JOMBANG, FaktualNews.co-Pengasuh Pondok Pesantren Queen Darul Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang, KH Zahrul Azhar Asad (Gus Hans) memaknai Ramadan 1441 H di tengah pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) sebagai momen runtuhnya simbol-simbol dalam beragama.
Kepada FaktualNews.co, Gus Hans menjelaskan simbol-simbol memang terkadang menjadi penting terutama bagi mereka yang masih belum sampai pada tingkatan esensi.
Simbol memang hal yang paling kasat mata untuk mewakili hal-hal yang tidak bisa dijelaskan kata kata.
Sehingga mudah sekali digunakan oleh pihak-pihak yang justru tidak peduli dengan simbol (bahkan esensinya) untuk memainkan perasaan dan emosi bagi para pemuja simbol.
“Berkat propaganda simbolik ini, data menunjukkan konsumtivisme masyarakat justru tinggi di saat Ramadan. Padahal bulan ini diajarkan secara esensi harus menahan diri,” katanya, Sabtu (25/4/2020).
Menurut Gus Hans, setiap agama memiliki simbol yang diciptakan sendiri oleh masyarakat. Semisal setiap desember, saat datang ke mall-mall maka disuguhii salju-salju dan pohon cemara artifisial.
Begitu juga saat ramadan, masyarakat disuguhi ornamen-ornamen beduk dan ketupat. Suasana seakan mendadak menjadi religius.
Padahal pada hakikatnya, pengelola mall mengajak untuk belanja sebanyak-banyaknya.
Ini membuktikan ‘simbol’ bisa dijadikan bahan mengeruk keuntungan bagi para bisnisman. Runyamnya, belum tentu para bisnisman tersebut memilik ikatan batin dengan simbol-imbol yang ditampilkan.
Selama Covid-19, simbol dalam beragama berkurang drastis karena masyarakat diminta di rumah. Agar Covid-19 tidak menyebar kemana-mana.
“Ramadan kali ini seakan memberi pelajaran kepada kita semua agar kembali kepada esensi, bukan pada simbol-simbol yang gegap gempita,” tambahnya.
Dalam pandangan Gus Hans, beruntung orang yang memilik rasa suka cita ketika hadirnya ramadan tanpa dipancing simbol.
Sebelumnya banyak mental yang mengharapkan datangnya Ramadan karena bisa buka stand dan mengkapitalisasi masjid.
Covid-19 ini memberi kesempatan kepada umat Islam agar kembali kepada esensi dalam berpuasa. Bukan hanya menahan lapar dan dahaga tetapi juga melatih diri agar mampu menjaga sikap dan ucapan.
“Tidak harus ada petasan, kembang api, ada bukber dan ngabuburit untuk menunjukan bahwa kita sudah menjalankan puasa,” ujarnya.
Hal lain, tidak perlu juga ada takbir keliling kota untuk menujukkan sedang memuliakan Allah.
Esensi puasa yaitu membangun rasa empati kepada sesama. Supaya mengetahui rasanya lapar bagi kaum papa. Dengan begitu bisa meningkatkan kesalehan sosial.
Esensi beragama ketika seseorang mampu memanusiakan sesama dan ini juga cara memuliakan Allah SWT.
Allah memberi tahu siapa sejatinya pendusta agama. Yaitu mereka yang menghardik anak yatim dan orang yang tidak memberi makan orang orang miskin.
“Mari di bulan yang penuh rahmat ini, tengok kanan-kiri dan siapa tahu ada yang membutuhkan uluran tangan. Jika sudah peduli maka sejatinya itulah ruh dari ibadah puasa,” tandas Gus Hans.