutama data digital. Semua negara dunia sedang mengelola datanya.

Mantan scientist Microsoft dan Google yang kini menjadi orang nomor satu di IT negeri China, Prof. Kai Fu Lee PhD, menyatakan bahwa atificial intelligent (AI) akan menjadi bagus bila didukung data yang signifiant.

Sejarawan dan peneliti Yuval Noah Harari dalam trilogi bukunya Sapiens, Homo Deus, dan 21 Pesan Abad 21 juga bicara DATA. Katanya, Big Data Mining saat ini menjadi keyakinan baru masa depan, yang berisiko hilangnya juga sejumlah pekerjaan karena digantikan oleh kecerdasan buatan (AI) atau robot. Dalam penjelasan bagaimana revolusi kognitif sampai revolusi industri, dari pertanian sampai komputer, hingga AI dan IoT, adalah perjalanan yang perlu dicermati dan diantsipasi.

Meski terasa menakutkan seperti itu, kita harus tetap optimis. Seperti disampaikan oleh Peter Theil, dalam bukunya Zero to One, kita harus berpikir untuk bisa menjadikan diri monopoli, dalam arti bahwa kemampuan spesifik yang kita miliki akan meningkatkan posisi tawar dalam kehidupan. Theil yang juga founder Paypal, sebuah alat pembayaran paling banyak dipakai di internet, menyampaikan bahwa mesin (robot/AI) memang dahsyat dalam memproses big data sesulit apapun, tapi mesin tidak punya nalar hipotesa dan analisa buat mengambil keputusan.

Sebelum saya akhiri orasi ini, dari informasi data dan paparan di atas, kepada civitas akademika dan khususnya adik-adik wisudawan. Tingkatkan terus ilmu dan literasi yang Anda dapatkan di kampus, untuk bisa menjadi aktor komunikasi yang berguna di banyak kehidupan. Banyak hal bisa dimanfaatkan terutama data. Tapi, data bukan segalanya, lebih dari itu harus meningkatkan logika berpiikir, dan berpikir kritis.

Sutradara film fiksi hero Spiderman perlu menambahkan moment orang digigit serangga untuk menjawab pertanyaan nalar logis bila spiderman bisa merayap.

Maka, mari kita tetap menjaga kewarasan, dengan terus berpikiran kritis, logis, meningkatkan daya nalar dalam melakukan hipotesa dan analisa sebelum mengambil kesimpulan. Itu semua demi ilmu komunikasi termasuk jurnalistik.

Kita harus sadar, tools & teknologi itu fana, sedangkan jurnalistik ABADI.

REFERENSI:

– https://id.wikipedia.org/wiki/Atmaji_Sapto_Anggoro
– https://medium.com/@trueconf/unifiedcommunications-history-features-andtechnology-e4f5a35b35d9
– https://nextren.grid.id/read/011827368/sambut-5g-itb-dan-qualcomm-gelar-diskusiroadmap-manfaat-dan-tantanganpenerapan-5g-di-indonesia?page=all
– https://id.wikipedia.org/wiki/Waring_Wera_Wanua
– https://id.wikipedia.org/wiki/Tim_Berners-Lee
– https://apjii.or.id/content/read/39/410/Hasil-Survei-Penetrasi-dan-Perilaku-Pengguna-Internet-Indonesia-2018
– http://newspaperownership.com/additionalmaterial/closed-merged-newspapers-map/
– Alex S. Jones, Losing the News: The Future of the News That Feeds Democracy, (Oxford: Oxford University Press, 2011).
– Laura Owen, “A neighbor is better than anewspaper: A look at local news sources in rural Western mountain communities,” Nieman Lab, May 19, 2016, http://www.niemanlab.org/2016/05/a-neighbor-isbetter-than-a-newspaper-a-look-at-localnews-sources-in-rural-western-mountaincommunities/.
– http://satupena.id/2019/09/21/jurnalismepresisi-precision-journalism/
– https://tirto.id/apa-beda-5g-denganteknologi-generasi-sebelumnya-cDaW
– https://sp.ts.fujitsu.com/dmsp/Publications/public/wp-data-protection-for-digitalworldww-en.pdf
– https://inggymae.wordpress.com/2015/02/15/trust-but-verify/

Share
Penulis
Tags: Opini