JOMBANG, FaktualNews.co – Bulan Ramadhan adalah bulan kesembilan dalam penanggalan Hijriyyah. Sepanjang bulan ini pemeluk agama Islam semakin intens melakukan serangkaian aktivitas keagamaan.
Berpuasa, salat Tarawih, menggelar peringatan turunnya AI-Qur’an, mencari malam Lailatul Qadar, memperbanyak membaca AI-Qur’an, dan kemudian mengakhirinya dengan membayar zakat fithrah dan merayakan hari kemenangan, `Idul Fithri.
Kewajiban berpuasa ini dijalankan kaum muslimin setiap hari dari adzan subuh hingga datangnya maghrib, sampai ‘Idul Fithri tiba.
Pada malam 1 Syawwal dikumandangkan takbir secara serentak, tanda kemenangan kaum muslimin melawan hawa nafsu selama satu bulan penuh. Lalu keesokan harinya, umat Islam melaksanakan salat sunnah ‘Idul Fithri.
Keutamaan Salat Tarawih
Salat Tarawih adalah salat yang dikerjakan di malam hari setelah salat Isya di bulan suci Ramadhan yang dapat dikerjakan secara sendiri-sendiri ataupun berjama’ah. Waktu pelaksanaannya adalah setelah pelaksanaan salat Isya sampai sebelum terbit fajar subuh.
Salat Tarawih hukumnya sunnah muakkadah, sunnah yang diutamakan.
Tidak hanya melakukan salat Tarawih, pada malam-malam selama bulan Ramadhan sangat dianjurkan untuk melakukan salat-salat sunnah lainnya, juga melakukan segala kebaikan.
Walaupun di bulan-bulan lainnya juga kita dianjurkan melakukan amal shalih, berbeda dengan bulan Ramadhan, karena selama bulan Ramadhan ini segala pahala kebaikan dilipatgandakan.
Keistimewaan Lailatul Qadar
Lailatul Qadar adalah malam yang hanya ada di bulan Ramadhan. Malam itu, dikatakan dalam Al Quran pada surah Al-Qadr, lebih baik daripada seribu bulan.
Saat pasti kapan malam itu tidak diketahui, namun, menurut beberapa riwayat, malam itu jatuh pada 10 malam terakhir pada bulan Ramadhan, tepatnya pada salah satu malam ganjil, yakni malam ke21, 23, 25, 27, atau ke 29.
Sebagian muslim berusaha tidak melewatkan malam itu dengan menjaga diri tetap terjaga pada malammalam terakhir Ramadhan sembari beribadah sepanjang malam.
Gambaran tentang keistimewaan malam itu dapat dijumpai pada surah Al-Qadr, surah ke 97, dalam Al-Qur’an, yang antara lain menerangkan bahwa pada malam itu diturunkan AI-Qur’an dan para malaikat dan Jibril turun ke dunia untuk mengatur segala urusan.
Allah Ta’ala berfirman, “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasanpenjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. AI-Baqarah: 185).
Ibnu Katsir Rahimahullah tatkala menafsirkan ayat itu mengatakan, “(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memuji bulan puasa (yaitu bulan suci Ramadhan) dari bulan-bulan lainnya.
Allah memuji demikian karena bulan ini telah Allah pilih sebagai bulan diturunkannya AI-Qur’an dari bulan-buIan lainnya. Sebagaimana pula pada buIan Ramadhan ini Allah telah menurunkan kitab Ilahiyah lainnya kepada para nabi ‘alaihimus salam.”
Lalu bagaimana kita menyikapi pencarian malam Lailatul Qadar tersebut? Apakah harus menyepi ke dalam gua, atau berkhalwat di puncak-puncak gunung?
Kita lihat bagaimana Rasulullah memberikan teladan ketika mengisi bulan suci Ramadhan, yang termaktub dalam hadist berikut, “Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW tatkala masuk malam kesepuluh (dari bulan Ramadhan) beliau bangun di waktu malam dan membangunkan istri beliau serta mengencangkan kainnya.” (HR Al-Bukhari, Muslim). Maksud “mengencangkan kainnya” adalah memperbanyak ibadah.
Bangunlah di kala keheningan malam, bermunajat ke hadirat Ilahi seraya meratapi dosa-dosa yang telah lalu,sambil berdzikir, membaca Al-Qur’an, dan ber-i’tikaf di masjid. Insya Allah, dengan segala kerendahan hati kita meminta dan bermunajat kepada Allah, apa yang kita mohonkan dikabulkan.
Tetapi terkadang tidak sedikit di antara kita yang awam terlalu disibukkan dengan mencari-cari rahasia apa yang terkandung pada malam Lailatul Qadar, seperti sibuk mencari dan menyelicliki keberadaannya, sibuk mengamati tanda-tandanya, sehingga meninggalkan ibadah. Betapa banyak orang yang lupa membaca AI-Qur’an, dzikir, dan mencari ilmu, karena terlalu sibuk mengamati tanda-tanda Lailatul Oadar.
Menjelang matahari terbit, misalnya, terkadang kita dapati ada orang yang terlalu sibuk memperhatikan dan mengamati matahari, untuk mencari tahu apakah sinar matahari pagi itu terik ataukah tidak. Salah satu tanda Lailatul Qadar, sinar matahari tidak terik tapi tidak juga redup.
Mestinya mereka ini memperhatikan pesan Rasulullah SAW, “Semoga (dengan dirahasiakannya waktu Lailatul Qadar itu) menjadi lebih baik bagi kalian.” (HR Al-Bukhari).
Menurut para ulama, hikmah dirahasiakannya waktu Lailatul Qadar, agar manusia bersungguh-sungguh dan memperbanyak amal pada seluruh malam pada bulan Ramadhan, dengan harapan ada yang bertepatan dengan Lailatul Qadar.
Dengan tidak ditentukan kapan waktu dan tanggalnya, kita akan dituntut untuk selalu beribadah karena Allah, dan bukan hanya menjaganya di satu tanggal tertentu yang sudah kita tahu kapan malam Lailatul Qadar itu.
Berbeda bila telah ditentukan kapan tanggal jatuhnya malam Lailatul Qadar, kesungguhan dalam beramal hanya akan ada pada satu malam itu. Akibatnya, kesempatan beribadah pada malam-malam lainnya akan dilewatkan begitu saja, atau setidaknya amal ibadahnya menurun.
Bahkan sebagian ulama mengambil satu faidah dari sabda Nabi SAW di atas, yaitu sebaiknya orang yang mengetahui Lailatul Qadar itu menyembunyikannya, karena Allah SWT telah menakdirkan pada nabi-Nya SAW untuk tidak memberitakannya. Dan semua kebaikan tentu ada pada sesuatu yang telah ditaqdirkan bagi Nabi SAW, sehingga kita disunnahkan untuk mengikutinya.
Dibukanya Pintu Surga
Rasulullah SAW bersabda, “Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.”
Berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Di bulan suci Ramadhan, orang lebih sibuk melakukan kebaikan daripada melakukan maksiat. Inilah sebab mereka dapat memasuki surga.
Sedangkan tertutupnya pintu neraka dan terbelenggunya setan, inilah yang mengakibatkan seseorang cenderung menjauhi maksiat ketika itu.
Walaupun banyak manusia yang melakukan maksiat dalam kesehariannya, terlihat perubahan dan perbedaan yang jelas bila di bulan Ramadhan. Mereka lebih banyak melakukan amal shalih, meninggalkan maksiat. Kita berdoa, semoga saudara-saudara kita akan terus melakukan ibadah dan perbuatan amal shalih, menjauhi larangan Allah, walau bukan di bulan Ramadhan. Insya Allah.
Dikabulkannya Doa
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari di bulan Ramadhan, dan setiap muslim apabila memanjatkan doa pasti dikabulkan.”
Nabi juga bersabda, “Tiga orang yang doanya tidak tertolak adalah orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang dizhalimi.”
An-Nawawi Rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan bahwa disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk berdoa dari awal ia berpuasa hingga akhirnya.”
la juga mengatakan, “Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk berdoa demi keperluan akhirat dan dunianya, juga pada perkara yang ia sukai, serta jangan lupa pula mendoakan kaum muslimin lainnya.”
Berniat Puasa di Malam Hari
Diwajibkan untuk umat Islam yang akan berpuasa wajib berniat akan menjalankan ibadah puasa pada malam sebelumnya, ketika ia akan berpuasa pada esok harinya. Nabi bersabda, “Barang siapa tidak berniat berpuasa pada malam harinya, tidak sah puasa yang ia lakukan di esok harinya.” (HR Al-Baihaqi dalam Sunannya).
Diriwayatkan pula oleh Imam Malik dalam AI-Muwaththa nya dengan sanad Nafi’ dari Abdullah bin Umar, `Tidak dianggap puasa kecuali yang berniat puasa sebelum terbitnya fajar.” Imam Malik meriwayatkan pula dari Ibnu Syihab Az-Zuhri dari Aisyah dan Hafshah, yang keduanya adalah istri Nabi, yang menegaskan sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Umar.
Maka bemiat puasa di bulan Ramadhan adalah wajib, dan niat itu haruslah dikuatkan di hati pada malam harinya sebelum terbit fajar. Sehingga tidak sah puasa orang yang belum sempat berniat di malam harinya.
Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah menegaskan dalam AI-Majmu’ Syarh AlMuhadzdzab jilid 6 halaman 305, “Dan madzhab kami menyatakan bahwa tidak sah puasa kecuali dengan niat, baik puasa wajib Ramadhan maupun puasa wajib yang lainnya, maupun puasa sunnah. Dan telah berpendapat demikian segenap ulama kecuali Atha’ dan Mujahid dan Zufar.”
AI-Imam Al-Mawardi Rahimahullah dalam Al Hawi Al Kabir jilid 3 halaman 243 menegaskan, “Imam Syafi’i dan segenap ulama ahli fiqih telah berpendapat tentang wajibnya niat puasa Ramadhan.” Kemudian ia menambahkan, “Karena puasa itu adalah ibadah. Ada yang wajib dan ada yang sunnah. Maka semestinyalah niat itu sebagai syarat sahnya amalan tersebut sebagaimana salat juga disyaratkan dengan niat untuknya.”
AI-Imam Abul Qasim Abdul Karim bin Muhammad bin Abdul Karim Ar-Rafi’i AlQazwaini Asy-Syafi’i dalam Asy-Syarhul Kabirjilid 3 halaman 183 menyebutkan, “Niat itu wajib dalam menjalankan puasa, dan tidak dianggap sah satu amalan kecuali dengan berniat. Dan tempatnya niat itu adalah hati, dan tidaklah disyaratkan dalam berniat itu dengan melafadzkannya untuk berpuasa, dan ini adalah pendapat yang tidak berselisih padanya para ulama.”
Sahur dan berbuka
Sahur adalah makan dan minum yang disunnahkan terhadap orang yang akan menunaikan puasa, dan lebih utama amalan sahur itu adalah diakhirkan sampai menjelang terbitnya fajar.
Batas waktu waktu sahur yaitu terbitnya fajar di ufuk timur dalam bentuk garis putih kemerah-merahan membentang secara horizontal dari utara ke selatan. Inilah yang dinamakan fajar shadiq.
Adapun sejenak sebelum itu, ada pula sinar putih kemerah-merahan di ufuk timur, tetapi sinarnya dari bawah membentang secara vertikal ke atas, yang demikian ini dinamakan fajar kadzib, dan tidak dianggap sebagai batas waktu makan sahur, sehingga orang yang berpuasa tetap boleh makan sahur sampai terbitnya fajar shadiq.
Firman Allah, “Dan makanlah kalian dan minumlah hingga tampak bagi kalian benang putih dari benang hitam dari sinar fajar.” (QS AI-Baqarah: 187).
Dalam kaitannya dengan ayat ini, AlImam AI-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya pada hadits ke-1 .916 sebuah pengalaman yang diceritakan oleh Adi bin Hatim RA sebagai berikut,
“Ketika turun ayat yang mengatakan’Dan makanminumlah sehingga menjadi jelas bagi kalian benang berwarna dari benang berwarna hitam’, aku menyiapkan tali berwarna hitam dan tali berwarna putih dan aku letakkan keduanya di bawah bantalku. Dan setiap saat di kegelapan malam aku melihat kepada keduanya untuk melihat batas waktu sahur.
Sehingga, ketika di pagi hari aku bertemu Rasulullah SAW, aku ceritakan kepada beliau apa yang aku lakukan. Maka beliau pun bersabda, menjelaskan kepadaku, `Yang dimaksud di ayat itu sesungguhnya hanyalah hitamnya malam dan putihnya siang’.”
Demikianlah keterangan dari ayat AlQur’an yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW. Fajar itu mulai terbitnya di ufuk timur adalah dalam bentuk garis tipis seperti benang berwarna putih yang tampak jelas di tengah-tengah warna hitam kelamnya malam. Dan garis itu bertambah tebal terus-menerus. Kemudian Rasulullah SAW menjelaskan lebih lanjut,
“Fajar itu ada dua macam, yaitu fajar jenis pertama bila terbit, maka tidak diharamkan padanya makan dan minum dan tidak dihalalkan salat Subuh. Dan adapun fajar jenis kedua bila ia terbit, diharamkan makan dan minum dan dihalalkan salat Subuh.” (HR Al-Baihaqi dalam As Sunanul Kubra jilid 4 halaman 216 dari Ibnu Abbas RA). Fajar jenis pertama dinamakan fajar kadzib dan fajar jenis kedua dinamakan fajar shadiq.
AI-Imam At-Tirmidzi telah meriwayatkan dalam Sunannya sebuah penjelasan dari Nabi Muhammad SAW tentang fajar kadzib dan fajar shadiq dalam kaitannya dengan bersahur. Dari Thalq bin Ali RA, ia meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Makan dan minumlah kalian (dalam sahur kalian). Dan janganlah menghalangi kalian untuk makan dan minum sahur dengan terbitnya sinar di ufuk timur yang membentang ke atas (yakni fajar kadzib), dan teruslah kalian makan dan minum sehingga terbit di hadapan kalian di ufuk timur sinar yang membentang horizontal berwarna merah (yakni fajar shadiq).”
Al-Imam At-Tirmidzi menyatakan, “Hadits ini juga diriwayatkan oleh Adi bin Hatim, Abu Dzar, dan Samurah bin Jundub.” Kemudian AI-Imam At-Tirmidzi menambahkan,
“Hadits Thalq bin Ali adalah hadits yang hasan gharib dari sanad ini. Dan pengamalan hadits ini menurut para ulama adalah bahwa tidak haram bagi orang yang akan puasa untuk makan minum di waktu sahur sehingga terbitnya fajar yang berwarna merah membentang secara horizontal di ufuk timur.”
Adapun hikmah disunnahkannya sahur dan dianjurkannya adalah untuk menyelisihi Ahlul Kitab, yakni Yahudi dan Nashara, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim bin Hajjaj AI-Qusyairi An-Nisaburi dalam Shahihnya dari ‘Amr bin Al-‘Ash RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahlul Kitab adalah makan sahur.”
Hikmah makan sahur juga karena adanya barakah yang Allah berikan padanya.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam AI-Bukhari dalam Shahihnya dari Anas bin Malik RA bahwa Rasulullah bersabda, “Bersahurlah kalian, karena dalam sahur itu ada barakah.”
Sunnah Ramadhan
Puasa wajib bulan Ramadhan yang dijalani umat muslim di seluruh dunia itu bisa menjadi benteng pertahanan diri. Karena tujuan dari puasa itu tak lain adalah demi meningkatkan ketaqwaan dan keimanan. Di samping itu, di bulan Ramadhan Allah juga berjanji akan memberikan pahala yang besar kepada siapa saja yang berbuat kebajikan dan kebaikan.
Wajar jika Ramadhan adalah peluang emas bagi setiap muslim untuk menambah “tabungan” pahala di sisi Allah Ta’ala.
Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dan Al-Baihaqi dijelaskan bahwa amalan-amalan sunnah pada bulan suci Ramadhan bernilai amalan wajib, sedang amalan wajib senilai 70 amalan wajib di luar bulan Ramadhan.
Maka, bulan Ramadhan adalah peluang terbaik untuk berbuat kebaikan. Sekecil apa pun kebaikan yang ditebarkan, itu bernilai ibadah.
Ada beberapa amalan yang disunnahkan pada bulan penuh maghfirah ini, selain amalan-amalan sunnah yang telah disebut di atas. Di antaranya: