Opini

Wallace, Peneliti Flora-Fauna Abad 19 yang Pernah Singgah di Mojoagung

Oleh Fariz Ilham Rosyidi *)

ALFRED Russel Wallace (1823-1913) adalah seorang naturalis yang meneliti kehidupan flora dan fauna di Nusantara abad ke-19.

Dia berkelana ke berbagai kepulauan dan menyusuri hutan, untuk mengumpulkan berbagai spesimen tumbuhan, gambaran tingkah binatang, dan berbagai aktivitas manusia dari Singapura, Semenanjung Malaya, Filipina, dan hampir seluruh kepulauan di Indonesia.

Hasil temuannya itu, dia abadikan dalam karyanya “The Malay Archipelago: The Land of the Orang-utan and The Bird of Paradise” tahun 1869,Sebuah buku fenomenal yang menjadi bahan belajar kita di sekolah tentang “Garis Wallacea”.

Dari penjelajahannya itu, ternyata dia pernah singgah di Mojoagung, yang dulunya merupakan kawedanan di Mojokerto, dan saat ini, berada di wilayah Kabupaten Jombang.

Diceritakan olehnya, sepulang dari Ternate, Kepulauan Maluku. Dia menuju Pulau Jawa dan bermukim selama tiga setengah bulan, sejak tanggal 18 Juli sampai 31 Oktober 1861.

Tempat pertama yang Wallace tuju adalah Surabaya, Ia menggambarkan Surabaya sebagai kota yang penting, karena mempunyai pelabuhan besar yang sangat ramai di wilayah timur Jawa.
Dia tinggal di Surabaya selama dua minggu untuk mengemasi berbagai koleksinya di kapal.

Selepas itu, dia memulai perjalanan dengan kereta sapi jantan alias “cikar” menuju pedalaman Jawa. Tempat yang ia kunjungi adalah Mojokerto.

Dia menggambarkan Mojokerto sebagai sebagai tempat yang bersih dan mempunyai lapangan hijau (alun-alun) serta pohon ara (beringin). Disana Wallace bertemu dengan Mr. Hall yang mengantarkannya ke Modjo-agong (Mojoagung).

Selama di perjalanan, Wallace menyaksikan puing-puing kota kuno Kerajaan Majapahit. Dia terkesima dengan sebuah pintu gerbang batu kembar yang sangat menakjubkan.

Menurutnya, batu yang digunakan dalam struktur bangunan itu sangat bagus, dengan sudut-sudut tajam yang mempunyai permukaan rata. Besar kemungkinan yang dimaksud Wallace adalah batu bata dan yang ia kunjungi adalah Candi Bajang Ratu.

Setibanya di Mojoagung, dia mengunjungi rumah Wedana atau kepala Kawedanan Mojoagung. Wallace melihat sebuah relief batu berwajah cantik yang diletakkan di rumah Wedana. Berdasarkan penuturan sang Wedana, relief itu terkubur di sekitar daerah Mojoagung.

Wallace merasa tertarik memilikinya, dia mengatakan kepada Mr. Hall. Tak disangka, atas permintaan Mr. Hall, sang Wedana memberikannya kepada Wallace, sebuah patung setinggi dua kaki dengan berat seratus pon, atau sekitar 45 kilogram.

Relief itu menggambarkan seorang dewi Hindu bernama Durga, kemungkinan dia adalah Roro Jonggrang (perawan agung). Patung tersebut digambarkan mempunyai delapan buah. Kedelapan tangannya memegang sesuatu.

Di bagian kanan, dia memegang jangkar, sebilah pedang, seutas jerat, dan ekor lembu. Di bagian kiri, memegang gelang manik-manik, sebuah busur, bendera perang danrambut Dewa Mahikusor, yang dianggap sebagai simbol kejahatan, karena berusaha menyembelih lembu.

Menurut Wallace, Dewi itu sangat dipuja orang-orang Jawa di masa lalu, karena terdapat banyak relief-relief candi.

Dari rumah Wedana, Wallace menyaksikan pesta sunatan kemenakan Wedana. Wallace mengisahkan, penduduk sekitar nampak sibuk mempersiapkan pesta yang digelar hingga tengah malam.

Dia juga melihat seperangkat alat musik yang dimainkan sepanjang malam, kemungkinan itu adalah gamelan. Dia berkesempatan melihat seperangkat alat itu sambil berinteraksi dengan pemainnya.
Pada gamelan, terdapat 8 sampai 12 gong dalam berbagai ukuran yang diletakkan di sebuah kerangka kayu. Alat itu dimainkan oleh seorang pemusik menggunakan batang penabuh.

Pemusik gong dibantu pemain yang bermain bilah-bilah logam, serta bambu yang cara bermainnya dengan cara dipukul.

Menurut Wallace, alat musik itu menghasilkan nada-nada tinggi. selain alat musik tersebut, terdapat juga suling, dan rebab, semacam biola berdawai dua.

Untuk bermain gamelan, membutuhkan 24 pemain serta seorang pemimpin untuk mengatur tempo. Setiap pemusik memainkan bagiannya sehingga menghasilkan irama yang harmonis. Bagi Wallace, lagu yang dimainkan itu panjang dan rumit, karena membutuhkan ketepatan nada yang sangat tinggi.

Keesokan paginya, Wallace berencana untuk mengunjungi Wonosalem (Wonosalam). Ketika sedang menunggu pemandu kuda, dia melihat dua anak laki-laki dibawa keluar rumah.

Kedua anak itu memakai sarung dengan sekujur tubuhnya dilumuri semacam bedak kuning,dan dihiasi rangkaian bunga putih sebagai mahkota, serta kalung dan gelang.

Kedua anak itu dibawa oleh pemuka agama Islam ke bangku halaman, lalu acara sunatan pun berlangsung yang disaksikan oleh orang banyak.

Ketika pemandu kuda datang, Wallace menaiki kuda itu dan berangkat menyusuri hutan Wonosalam yang lebat.

Di tengah perjalanan, dia menemukan sebuah bangunan yang luasnya kira-kira 30 kaki dengan tinggi sekitar 20 kaki. Bangunan itu terletak di di daerah yang lebih tinggi dari sisi jalan, dan ditutupi oleh pohon raksasa yang dipenuhi oleh tumbuhan menjalar.

Pertanyaannya, apakah bangunan itu adalah Candi Arimbi yang berada di Kecamatan Bareng saat ini? Sekarang, simpulkan sendiri. Karena sebagaimana kata Kuntowijoyo, “Sejarah tidak (berhak) menghakimi, melainkan hanya melukiskan”.

*) Penulis adalah pembelajar di Ilmu Sejarah Unair, Surabaya