JOMBANG, FaktualNews.co – Dokter Nanik Kusyani (42) asal Desa Jatipelem, Kecamatan Diwek, Jombang begitu semangat mengikuti Pelatihan dan Pembekalan Terintegrasi Calon Petugas Kloter yang menyertai jamaah haji embarkasi Surabaya tahub 1441 H/ 2020 di Surabaya.
Bayangan indah baitulallah membuat pelatihan yang ia ikuti sejak tanggal 9-18 Maret 2020, terasa ringan dan menggairahkan. Ia berangkat beberapa bulan lagi ke tanah suci.
Di dalam ruangan ber-AC tersebut ada 415 peserta pelatihan berasal dari Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dan dibagi 10 kelompok.
Tapi siapa tahu ternyata pelatihan ini membuat ia terpapar Covid 19. Padahal belum ada obat yang tepat untuk virus yang ditemukan pertama kali di Wuhan ini.
“Sebagai dokter, saya tahu ini kan obatnya belum ada, satu satunya yang bisa menyembuhkan adalah Allah. Kalau saya khataman quran, minimal satu kali hingga sembuh. Teman saya juga kayak begitu,” tuturnya kepada Kelompok Faktual Media, Minggu (7/6/2020).
Hal lain yang dilakukan Nanik yaitu terus berpikiran positif terhadap Covid 19. Karena baginya, menempel atau tidaknya Covid 19 dalam tubuh manusia itu Allah yang tentukan. Tugas manusia adalah mencegahnya.
Semisal physical distancing, pakai masker, cuci tangan pakai sabun, jaga imunitas tubuh, akan teratur, bergizi, jangan stres.
Dari pengalaman tersebut, Nanik berpikiran bahwa pasien Covid 19 memang diharuskan terus meminta kesembuhan pada yang Maha Kuasa.
Obat anti virus yang diberikan tim dokter juga tidak khusus membunuh corona. Begitu juga obat yang lain. Berdoa jalan terbaik.
“Last but not least berdoa dan banyak sedekah juga, untuk tolak bala serta kesembuhan penyakit,” tambahnya.
Dokter Nanik menjadi rujukan banyak masyarakat dalam hal kesehatan, karena ia sehari-hari bekerja di Puskesmas Jatipalem. Tentu menjadi dilema saat dia mengalami gejala Covid-19.
“Saya saat itu sehat saja, dilema antara milih tes Covid-19 maka akan ramai atau tetap seperti biasa. Praktik tutup aja masyarakat mulai heboh,” ujar Nanik.
Nanik menguraikan, saat pulang dari Surabaya pada 18 Maret 2020 tubuhnya masih aman dan sehat saja. Hal aneh mulai muncul pada tanggal 19 Maret 2020, saat bangun tidur tubuhnya tidak enak. Pada waktu itu belum terlalu ramai masalah Covid-19 di Jombang. Dia pun tak terlalu ambil pusing.
Pada 20 Maret 2020 seorang ulama dari Pare, Kediri yang satu kelompok dengan Nanik dirawat karena sakit mag. Namun pada 24 Maret 2020 meninggal dunia dan ditetapkan sebagai PDP yang kemudian hasil swabnya positif.
Selain itu, ia juga mendapat informasi bahwa salah satu narasumber saat pelatihan diketahui confirmed positif Covid-19, beberapa hari setelah mengisi kelas.
Dari situ ia mulai gelisah. Ia seperti Dora sedang berjalan di hutan belantara dengan bekal peta tidak jelas. Seringkali phone a friend untuk memperjelas mau jalan ke mana biar bareng-bareng selamat sampai tujuan. Teori-teori dan pedoman yang berganti-ganti juga terus ia ikuti.
“Sama sekali tidak terpikir kalo ini tanda dari Covid-19. Saat itu Surabaya belum red zone, jadi belum ada instruksi isolasi mandiri.
Pascawafatnya ulama di Kediri itu, Nanik meminta ke pimpinan agar dizinkan untuk isolasi mandiri selama 14 hari. Ia juga periksa darah dan rontgen, karena saat itu rapid test belum ada.
Berharap hari ke-14 segera usai dan semua kembali normal. Karena dalam masa isolasi badannya sehat saja. Nanik hanya mengeluhkan adanya lendir di tenggorokan, tidak bisa bersih dan mulut terasa pahit.
Selama isolasi, kamarnya sendiri, alat makan sendiri, lihat anak dan suami dari jauh paling dekat 1 meter. Untuk ke dapur saja harus dia harus menunggu dan memastikan di sana tidak ada orang.
“Saya mulai berpikir untuk periksa swab. Tapi tidak mudah karena kalau sehat tidak masuk kriteria swab. Mendaftar swab mandiri juga sudah tapi ternyata harus waiting list dulu, entah kapan,” ungkap Nanik.
Nanik semakin galau saat tanggal 27 Maret 2020 salah satu temannya mengantongi hasil swab positif Covid-19. Ia pun dipanggil untuk rapid tes hari itu. Saat itu hasil rapid test non reaktif atau negatif.
Ia sempat bernafas lega dan bersyukur dan bergembira luar biasa. Sayangnya itu hanya semu, karena pada awal April kembali ada berita duka, salah satu peserta pelatihan meninggal dunia. Nanik pernah melakukan kontak selama 2 hari dengannya dari pagi sampai malam.
“Saya ikut tes swab di Surabaya dengan biaya sendiri. Tanggal 3 April 2020 tes swab. Tanggal 6 April keluar, hasilnya positif. Lapor ke atasan. Pemerintah belum siap fasilitas saat itu. Dikasih pilihan pulang atau tetap di RSUD. Lalu pulang dan isolasi mandiri di rumah,” bebernya.
Tak cukup di sana saja, pada tanggal 8 April 2020 tes swab resmi dari pemerintah dan hasilnya keluar empat hari kemudian dengan hasil positif. Selanjutnya ia disebut pasien positif ke-4.
Dugaannya benar, ada masyarakat yang takut padanya setelah kabar positif menyebar, tapi banyak juga yang bantu dan peduli. Kebutuhan makan dan jajan ada yang kasih.
“Saya datang sendiri, ingin tahu positif atau tidak. Maka kesiapan mentalnya lebih kuat. Sehingga tidak terlalu kaget,” paparnya
Sebagai mantan pasien Covid-19, ia mengimbau masyarakat agar tak memandang bahwa Covid-19 itu aib.
Orang yang harus diisolasi itu berat, maka jangan ada stigma minor. Mereka butuh support dari masyarakat. Semisalnya saat isolasi mandiri butuh makanan karena kalau mau keluar khawatir menularkan ke masyarakat. Kalau ada yang bantu maka lebih baik.
Sarannya, masyarakat tdak mengucilkan pasien, support dari pemerintah desa juga penting untuk menenangkan masyarakat. Lebih baik mencegah, kalau daya tahan tubuhnya baik maka cepat sembuh. Ikuti protokolor pemerintah.
“15 Mei 2020 keluar surat resmi sembuh. Hanya saja sejak 24 Maret hingga kini saya masih tutup praktik,” tandasnya.