FaktualNews.co

Bukan Mitos, Ternyata Bulan Pernah ‘Hilang’ dari Langit

Sains     Dibaca : 1371 kali Penulis:
Bukan Mitos, Ternyata Bulan Pernah ‘Hilang’ dari Langit
FaktualNews.co/Istimewa
Ilustrasi.

SURABAYA, FaktualNews.co – Bulan yang setiap malam beredar ternyata pernah ‘hilang’. Bagaimana bisa ? National Geographic Indonesia melansir sebuah ulasan dari catatan penulis Inggris abad pertengahan, 1110 digambarkan sebagai ‘tahun bencana’.

Hujan deras merusak panen warga dan kelaparan mengintai. Tidak hanya itu, pada suatu malam di bulan Mei, Bulan tiba-tiba menghilang dari langit.

“Pada malam kelima di bulan Mei, Bulan yang tadinya bersinar terang di malam hari, secara perlahan kehilangan cahayanya,” juru tulis tak bernama mencatatnya pada manuskrip Anglo-Saxon yang disebut Peterborough Chronicle.

“Ketika malam semakin larut, cahayanya benar-benar padam. Tidak ada sinar, orb, atau apa pun yang terlihat dari Bulan,” tambahnya.

Awan bukan masalahnya. Jika memang demikian, juru tulis tidak akan mendeskripsikan betapa terangnya kerlap-kerlip bintang, sementara Bulan memudar dari pandangan. Dan jika Bulan hanya dikalahkan oleh bayangan Bumi, yang terjadi adalah fenomena “Blood Moon”, bukan munculnya titik gelap kosong yang mengerikan di langit.

Lalu, apa yang membuat Bulan menghilang dari langit pada tahun 1110 yang suram? Menurut sebuah studi yang dipublikasikan pada Scientific Reports, penjelasannya berasal dari gunung berapi.

“Fenomena atmosfer spektakuler yang berkaitan dengan aerosol vulkanik dalam jumlah tinggi telah menarik perhatian para penulis sejak zaman dahulu,” tulis para peneliti.

“Evaluasi cermat pada catatan inti es menunjukkan adanya letusan gunung berapi yang terjadi di Eropa atau Asia antara tahun 1108 dan 1110,” ungkap mereka.

Peristiwa gunung berapi—yang disebut para peneliti sebagai “klaster letusan yang terlupakan” karena jarang didokumentasikan para sejarawan pada saat itu—mungkin telah melepaskan awan abu yang menjulang tinggi ke seluruh dunia selama bertahun-tahun.

Lapisan aerosol vulkanik inilah yang diduga telah ‘menghapus’ Bulan dari pandangan kita, seperti yang dideskripsikan penulis Peterborough Chronicle.

Tidak hanya itu, rangkaian erupsi besar tersebut juga mengganggu iklim global. Menyebabkan serta memperburuk cuaca dingin dan basah yang membuat hidup sangat menyedihkan pada 1110.

 

Memburu ‘yang terlupakan’

Untuk mendapatkan bukti dari ‘letusan yang terlupakan’, para peneliti mengobservasi inti es Greenland dan Antartika—es kuno yang dapat mengungkapkan seperti apa iklim global di masa itu serta jenis partikel apa yang mengambang di atmosfer.

Tim melihat adanya peningkatan aerosol sulfat (komponen debu vulkanik) pada kedua inti antara tahun 1108 dan 1110. Menunjukkan bahwa stratosfer dipenuhi asap letusan gunung berapi.

Lebih lanjut, mereka menemukan aktivitas vulkanik pada cincin pohon yang berasal dari periode yang sama. Cincin pohon yang mengalami perubahan ketebalan sebagai respons dari pola iklim, mengungkapkan bahwa pada 1109, suhu sangat dingin dan basah di Eropa. Iklim tersebut sangat anomali jika dibandingkan dengan beberapa letusan gunung berapi yang tercatat dalam sejarah.

Para peneliti kemudian melacak 13 narasi tentang cuaca buruk, gagal panen dan kelaparan pada masa itu—mendukung teori bahwa serangkaian letusan gunung berapi benar-benar telah menghantam iklim Eropa.

Dalam sebuah catatan harian yang ditulis oleh pejabat Jepang, diketahui bahwa Gunung Asama mengalami serangkaian erupsi dari Agustus-Oktober 1108. Ia menggambarkan letusan dengan semburan api ke langit. Keterangan ini masuk akal mengingat terjadi lonjakan sulfat di inti es Greenland serta pencemaran aerosol di langit yang kemudian menutupi Bulan.

Peneliti menambahkan, ada erupsi lainnya di belahan bumi selatan pada 1107, kemungkinan juga berkontribusi pada sulfat di inti es Antartika.

Meski hasil studi ini kebanyakan bergantung pada studi tidak langsung, tapi menurut para peneliti, ini merupakan hipotesis terbaik mengenai kasus bulan yang menghilang.

 

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
Muhammad Sholeh
Sumber
National Geographic Indonesia