Mantan Ketua DPRD Tulungagung, Didakwa Terima Suap Rp 3,6 Miliar
SIDOARJO, FaktualNews.co – Supriyono, terdakwa kasus suap pengesahan APBD Tulungagung mulai menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Surabaya di Jalan Juanda Sidoarjo, Selasa (31/3/2020). Ketua DPRD Tulungagung priode 2014-2019 tersebut didakwa terima suap Rp 3,6 miliar.
Dalam surat dakwaan yang dibacakan Mufti Nur Irawan, JPU KPK mengurai bahwa terdakwa bersama-sama pimpinan DPRD Tulungagung priode 2014-2019 lainnya yaitu Imam Khambali, Adib Makarim dan Agus Bidiarto telah menerima suap untuk memperlancar Pengesahan APBD Tulungagung sejak 2015-2018.
Uang suap sebesar Rp 3,6 miliar tersebut diterima secara bertahap sejak 2014-2018 dari Bupati Tulungagung priode 2014-2019 Sahri Mulyo melalui Henry Setiawan, Kepala BPKAD yang juga Sekretaris Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) setempat.
Awal proses permintaan suap tersebut terjadi September 2014. Ketika itu pembahasan RAPBD Tulungagung Tahun Anggaran 2015 terjadi deadlock.
Terdakwa beserta tiga pimpimpinan lainnya melakukan pertemuan dengan Marwoto Bhirowo, Wakil Bupati dan perwakilan TAPD yang dihadiri Hendry Setiawan dan Sudigdo di salah satu hotel di Malang.
Pertemuan tersebut kembali ditindak lanjuti. Tiga pimpinan dewan lainnya kembali menemui Hendry dan Sudigno menyampaikan agar menyiapkan uang khsusus jatah banggar yang diberikan berbeda antara terdakwa, tiga pimpinan dewan dan 21 anggota banggar.
Begitupun dengan terdakwa juga meminta uang Rp 1 miliar kepada Hendry dan Indra Fauzi, Sekda yang juga Ketua TAPD agar pembahasan RAPBD Tahun 2015 lancar dan segera disahkan.
“Pihak eksekutif harus memberikan uang yang diistilahkan uang ketok palu,” ucap JPU KPK.
Permintaan terdakwa dan pimpinan dewan lainnya akhirnya disampaikan Hendry kepada Sahri Mulyo dan disetujui. Terdakwa menerima uang Rp 1 miliar secara bertahap.
Selain itu, terdakwa yang juga Ketua Tim Banggar juga menerima uang khusus ketok palu sebesar Rp 25 juta dan tiga pimpinan lainnya menerima uang Rp 20 juta. Sedangkan 21 anggota banggar menerima masing-masing Rp 5 juta. Uang jatah khusus ketok palu tersebut dari Sahri Mulyo diberikan kepada Sekwan Budi Fatahilah.
Walhasil, uang pemulus tersebut menghasilkan pengesahan APBD Tulungagung Tahun 2015 berjalan mulus dan tanpa gejolak. Sejak itulah, modus suap tersebut selalu diminta terdakwa dan pimpinan lainnya setiap melakukan pembahasan RAPBD Tulungagung.
Terdakwa selalu meminta jatah sebesar Rp 1 miliar setiap pembahasan RAPBD Tulungagung Tahun 2016, 2017 dan 2018. Namun, uang suap pembahasan RAPBD Tahun 2018 tersebut masih diterima terdakwa sebesar Rp 500 juta, sisanya masih Rp 500 juta masih dibawa Sahri Mulyo yang terjaring OTT KPK pada 2018 lalu.
Sementara, terkait uang ketok palu pembahasan RAPBD Tulungagung Tahun 2016, 2017 dan 2018 tetap diterimah utuh oleh terdakwa. Begitupun tiga pimpinan dewan dan 21 anggota banggar lainnya.
Atas perbuatan tersebut, terdakwa didakwa alternatif kesatu melanggar pasal 12 huruf a Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP, Jo pasal 64 ayat 1 KUHP
Atau dakwaan alternatif kedua yaitu pasal 11 Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP, Jo pasal 64 ayat 1 KUHP. Atas dakwaan tersebut terdakwa tidak mengajukan eksepsi.
“Kamu minta lanjut pemeriksaan saksi-saksi,” ucap penasehat hukum terdakwa Anwar Koto.
Sementara, JPU KPK meminta penundaan sidang selama dua pekan untuk menghadirkan saksi. Selain itu, penuntut umum juga meminta agar pemeriksaan beberapa saksi via teleconfrece karena kondisi keadaan.
“Kami persilahkan (via teleconfrence?. Sidang ditunda dua pekan,” ucap Ketua Majelis Hakim Hizbullah Idris sambil menutup sidang.