SURABAYA, FaktualNews.co – Pada bulan November 2019, masjid terbesar di Djibouti, Masjid Abdulhamid II diresmikan. Dengan luas 13.000 meter persegi, masjid ini bisa menampung 6.000 orang. Masjid raksasa di Djibouti ini punya dua menara setinggi 46 meter. Dindingnya dihiasi dengan kaligrafi Ottoman klasik. Kubahnya ditutupi dengan lamela tembaga berlapis emas. Lampu gantung besar di bagian dalam membangkitkan iluminasi masjid-masjid ala Turki.
Landmark baru Djibouti ini dibiayai oleh Direktorat Urusan Agama Turki. Diyanet, demikian otoritas itu disebut, menganggap masjid sebagai pertanda ikatan yang kuat antara Djibouti dan Turki. Sebagian besar bahan bangunannya diimpor dari Turki, termasuk batu alam berwarna krem di ruang ibadah. Pada tahun 2015, Presiden Djibouti, Ismail Omar Guelleh, mengatakan kepada Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, bahwa ia menginginkan masjid dengan arsitektur Ottoman. “Turki ingin menempatkan dirinya sebagai kekuatan Islam, seperti Arab Saudi selama puluhan tahun,” ujar Abdoulaye Sounaye, seorang antropolog dari Niger yang bekerja di Pusat Studi Oriental Modern Berlin kepada DW.
DW Indonesia melansir, Turki menginvestasikan jutaan dolar AS dalam upaya meningkatkan pengaruhnya di seluruh Afrika. Lebih dari empat dekade, Diyanet telah membiayai pembangunan lebih dari 100 masjid dan institusi pendidikan di 25 negara di seluruh dunia, termasuk di negara-negara Afrika: Djibouti, Ghana, Burkina Faso, Mali dan Chad.
Turki juga telah terlibat dalam renovasi masjid di Afrika Selatan dan pembangunan Masjid Nizamiye – yang terbesar di belahan bumi selatan. Turki juga membantu merenovasi Masjid Solidaritas Islam di ibukota Somalia, Mogadishu. Ini adalah masjid terbesar di tanduk Afrika, dengan ruangan yang bisa menampung 10.000 umat.
“Inilah cara negara menciptakan reputasi dan menunjukkan kepada orang-orang: ‘Anda dapat mengandalkan kami – kami memiliki sumber daya yang tersedia,'” kata Sounaye. Saat ini, orang-orang dapat menemukan masjid-masjid besar dan mengkilap bahkan di tempat-tempat di mana bahkan tidak ada pasokan listrik, tambahnya.
‘Tren Salafi’
Masjid Solidaritas Islam awalnya dibangun pada tahun 1987 dengan dana dari Yayasan Sultan bin Abdul Aziz Al Saud. “Arab Saudi telah melakukan ini selama 10 hingga 20 tahun: berinvestasi di Niger, Nigeria dan Mali,” kata Sounaye. “Dengan cara ini mereka menciptakan ruang untuk mengambil teologis spesifik tentang Islam, khususnya di sini tren Salafi.”
Berdasarkan cita-cita periode awal Islam, Salafi tidak menerima tasawuf dan doktrin agama lain yang lebih toleran yang tersebar luas di Afrika.
“Di masjid-masjid, setiap bentuk ideologi dapat menyebar,” kata Bakary Sambe, yang mengepalai Institut Timbuktu, sebuah lembaga pemikir di ibukota Senegal, Dakar, yang meneliti radikalisasi dan konflik agama di Afrika. “Pengaruh dan kekuasaan dapat diperoleh melalui agama.”
Seperti Turki dan Arab Saudi, Qatar dan Iran telah mengakui potensi agama dalam mengerahkan pengaruh di negara-negara Afrika. Sambe mengatakan Iran telah membangun masjid di Senegal, Pantai Gading dan Guinea, serta di tempat-tempat lain. “Ini adalah persaingan antara kekuatan Timur Tengah,” kata Sambe.
Sebagai contoh, ia menambahkan, Arab Saudi membangun lebih banyak masjid di Nigeria untuk menangkal Syiah yang coba disebarluaskan Iran. Di Nigeria, kelompok Syiah adalah minoritas dan mereka sering merasa tertindas.