Opini

Strategi Perbankan Cegah Kredit Macet Efek Pandemi Covid-19

SEMUA NEGARA dengan sangat cepat mengambil kebijakan untuk menyelamatkan perekonomian mengantisipasi dampak pandemi Covid-19.

Kebijakan lockdown dilakukan negara-negara di seluruh dunia untuk menekan laju pertumbuhan Covid-19. Namun kebijakan lockdown tersebut menyebabkan penurunan pada sektor riil global, harga komoditas dan aktivitas ekonomi.

Kebijakan stimulus fiskal juga diterapkan dan didukung oleh kebijakan moneter yang sangat longgar.

Covid-19 berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja dan kapasitas debitur. Debitur atau sektor riil yang terganggu berpotensi juga mengganggu kinerja perbankan dan stabilitas sistem keuangan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatatbahwa sektor yang terdampak paling parah seperti transportasi dan pariwisata, ekspor impor, komoditas, UMKM. Jika sektor riil  terganggu, maka berdampak juga terhadap sektor keuangan dan menyebaban pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan.

Transmisi pandemi Covid-19 disektor perbankan, ada potensi risiko yang mungkin terjadi apabila tidak segera melakukan mitigasi. Resiko pasar terjadi karena pelemahan yield keuangan dan pelemahan nilai tukar.

Resiko kredit terjadi saat sektor UMKM mulai terganggu dan tidak membayar kewajibannya. NPL (Non Performing Loan) akan naik jika sektor riil/ nasabah bank tidak membayar kewajibannya. Resiko likuiditas terus melakukan pemantauan day to day jika nasabah tidak membayar kewajibannya maka cashflow bank akan terganggu.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah merespon dengan kebijakan yang bersifat antisipasi atau Forward Looking Policy untuk menopang fundamental sektor riil/ informal dan menjaga stabilitas sistem keuangan.

Dalammemberikan respon kebijakan OJK melakukan sistem balancing antara sektor riil yang tetap terjaga agar tidak terganggu dan perbankan juga tetap sehat. Langkah yang dilakukan perbankan untuk melakukan mitigasi, seperti identifikasi skenario analisis, mitigasi resiko kredit dan kecukupan likuiditas. Melakukan stress test kecukupan modal dan likuiditas dan selanjutnya ditindaklanjuti dengan optimalisasi pengelolaan portofolio.

Bank Indonesia mengeluarkan regulasi pendukung yaitu melakukan quantitative easing berupa pembelian surat utang (bond purchasing), term repo diperluas, pemotongan reserve requirement, SWAP, kebijakan untuk menurunkan reverse repo. Regulasi pendukung yang diberikan oleh OJK melalui POJK No. 11 Tahun 2020, dari kementerian keuangan memberikan regulasi defisit lebih dari 3 prosen, tax relaxation, kemudahan ekspor impor, dan lain-lain. Kebijakan relaksasi kredit yang terdampak Covid-19.

Sesuai arahan presiden agar industri perbankan dan pembiayaan memberikan keringanan kredit bagi masyarakat yang perekonomiannya terdampak terutama UMKM yang produktif.

POJK No. 11 Tahun 2020 merespon dengan memberikan kebijakan melakukan restrukturisasi kredit, dalam rangka restrukturisasi kredit terutama UMKM. Bahwa masing-masing bank harus memiliki pedoman dan menetapkan kriteria lalu komunikasi yang dilakukan harus jelas kepada masyarakat.

Perppu No. 1 Tahun 2020 merespon dengan memberikan kebijakan defisit boleh lebih dari 3 persen, pemberian insentif perpajakan, fokus padasocial safety net, dukungan pada dunia  usaha UMKM, dan penguatan kewenangan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK). Permenko No. 6 Tahun 2020 merespon dengan memberikan kebijakan penambahan subsidi untuk pembayaran bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR), dimana KUR yang semula bunga 16 persen dan subsidi 10 persen, dalam permenko ini bunga 6 persen akan disubsidi oleh negara.

PP No. 23 Tahun 2020 merespon dengan memberikan kebijakan pelaksanaan program PEN melalui penyertaan modal negara (PMN), penempatan dana, investasi pemerintah, dan penjaminan serta juga terdapat sumber dana program PEN, dan kebijakan pemulihan ekonomi seperti pemberian subsidi bunga.

Menurut POJK No.11 Tahun 2020 POJK bank melakukan restrukturisasi kredit tidak langsung golongan lancar harus menunggu tiga bulan dan bank tetap membentuk cadangan. Dalam restrukturisasi kredit bank tidak perlu membentuk cadangan dan langsung dianggap lancar.

Tentunya akan memberikan relaksasi kepada bank untuk tidak membentuk cadangan. Nasabah yang melakukan restrukturisasi kredit, kemudian bank merespon dengan melakukan penundaan dan keringanan serta memperpanjang jangka waktu tentu saja akan membuat relaksasi terhadap cashflow nasabah. Dengan adanya POJK No.11 Tahun 2020 berusaha menahan agar dampak kredit macet tidak terlalu buruk.

Direktur Utama BRI, Sunarso dalam seminar Webinar Bisnis OJK, menyebutkan bahwa periode krisis semakin hari  semakin sering.

Namun sisi positifnya adalah risk management yang semakin matang. Usaha produktif memiliki kekuatan hingga 3 bulan, sebenarnya hanya dengan penundaan kredit saja masih bisa berjalan.

Kebijakan relaksasi yang diberikan oleh OJK sebenarnya mengantisipasi Covid-19 selesai  tetapidampak pada ekonomi lebih dari tiga bulan, perlunya antisipasi agar tidak terjadi lonjakan NPL.

Setelah direstrukturisasi biasanya kolektibilitas langsung lancar, dengan kebijakan yang diberikan OJK memperbolehkan kolektibilitas langsung lancar.

Dalam jangka waktu 3 bulan NPL belum lancar dihitung mulai bulan Februari dan yang kritis adalah bulan Maret, April, Mei. Sehingga restrukturisasi kredit diselesaikan maksimal bulan Juni.

“Dalam restrukturisasi kredit pengusaha bisa langsung dikategorikan sebagai lancar dalam perhitungan  kolektibilitasnya,” kata Wimboh saat konferensi pers Stimulus II Dampak Virus Corona di Jakarta.

Jadi, restrukturisasi kredit menjadi upaya yang digunakan untuk meringankan beban utang debitur terdampak corona, bertujuan untuk mengurangi efek Covid-19 bagi ekonomi. Serta memberikan keringanan bagi bank demi mencegah risiko gagal bayar.

Namun, menurut Analyst Moody’s Investor Service, Tengfu Li restrukturisasi kredit juga akan menimbulkan dampak kualitas aset bank terutama pada likuiditas bank, Karena bank-bank pasti akan mengumpulkan pembayaran tunai yang lebih sedikit serta profitabilitas akan menurun.

Sehingga dengan tekanan likuiditas yang ada menyebabkan tekanan likuiditas perbankan menjadi minimal. (*)

Penulis: Alfina Huriyatul Fadillah, Mahasiswi Jurusan Manajemen Keuangan PKN STAN.

 

Share
Penulis