PROBOLINGGO, FaktualNews.co – Tak hanya pemilik waralaba (super atau minimarket) yang kebingungan dengan Surat Edaran (SE) Wali Kota Probolinggo. PKL yang tergabung dalam Asosiasi Pedagang Kaki Lima (APKL) Kota Probolinggo, juga dibuat pusing.
Karenanya, Selasa (28/4/2020) siang, mereka mendatangi Dinas Koperasi Usaha Mikro Perdagangan dan Perindustrian (DKUPP) setempat. Tujuannya, meminta kejelasan SE Wali kota tertanggal 21 April 2020, tentang imbauan menyambut dan menghormati bulan suci Ramadan, dalam situasi pandemi Covid-19.
Namun, para PKL gagal menemui kepala DKUPP Gatot Wahyudi, karena yang bersangkutan menghadiri pelantikan pejabat Pemkot Probolinggo. Belasan PKL tersebut hanya menyerahkan surat yang isinya mempertanyakan SE dan memberitahukan kondisi pedagang di lapangan. “Kami ke sini mau meminta penjelasan dan keadilan,” ujar Marsam, ketua Asosiasi PKL.
Sebab, selama ini PKL selalu salah, dianggap biang dari keramaian. Tempat jualan diobrak petugas, pembeli diminta pulang. Dampaknya, pembeli sepi dan jualannya tidak laku sehingga harus dibuang. “Loh, kalau kami terus diperlakukan seperti itu, bagaimana nasib keluarga kami,” katanya.
Padahal, PKL sudah menerapkan protokol kesehatan. Di pintu masuk tempat berjualan disediakan wastafel cuci tangan. Pembeli dan penjual sama-sama memakai masker, tidak boleh makan di tempat dan harus dibawa pulang.
“Di tempat berjualan kami, tidak ada tempat duduknya. Jadi belinya dibungkus. Kami juga jaga jarak,” ujarnya.
Yang membuat PKL prihatin, lanjut Marsam, hampir setiap malam pusat PKL yang ada di bundaran Gladak Serang, dijaga petugas gabungan. Akibatnya, warga takut membeli sehingga penjual hanya bias clingak-clinguk tidak ada pembeli. “Apa ada yang salah dengan kami. Kami jualan sudah sesuai SE. Buka jam 4 sore,” tandasnya.
Jika memang Pemkot melarang atau tidak menghendaki ada kerumunan, sebaiknya tidak hanya jualan PKL saja yang dijaga dan diobrak. Pusat perbelanjaan, super atau minimarket (pasar modern) dan pasar rakyat (tradisional), seharusnya diperlakukan sama. Bahkan kerumunan akibat aktivitas warga yang terjadi di siang dan malam hari, juga harus dibubarkan. “Jangan tebang pilih. Kami minta keadilan,” lanjutnya.
Bahkan, petugas juga berkumpul atau berkerumun saat menjalankan tugasnya. Marsam heran, mangapa petugas bersikap seperti itu. Padahal, lima warga yang terkonfirmasi positif Covid-19 bukan karena membeli dan berkumpul di tempat jualan PKL. Tetapi mereka tertular dari daerah lain. “Sikap ini kan berlebihan. Buktinya, warga yang positif setelah dari luar kota,” sambungnya.
Marsam berharap, Pemkot tidak berlebihan dalam upaya mencegah penularan dan penyebaran virus corona. Ia beserta pengurus Asosiasi PKL yang lain meminta DPRD untuk melakukan hearing antara PKL dengan OPD terkait.
“Biar kami tahu maksud dari SE. Kami mau duduk bareng untuk mencarikan solusi terbaiknya,” pungkas Marsam.
Terpisah, Kasi Operasi dan Ketertiban pada Dinas Satpol PP Hendra Kusuma mengatakan, apa yang dilakukan untuk mencegah penularan dan penyebarab virus Corona. Pihaknya tidak bermaksud mengusir pembeli, tetapi hanya menertibkan.
“Yang beli monggo. Setelah membeli langsung pulang jangan bergerombol. Kalau pembeli dan penjual menerapkan protokol kesehatan, ya tidak masalah,” ujarnya.
Saat ditanya mengapa konsentrasi penjagaan dan operasi di bundaran Gladag Serang? Hendra mengatakan, karena kerumunan warga atau konsentrasi massa di sana, bukan untuk membeli, tetapi jagongan dan cangkrukan.
“Mereka kan cangkrukan di trortoar. Ya, harus kami bubarkan. Kalau di pusat perbelanjaan atau toko swalayan, mereka kan pembeli. Setelah membeli, pulang. Tidak seperti di Gladag Serang, cangkrukan yang tidak ada gunanya,” katanya.