Dalam laporan realisasi anggaran BLUD RSUD Jombang, diketahui adanya pembayaran honorarium pengelola kegiatan. Pada tahun 2018 sebesar Rp 660.215.376 dan tahun 2019 semester 1 sebesar Rp 229.578.800. Honorarium ini diberikan kepada pejabat pengelola keuangan BLUD diantaranya, pimpinan, pejabat keuangan dan pejabat teknis. Dari temuan ini, BPK mendapati adanya pemborosan keuangan RSUD sebesar Rp 161.370.720.
JOMBANG, FaktualNews.co – Pada dokumen pertanggungjawaban, diketahui pejabat pengelola keuangan menerima honorarium setiap bulannya. Alih-alih berdasar Peraturan Bupati nomor 12 tahun 2015 tentang rumenerasi dan jasa pelayanan pada BLUD RSUD Jombang, pemberian honor yang diterima triwulan tersebut, menabrak aturan Permendagri nomor 79 tahun 2018 terkait pembayaran honorarium pejabat pengelola keuangan BLUD.
Dijelaskan dalam aturan terbaru itu (Permendagri no 79 tahun 2018) pejabat pengelola menerima remunerasi atau imbalan kerja yang meliputi komponen penerimaan bersifat tetap, bersifat tambahan dan pesangon. Atas masih dibayarnya honorarium, sementara pejabat pengelola keuangan BLUD juga menerima rumenerisasi, BPK dalam LHP-DTT, menyebut adanya kerugian yang dialami keuangan RSUD selama kurun waktu Oktober – Desember.
Dalam penjelasannya, pejabat pengelola keuangan BLUD berdalih, pemberian honorarium selain mengacu pada perbup nomor 12 tahun 2015, acuan mereka pada Permendagri 61 tahun 2007. Sementara Permendagri nomor 79 tahun 2018 sebagai pengganti dari aturan yang sudah ada, (Permendagri 61 tahun 2007) mulai berlaku pada tanggal diundangkan yakni 2 September 2018.
Otomatis, pada bulan oktober 2018 hingga juni 2019, pemberian honorarium sudah tidak berlaku karena telah ada pemberian remunerasi. Kesalahan ini, menurut BPK disebabkan Direktur RSUD Jombang belum melakukan revisi atas peraturan yang baru. Disebutkan pula, Wakil Direktur Administrasi dan Keuangan selaku pejabat pengelola BLUD tidak melakukan acuan Permendagri nomor 79 tahun 2018.
Hal berbeda disampaikan Direktur RSUD Jombang, dr Pudji Umbaran. Dalam keterangannya pada sejumlah awak media pada jumat (17/01/2020) lalu menyebut, hasil akhir kesimpulan pemeriksaan BPK, RSUD Jombang telah sesuai mengelola keuangan BLUD dengan Permendagri 61 tahun 2007 yang diperbarui dengan Permendagri nomor 79 tahun 2018. “”Ada beberapa yang harus diperbaiki dan kesemuanya administrasi, termasuk revisi perbup. Kerugian negara tidak ada,” terang dia.
Terpisah, diungkapkan dosen fakultas hukum Universitas 17 Agustus Surabaya, Solikin Rusli, temuan BPK atas double anggaran yakni honorarium dan remunerasi di BLUD RSUD Jombang ini harusnya menjadi langkah awal penyidik baik dari kejaksaan maupun kepolisian untuk bertindak. “Sudah ada temuan, unsur memperkaya diri sendiri serta kesengajaan menabrak aturan sudah terjadi, ranahnya seharusnya tindak pidana korupsi,” terang dia, senin (27/1/2020) malam.
Pengembalian kerugian negara menurut dia, bersifat sebagai keringanan putusan dalam persidangan nantinya. Namun, kata dia, hal tersebut tidak menghilangkan unsur pidana. “Selain pembayaran honorarium, saya juga mendengar ada temuan terkait pengembalian atas kekurangan volume pekerjaan, itu aneh lagi,” tambah dia.
Meskipun itu dibayar oleh rekanan, lanjut Solikin, kualitas bangunan sudah tidak sesuai dengan rancang bangunan semula hingga bisa membahayakan bagi publik selaku pengguna. “Kita ambil contoh saja, jika yang harusnya semisal dipasang besi ukuran 6 kemudian yang dipasang ukuran lebih kecil, hanya disuruh mengembalikan nilai dari kekurangan besi yang terpasang kan gak fair ini,” ungkap dia memungkasi.
Pernyataan Solikin Rusli terkait pembayaran kekurangan volume pekerjaan sendiri benar adanya. Dalam LHP-DTT yang diterima langsung redaksi kelompok faktual media dari BPK Perwakilan Jawa Timur, memang terdapat item temuan tentang kelebihan pembayaran pada pembangunan selasar dan tiga paket pekerjaan rehabilitasi gedung RSUD Jombang. Temuan itu sendiri ada dalam komponen 10 temuan BPK pada RSUD Jombang.