PROBOLINGGO, FaktualNews.co – Ditinggal kedua orang tuanya sejak kecil, Siti Hotijah (13) terpaksa harus tinggal berdua dengan neneknya yang bernama Ngatik (85) hingga kini. Anak kedua dari dua bersaudara ini pun, hanya mengenyam PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).
Kedua perempuan beda generasi itu, tinggal di gubuk reot berdinding bambu (Gedeg), berukuran sekitar 3 kali 4 meter. Di sanalah nenek dan cucu tersebut bernaung dari terik mentari dan guyuran hujan. Lokasinya, di Dusun Pancoran, Desa Tongas Wetan, Kecamatan Tongas, Kabupaten Probolinggo.
Gadis yang tak pernah duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) dan SMP ini, kesehariannya hanya mengerjakan pekerjaan rumah. Seperti, bersih-bersih, mencuci dan memasak serta merawat neneknya yang sakit-sakitan. Ngatik yang sudah lanjut usia, sulit diajak komunikasi dan responnya sudah melambat.
Kini, sang Nenek sudah tak kuat lagi keluar rumah mencari rumput untuk sapi milik saudaranya yang dipeliharanya. Keuntungan yang didapat dari hasil penjualan sapi setelah dibagi dua itulah, yang ia pakai untuk mencukupi kebutuahan makannya.
“Sekarang nenek sudah tidak memelihara sapi. Sapi milik saudara,” ujar Siti, lirih.
Kini, nenek dan gadis tersebut mengandalkan pemberian tetangga dan saudara untuk bisa bertahan hidup. Kondisi seperti itu dilakoninya hampir 10 tahun, sehingga pendidikannya terbengkalai alias tidak pernah sekolah.
“Kakak saya ada di Surabaya, bekerja sebagai pembantu rumah tangga,” katanya.
Siti pernah mengenyam pendidikan PAUD, namun tak melanjutkan, setelah usianya sekitar 4 tahun ibunya yang bernama Sunaifa meninggal, akibat sakit. Meski tidak berpendidikan SD dan SMP, ia bisa membaca dan menulis.
“Saya belajar ke Siti Aminah, kakak saya,” ungkap Hotijah dengan sedih.
Sepeninggal ibunya, Aminah dan Hotijah hidup bersama ayahnya yang bernama Dimo. Tak lama kemudian, ayahnya kawin lagi dengan perempuan lain dusun dan mereka tinggal bersama ibu tirinya. Perkawinan kedua ayahnya hanya bertahan 8 tahun dan berakhir dengan perceraian. Karena bercerai, Dimo lalu memboyong kedua anaknya dan tinggal bersama neneknya.
Sementara Dimo kawin lagi dengan perempuan asal Desa Klampok, Kecamatan Tongas. Dua tahun kemudian Dimo meninggal dunia. Sejak itulah, kondisi kedua gadis dan neneknya makin parah.
“Bapak saya meninggal karena terjatuh ketika mengarit di sawah. Saat bapak masih hidup, saya minta sekolah,” tambahnya.
Tapi permintaan Hotijah tidak dikabulan dengan alasan jarak sekolahnya jauh, khawatir dalam perjalanan pulang-pergi ke sekolah, ditabrak kendaraan. Sejak saat itu, hari-harinya dihabiskan membantu pekerjaan rumah neneknya. Untuk kebutuhan sehari-harinya seperti makan, dibantu keluarga dan tetangga dekat serta orang lain.
Di akhir perbincangannya, Hotijah berharap bisa sekolah dan bermain seperti anak seusianya. Gadis kelahiran 19 Desember 2007 ini. Agar kelak kalau dewasa bisa mandiri dan bekerja membantu suami.
“Saya pingin sukses seperti anak-anak yang lain. Nanti kalau sudah besar bekerja dan memiliki rumah sendiri,” pungkas Hotijah.
Tergerak dari berita yang beredar di media sosial, Kapolres Probolinggo Kota yang diwakili Kasat Binmas AKP Retno Utami bersama Kapolsek dan Camat Tongas mendatangi rumah Siti Chodijah di Dusun Pancoran Desa Tongas Wetan Kecamatan Tongas. Mereka menyerahkan sedikit bingkisan.
Harapannya, bantuan tersebut bisa meringankan beban Siti Hotijah bersama nenek Ngatik. Pihaknya juga akan berkoordinasi dengan Kapolsek dan Camat Tongas, agar Hotijah dan neneknya mendapatkan bantuan dari pemerintah secara berkala.
“Kami mengajak teman-teman yang punya sedikit rejeki ikut membantu,” ajak Kasat.
Camat Tongas, Abdul Ghafur mengatakan, jajarannya akan memasukan nama Siti Hotijah ke dalam program Jaring Pengaman Sosial. Agar kedepan yang bersangkutan mendapatkan bantuan dari pemerintah secara berkala.
“Dalam 3 bulan Hotijah akan mendapatkan uang Rp 200 ribu per bulan. Diambil setiap 3 bulan sekali,” terang Abdul Ghafur.