Sosial Budaya

Riwayat Benteng Kedungcowek Surabaya

SURABAYA, FaktualNews.co – Surabaya terkenal dengan riwayat perbentengan karena kota ini memiliki potensi strategis. Ia terkenal sebagai pelabuhan dan pangkalan angkatan laut terbesar di Hindia Belanda.

Salah satu benteng peninggalannya adalah Kustbatterij Kedoeng-Tjowek atau yang lebih dikenal dengan nama Benteng Kedungcowek oleh masyarakat sekitar.

National Geographic Indonesia melaporkan, perjuangan warga menempuh jalan berilku demi mendapatkan status cagar budaya benteng ini. Karut marut prosesnya dari isu tukar guling dengan pihak swasta, penggalian data, observasi, hingga pengeboran benteng yang sejatinya tak perlu. Sekitar lima tahun sejak pemaparan oleh Roode Brug Soerabaia kepada pemerintah Kota Surabaya, benteng ini akhirnya ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya pada 6 Mei 2020.

Lokasinya berda di Kelurahan Kedung Cowek, Kecamatan Bulak, Kota Surabaya, benteng ini memiliki sejarah panjang. National Geographic Indonesia pun menyelenggarakan Bincang Redaksi 6 dengan tajuk “Penyelamatan Benteng Kedungcowek: Linimasa Perbentengan Kota Surabaya dan Renjana Warga Demi Menjaga Repihannya”, pada Sabtu (9/5/2020) via Zoom.

Menurut Ady Erlianto Setyawan, penulis dan pendiri Roode Brug Soerabaia, kisah benteng bersejarah ini bisa dilihat dari tiga hal: yakni arsip cetak biru pembangunan, surat kabar, serta laporan militer.

Pada 30 April 1900, cetak biru pembangunan baterai pantai di Kedungcowek ditandatangani oleh De Kapitein der Genie di Batavia. “Kustbatterij Kedoeng-Tjowek” atau baterai pesisir Kedungcowek merupakan satu dari rangkaian pertahanan pantainya. Baterai adalah kesatuan yang terdiri atas beberapa meriam besar dan tentara yang bertugas.

Sebelumnya, surat kabar De Locomotief pada 30 Maret 1900 melaporkan penunjukkan Kapten Zeni Proper sebagai penanggung jawab pembangunan benteng.

Secara berkala, beberapa surat kabar kerap memberitakan perkembangan pembangunan benteng. Pada 29 November 1901, De Sumatra Post melaporkan bahwa Kustbatterij Kedoeng-Tjowek sudah mulai tampak bentuknya. Baterai pantai Kedung Cowek diperkirakan selesai bulan Februari dan dana sebesar lima juta gulden disiapkan untuk pengadaan meriam-meriam artileri.

Kemudian, arsip surat kabar Soerabaiaisch Handelsblad pada 15 Juli 1902, menuliskan: “Hari ini tiga meriam pantai berkaliber 150 milimeter diturunkan dan dipasang di baterai Kedungcowek.”

Pemugaran benteng Kedungcowek dengan konstruksi beton dimulai pada akhir 1903, diberitakan pada surat kabar Soerabaiaisch Handelsblad. Alasannya, konstruksi lamanya kurang kuat untuk menahan serangan artileri laut paling baru. Benteng ini dipugar sebagian sehingga masih menyisakan sebagian konstruksi lamanya.

“Banyaknya berita tentang Benteng Kedungcowek yang dimuat ini menunjukkan bahwa ia mendapat perhatian serius saat itu,” ujar Ady.

Ya, Benteng Kedungcowek memiliki peran penting dalam Pertempuran Surabaya 1945. Benteng ini menyimpan meriam, peluru dan beragam alat persenjataan lainnya. Ketika kapal-kapal Inggris menembaki Kota Surabaya pada November 1945, mereka terkejut karena mendapat perlawanan sengit dari arah Benteng Kedungcowek. Dari kualitas tembakan artileri, Inggris mengira para pelakunya itu adalah tentara Jepang. Namun, ternyata itu dari Batalion Sriwijaya (pejuang Indonesia yang sebelumnya tergabung dalam Heiho).

Menurut Ady, salah satu cara yang bisa dilakukan untuk membalas jasa mereka adalah dengan melestarikan Benteng Kedungcokwek yang menjadi saksi perjuangan warga Surabaya. Sejak 2010, Ady dan rekan-rekannya telah mengupayakan hal tersebut: dimulai dengan meninjau lokasi, menggali literatur, mewawancarai saksi, hingga melakukan sosialisasi terkait Benteng Kedungcowek.

Pada 2015, peluncuran buku Benteng-benteng Surabaya menjadi pembahasan di media cetak dan online. Kemudian, pada 3 Desember 2015, Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Surabaya mulai mempertimbangkan agar Benteng Kedungcowek bisa dijadikan cagar budaya.

Setelah penetapan sebagai cagar budaya, kini perjuangan selanjutnya adalah merevitalisasi Benteng Kedungcowek. Menurut Adrian Perkasa, sejarawan Universitas Airlangga yang kini menimba ilmu di Universitas Leiden, perlu peran beberapa pihak dalam upaya pelestarian cagar budaya. Di antaranya, para ahli, birokrat, politisi, praktisi, hingga masyarakat sekitar.

“Mereka lah aktor-aktor penting dalam proses pelestarian. Tidak ada yang lebih unggul, semuanya berperan penting dan terhubung,” kata Adrian, yang juga menjadi pembicara dalam acara diskusi daring ini.

Para ahli atau akademisi bisa menyediakan kajian tentang heritage, praktisi tentang upaya restorasi dan pemugaran, birokrat terkait regulasi, serta politisi diharapkan dapat mewakili dan menyuarakan pendapat warga. Dan yang terakhir, masyarakat awam yang memiliki minat besar pada cagar budaya juga dapat membantu proses penetapan hingga pelestarian cagar budaya.

“Masyarakat yang tinggal di sekitar sana mungkin punya ide untuk menjadikan Benteng Kedungcowek sebagai sarana edukasi, nah itu harus dibicarakan juga dengan aktor-aktor lain seperti para ahli, birokrat, politisi, dan praktisi tadi,” papar Adrian.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Junus Satrio Atmodjo, arkeolog dan Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Kemendikbud. Menurutnya, warisan budaya itu bukan milik pemerintah, tapi juga masyarakat.

“Jadi, kontribusi masayarakat dalam mengiprentasikan cagar budaya dan upaya mereka untuk menjaga supaya tidak rusak, harus diapresiasi dengan baik,” ungkap Junus.

Ia mengatakan, tugas Tim Ahli Cagar Budaya adalah melihat hubungan antara objek dengan masyarakat. Usianya tidak perlu 50 tahun dulu, asalkan objek tersebut tidak ada duanya di Indonesia atau begitu penting nilainya dalam masyarakat, maka bisa ditetapkan sebagai cagar budaya.

Junus berharap, agar semua pihak terlibat dapat menjalin hubungan yang harmonis agar peninggalan-peninggalan bersejarah di Indonesia bisa dilestarikan dengan baik.

“Cagar budaya itu memang ketetapan hukum dan yang mengeluarkan adalah kepala daerah. Namun, makna dari cagar budaya sendiri berasal dari mekanisme di masyarakat,” katanya.

“Penetapan Benteng Kedungcowek sebagai cagar budaya adalah kemenangan semua orang. Selamat untuk warga Surabaya,” pungkasnya.

Keberhasilan warga terkait upaya pelestarian Benteng Kedungcowek menunjukkan adanya pengaruh jaringan global dan media sosial. Keduanya memungkinkan warga mencari jiwa kota mereka yang hilang. Bentuk pencarian itu bisa berupa diskusi, obrolan ringan, hingga upaya penetapan situs cagar budaya.

Namun, label cagar budaya sejatinya awal dari perjalanan panjang proses pelestarian. Menetapkan status cagar budaya tanpa ada upaya untuk merawatnya adalah kebohongan publik. Membiarkan bangunan cagar budaya tak terawat dan hancur adalah kejahatan.

Warga wajib ikut serta dalam pelestarian dan pengawasan cagar budaya karena sejatinya cagar budaya itu milik mereka, bukan sekadar milik pemerintah atau badan usaha yang turut merevitalisasinya.

Jiwa kota bersemayam di bangunan-bangunan tuanya. Benteng Kedungcowek bagian dari cerita dan sejarah kota. Warga sadar, tanpa jejak bangunan pertahanan militer ini, mereka akan lupa tentang riwayat dan jiwa kota mereka.