ROTTERDAM, FaktualNews.co – Drama panjang penderitaan Muslim Rohingya memasuki babak baru menyusul digelarnya sidang gugatan di Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ ICJ), Selasa (11/12/2019). Gugatan diajukan oleh Gambia terhadap Myanmar atas kekejamannya terhadap Rohingya.
“10 Desember akan menjadi hari bersejarah bagi Rohingya. Ini adalah awal dari keadilan dan pertanggungjawaban atas penderitaan karena genosida selama puluhan tahun,” kata Hla Kyaw, ketua Dewan Rohingya Eropa, kepada Anadolu Agency.
Kyaw mengatakan bahwa Rohingya telah menunggu keadilan terlalu lama.
Dia mengungkapkan harapan bahwa proses ICJ berjalan cepat dan membawa keadilan kepada warga Rohingya secepat mungkin.
Kyaw juga meminta komunitas internasional untuk menciptakan zona aman bagi Muslim Rohingya sampai pemerintah Myanmar memberi hak kepada mereka.
“Rohingya masih menghadapi pembatasan kebebasan bergerak; pembatasan hak atas pendidikan; pembatasan kebebasan beribadah; pembatasan hak untuk mencari perawatan medis darurat seperti situasi yang mengancam jiwa; dan banyak lagi pembatasan. Situasi semakin memburuk, ” tambah dia.
Kyaw juga mendesak komunitas internasional untuk bersatu menekan Myanmar baik secara ekonomi maupun politik.
“Saya percaya bahwa memberikan keadilan kepada orang-orang Rohingya adalah tanggung jawab moral semua orang,” kata Khairul Boshor, ketua Asosiasi Muslim Myanmar Belanda.
Boshor menggarisbawahi bahwa ada bukti faktual yang menunjukkan Myanmar melakukan genosida terhadap Rohingya.
“Kami telah mendengar pemerintah Myanmar memaksa dan menyalahgunakan Rohingya di Arakan untuk memberikan saksi palsu terhadap orang-orang kami di ICJ,” ujar dia.
“Keadilan untuk warga Rohingya sudah lama tertunda dan orang-orang kami sudah sangat menunggu hari ini datang. Saya percaya bahwa Gambia pasti akan memenangkan kasus ini,” tambah Boshor.
Sementara itu, Mohamed Eleyas, wakil dari Komunitas Rohingya Burma di Belanda, mengatakan bahwa ICJ akan mengambil keputusan berdasarkan bukti-bukti otentik.
“Sehingga saya yakin kami akan mendapatkan keadilan. Tetapi kami harus menunggu beberapa saat,” tutur dia.
Gugatan internasional
Myanmar menghadapi tuntutan hukum di ICJ atas kekejaman terhadap Muslim Rohingya, yang diajukan oleh Gambia sebagai dukungan terhadap Organisasi Kerjasama Islam (OKI).
Penasihat Negara Aung San Suu Kyi mengatakan dalam sebuah pernyataan bulan lalu bahwa dia, sebagai menteri luar negeri, akan melawan gugatan tersebut untuk membela kepentingan negara.
Menurut Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA), sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 24.000 Muslim Rohingya telah dibunuh oleh tentara Myanmar.
Lebih dari 34.000 orang Rohingya juga dibakar, sementara lebih dari 114.000 lainnya dipukuli, menurut laporan OIDA yang berjudul ‘Migrasi Paksa Rohingya: Pengalaman yang Tak Terkira’.
Sekitar 18.000 perempuan Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar dan lebih dari 115.000 rumah Rohingya dibakar sementara 113.000 lainnya dirusak.
Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan kekerasan terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017.
Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine telah beberapa kali mengalami penganiayaan yang dilakukan oleh tentara Myanmar sejak 1960-an.
Aung San Suu Kyi membenarkan tindakan keras tersebut sebagai kontra-pemberontakan terhadap Tentara Keselamatan Arakan Rohingya (ARSA), yang diduga terlibat dalam serangan mematikan terhadap pos-pos polisi di negara bagian Rakhine.
Suu Kyi dikritik atas kebungkamannya soal pembunuhan massal dan perang melawan kemanusiaan karena dia berusaha membela Myanmar melawan dugaan kekerasan militer.