Dugaan Mark-Up Dana Desa di Jombang, Projo Lapor KPK
JOMBANG, FaktualNews.co – Dewan Pimpinan Cabang Projo (Pro-Jokowi) Kabupaten Jombang, melaporkan kasus dugaan penyelewengan Dana Desa (DD) di Jombang sejak 2017 sampai 2019 ke KPK, Kejaksaan Agung, Badan Pemeriksaan Keuangan.
Hal ini disampaikan Ketua Projo Jombang, Joko Fattah Rochim kepada FaktualNews.co. Menurutnya, Projo Jombang secara rinci melaporkan penyelewengan Dana Desa di lima desa saja. Kelima desa tersebut dilaporkan, karena korupsinya sudah sangat parah.
“Kita secara khusus membawa data lima desa di Jombang ke KPK. Tapi lima ini sebagai sampel saja. Untuk namanya menunggu kelanjutan dari KPK. Tidak kita buka saat ini. Saat ini Dana Desa tahap ketiga belum cair,” katanya, Selasa (17/3/2020).
Menurut Fattah, model dugaan penyelewengan keuangan Dana Desa di Jombang dilakukan secara bersama-sama oleh Pemerintah Kabupaten Jombang, kepala desa, ketua dan anggota BPD, dan aparatur pemerintah.
“Penyampaian laporan keuangan desa di Jombang banyak tidak sesuai fakta di lapangan. Terutama di Kecamatan Jombang, Ngoro, Mojoagung,” tegasnya.
Fattah mencontohkan, di Jombang ada kepala desa yang sudah ditetapkan tersangka oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Jombang terkait dugaan proyek fiktif pembangunan tembok penahan tanah senilai Rp 257.830.000. Dana ini sumbernya berasal dari Dana Desa tahun 2018.
BPD dan anggotanya tidak menjalani fungsinya sebagai pengawas setiap pelaksanaan pembangunan di desa. Ini terbukti, lanjutnya, ada rahasia-rahasian antara Ketua BPD dan anggota yang jujur, terkait dokumen RAB pekerjaan proyek.
“Dugaan mark-up dana ini sangat luar biasa, maka kita laporkan ke KPK. Karena ini dananya dari pusat. Seperti pembangunan tembok penahanan tanah pondasinya berdiri di atas pondasi lama tapi laporan baru,” jelasnya.
Selain itu, modus mark-up Dana Desa adalah pengelolaan campuran pasir, tidak memakai molen dan tidak sesuai RAB. Pembangunannya, juga tidak didahului musyawarah desa (Musdes).
Bukan hanya itu, kata Fattah, mark-up Dana Desa juga terjadi pada pembangunan jembatan yang memakai tanah warga, menumpang pada bangun lama dan tak ada musyawarah desa. Padahal dananya habis Rp 125 juta dari Dana Desa 2018. Selanjutnya, pembangunan dilanjut lagi denagn Dana Desa 2019 sebesar Rp 170 juta lebih.
“Pemborongnya pihak ketiga, prinsip swakelola dan berbasis sumber daya desa setempat tidak berlaku. Ini tidak cocok dengan UU No 6 tahun 2016, PP No 43 tahun 2014,” beber Fattah.
Dalam penunjukkan dan membentuk Tim Pengelolaan Kegiatan (TPK) tidak sesuai prosedur dan ketentuan diatur menteri terkait. Ini jelas melanggar aturan yang ada.
“Korupsi dana desa di Jombang ini masif dan terstruktur. Makanya, harus pusat yang turun tangan,” tandas Fattah