BLITAR, FaktualNews.co-Jumlah penderita TBC (Tuberkulosis) di Kabupaten Blitar cukup tinggi dan selalu meningkat setiap tahun.
Peningkatan jumlah penderita TBC ini karena kurangnya pemahaman pengobatan secara rasional. Penularan TBC ini akibat Infeksi Kuman mycobacterium tuberculosis yang semakin meluas.
Kabid Pencegahan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan (Diskes) Kabupaten Blitar Krisna Yekti mengatakan, sampai saat ini temuan suspect TBC sebanyak 10.088 pasien.
Sedangkan dinkes hanya mampu merawat sekitar 4.310 pasien. Kalau di persentase Diskes Kabupaten Blitar hanya merawat 42 persen.
Sedangkan target temuan positif TBC di Blitar sebanyak 2.612 pasien. Namun hingga saat ini hanya ditemukan 677 pasien.
“Kami kesulitan menemukan pasien positif TBC. Karena penderita batuk tidak memeriksakan ke puskesmas atau klinik. Jika batuk satu sampai seminggu, mereka memilih mencari obat ke apotek. Padahal jika batuk lebih dari dua minggu, sebaiknya dilakukan pemeriksaan dahak,” kata Yekti, Rabu (9/01/2020).
Krisna menambahkan, Diskes sudah menfasilitasi kemudahan layanan pemeriksaan dahak atau dikenal pemeriksaan BTA. Sebuah alat Test Molecular Cepat (TMC) disediakan di RSUD Ngudi Waluyo, Wlingi, Puskesmas Kanigoro dan Puskesmas Srengat.
“Jadi kalau lokasi warga penderita jauh, warga bisa langsung datang saja ke puskesmas terdekat. Nanti petugas puskesmas itu akan mengantarkan tes BTA-nya ke puskesmas yang sudah ada alat TMC dan gratis,” pungkasnya
Di Blitar, wilayah yang sulit dan jauh berada di Kecamatan Srengat, Kanigoro, Kademangan dan Sutojayan.
Mirisnya, peningkatan jumlah penderita TBC ini juga dibarengi meningkatnya pasien TBC yang kebal obat. Atau Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR TB).
Di Kabupaten Blitar, pasien MDR mulai ditemukan tahun 2015, yakni dua warga Sutojayan. Pada 2016 naik menjadi 4 pasien MDR, 2018 ada 38 pasien dan di 2020 ini naik menjadi 42 pasien MDR.
Menurutnya Krisna, ada anggapan, TBC ini penyakit kutukan atau penyakit turunan, membuat warga tidak melakukan pengobatan secara rasional.
“Padahal, jika ada satu penderita TBC tidak ditangani secara khusus alat makannya dan selalu pakai masker, ini rentan menular ke anggota keluarga dalam satu rumah itu,” ungkap Krisna.
Faktor ini ditambah pasien TBC tidak mau dipublikasikan. Sehingga orang lain tidak tahu jika dia penderita penyakit menular.
Potensi penyebaran terjadi, jika pasien TBC batuk tanpa menutup mulutnya atau tanpa memakai masker. Dan membuang dahaknya di sembarang tempat.
“Kita yang sehat harus lebih waspada. Caranya, pakai masker dimana pun ketika berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain,” pungkasnya.