Oleh: Ahmad Sholikhin Ruslie *)
PRESIDEN telah menerbitkan Perpres Nomor 64/2020 yg ditandatangi pada 5 Mei 2020. Perpres ini merupakan perubahan kedua terhadap Perpres 82/2018 Tentang Jaminan kesehatan.
Inti dari Perpres baru tersebut adalah kenaikan iuran BPJS, meskipun dengan mengunakan skema yang berbeda dengan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).
Banyak argumentasi yang disampaikan bagi yang mendukung lahirnya Perpres baru ini.
Namun kami melihat dalam perspektif hukum, terbitnya Perpres 64/2020 ini merupakan potret buram penghormatan dan ketundukan terhadap putusan lembaga hukum tertinggi MA, yang bersifat final dan mengikat.
Putusan MA No 7/P/HUM/2020 terhadap pengujian Perpres 75/ 2019 itu pada pokoknya membatalkan kenaikan iuran BPJS.
Jika saat ini Presiden menerbitkan Perpres baru yang substansinya bertentangan dengan Putusan MA tersebut (tetap menaikkan iuran BPJS), sama saja Presiden telah ‘mengelabuhi putusan MA’ dan dapat dikatakan telah “mengabaikan hukum” yg telah diputuskan pengadilan.
Atau dalam istilah hukum disebut disobedience of law, yang dapat dimaknai tidak adanya kepedulian terhadap hukum yang adil.
Harusnya Presiden mentaati dan melaksanakan putusan MA tersebut (tidak menaikkan BPJS). Sebab putusan MA menurut Pasal 31 UU Kekuasaan Kehakiman adalah _incracht_/mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Apapun alasan presiden menaikkan iuran dengan melawan keputusan peradilan merupakan preseden yang tidak baik bagi penegakan hukum dan eksistensi negara hukum kita.
Secara substansi, setelah putusan MA yang telah incracht, tidak boleh lagi ada kenaikan. Kalau toh dengan terpaksa menaikkan level aturannya harusnya lebih tinggi yaitu dengan cara mengubah undang-undang terlebih dahulu, bukan dengan cara by pass begitu.
Judicial review di MA adalah menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dengan undang-undang.
Artinya jika peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang secara substansi dinyatakan bertentangan dengan undang-undang, dan yang dinyatakan bertentangan dengan undang-undang tersebut perihal kenaikan iuran.
Maka dengan membuat Perpres seribu kalipun jika substansinya menaikkan iuran tetap saja bertentangan dengan undang-undang.
Bisa saja Presiden beralasan nominal kenaikan yg tertera pada Perpres Nomor 64 Tahun 2020 berbeda dengan Perpres yg dibatalkan oleh MA.
Atau bisa saja beralasan yang diberlakukan bukan materi muatan yang telah dibatalkan MA akan tetapi ketentuan baru yang dimasukkan pada peraturan yang baru pula.
Jika argumentasi ini yang dikedepankan, maka sama saja telah melakukan ‘penyelundupan hukum’.
Perlu diketahui peraturan perundang-undang bukan hanya persoalan teks, juga bukan permainan kata-kata. Tetapi persoalan substansi sebuah teks. Yang di dalammnya ada makna filosofis dan sosiologis selain makna yuridis.
Hukum tidak akan mencapai tujuannya sebagai sarana menggapai keadilan dan kesejahteraan bagi masayarakat sepanjang hanya dimaknai sebagai sebuah teks dan permainan kata-kata.
Memahami filosofi keputusan MA sebenarnya bukan persoalan nilai dalam perhitungan rupiah, tapi persoalan kenaikan tersebut dinyatakan bertentangan dengan undang-undang.
Artinya sekalipun berulang kali presiden membuat perpres baru, sepanjang substansinya ‘kenaikan’, maka tetap saja bertentangan dengan Putusan MA yang telah incracht, dan telah mencederai rasa keadilan masyarakat.
*)Pengajar Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Untag Surabaya