PISA, FaktualNews.co – Italia mulai melakukan pelonggaran lockdown. Pada tanggal 3 Mei 2020, ada174 korban meninggal Covid-19 pada . Itu adalah angka kematian terendah sejak diterapkannya lockdown.
Hal tersebut disampaikan oleh Dosen Universitas Airlangga (Unair) Joeni Arianto Kurniawan yang saat ini tengah menempuh studi Ph.D. dalam bidang Law, Religion, and Culture di University of Pisa, Italia.
Saat ini, Joeni beserta keluarga tinggal di Pisa dan tidak mudik ke Indonesia karena Italia lockdown.
“Betul sekali. Di Italia, kurva sudah melandai dan bahkan sudah menurun. Bandingkan dengan di Indonesia, kurvanya masih menanjak naik,” jelas Joeni lewat telepon kepada Kelompok Faktual Media (KFM), Selasa (9/6/2020).
Pria yang juga direktur eksekutif Pusat Studi Pluralisme Hukum (CLeP) di Fakultas Hukum Unair Surabaya ini menceritakan lockdown diberlakukan di Italia sejak 10 Maret 2020 sampai 18 Mei 2020.
Kebijakan tersebut mengatur semua orang dilarang keluar rumah, kecuali untuk keperluan mendesak seperti belanja bahan makanan di supermarket atau beli obat ke apotek.
Lanjut Joeni, jika masyarakat terpaksa harus keluar rumah untuk dua alasan tersebut, maka wajib membawa surat pernyataan yang menerangkan keperluan keluar rumah.
“Sebab, akan ada polisi yang berpatroli. Jika kita ketemu patroli tersebut, surat keterangan itu harus bisa kita tunjukkan. Jika tidak, maka kita akan kena denda sebesar €350 sekali denda,” ujar Joeni.
Menurut Joeni, alasan Italia memperlakukan lock down karena saat itu ditemukan pasien 01 dan sesungguhnya ia adalah pasien yang kesekian ratus. Karena pasien 01 tersebut tertular bukan dari kasus impor, melainkan local transmission.
Sebab untuk melakukan contact tracing sudah tidak memungkinkan lagi. Mengingat contact tracing hanya bisa dilakukan untuk jumlah kasus yang masih terbatas.
Lanjutnya, efek lockdown ini belajar dilakukan dari rumah. Diselenggarakan online via video conference melalui Google Meet atau Microsoft Class, Zoom dan lain-lainnya.
Sementara itu, warga lokal maupun asing juga diberikan voucher untuk belanja di supermarket yang ditunjuk pemerintah.
“Semula dijadwalkan hanya 1 bulan, tapi kemudian diperpanjang. Ya semua negara juga pasti tidak ada yang siap. Italia saja harus berhutang kok ke Uni Eropa sebesar 400 miliar euro. Tapi itu ditempuh demi menyelamatkan nyawa warganya,” bebernya.
Bagi Joeni, soal penanganan semua negara yang sudah berhasil melandaikan kurva seperti Italia dan Jerman memakai satu kunci lockdown. Ini tidak sama dengan PSBB-nya Indonesia.
Soal klaim Indonesia tidak mampu melakukan lockdown dengan alasan tidak punya duitnya, Joeni beargumen lockdown sudah diatur di UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang sekaligus juga mjd dasar hukum pemberlakuan PSBB.
Di UU ini istilah yang digunakan adalah karantina yang meliputi rumah sakit, rumah, dan/atau wilayah. Di UU tersebut juga diatur bahwa jika diterapkan karantina, maka kebutuhan hidup masyarakat yang berada di dalamnya ditanggung oleh Pemerintah Pusat
Oleh karena itu, Joeni berpendapat amanat UU, dan sudah disahkan oleh Pemerintah. Artinya, Pemerintah harus paham konsekuensi dari pengaturan tersebut.
“Soal anggaran Italia dari duit utangan sebesar Rp. 400 miliar euro tadi dikelola Pemerintah Pusat untuk kemudian didistribusikan ke Pemerintah Daerah sesuai kebutuhan yang ada,” bebernya.
Berbeda dengan Indonesia yang tren Covid-19 masih naik, dalam pikiran Joeni, Indonesia masuk kategori negara dengab kurva merah, yang artinya masuk kategori negara yang kondisinya mengkhawatirkan. Karena sebenarnya virus sudah menyebar luas jauh sebelum diketahui. Itu masih berlaku sampai sekarang.
Terbaru, Selasa 9 Juni 2020, pukul 12.00 WIB, ada 1.043 kasus baru Covid-19. Penambahan itu menyebabkan kini ada 33.076 kasus Covid-19 di Indonesia. Ia berpendapat tren naik ini masih akan terjadi di Indonesia.
“Lalu mengapa Indonesia masih belum berhasil mengendalikan pandemi? Ya karena tidak menerapkan lockdown/karantina sebagaimana yang diamanatkan oleh UU 6/2018 secara konsisten,” tandasnya.