Religi

Resep Menahan Amarah Imam Al-Ghazali

SURABAYA, FaktualNews.co – Punya perasaan marah adalah sesuatu yang wajar. Nabi, sahabat dan para ulama juga pernah marah.

M. Mubasysyarum Bih, dalam tulisannya di rubrik ubudiyah di NU Online, menyatakan, yang paling penting diperhatikan adalah atas dasar apa kita marah dan bagaimana kita menyikapi gejolak itu: menahannya atau membiarkannya hingga memunculkan perilaku lanjutan, seperti berkata kasar, melukai orang lain, merusak barang, dan semacamnya.

Ada beberapa penjelasan yang diberikan Dewan Pembina Pesantren Raudlatul Qur’an, Geyongan Arjawinangun Cirebon Jawa Barat, itu tentang sisi negatif marah. Di antaranya:

وَرُوِيَ أَنْ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مُرْنِي بِعَمَلٍ وَأَقْلِلْ، قَالَ: لَا تَغْضَبْ، ثُمَّ أَعَادَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: لَا تَغْضَبْ

“Seorang laki-laki pernah meminta nasihat, ‘Wahai Rasulullah, perintahlah aku dengan sebuah perbuatan dan sedikitkanlah (jangan banyak-banyak).’ Nabi menjawab, ‘Jangan marah.’ Laki-laki tersebut mengulangi permintaannya, lalu Nabi tetap menjawab, ‘Jangan marah’.”  (HR al-Bukhari)

Dalam riwayat lain disebutkan:

وقال ابن مسعود قال النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَعُدُّونَ الصُّرَعَةَ فِيكُمْ قُلْنَا الَّذِي لَا تَصْرَعُهُ الرِّجَالُ قَالَ لَيْسَ ذَلِكَ وَلَكِنِ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغضب

“Ibnu Mas’ud berkata, Nabi bertanya, ‘Siapa yang kalian anggap sebagai orang yang perkasa?’ Kami menjawab, ‘Dia yang tidak bisa dikalahkan keperkasaannya oleh siapa pun.’ Nabi menimpali, ‘Bukan demikian, akan tetapi yang perkasa adalah orang yang bisa menahan dirinya ketika marah’.” (HR Muslim)

Jakfar bin Muhammad berkata:

الْغَضَبُ مِفْتَاحُ كُلِّ شَرٍّ

“Marah adalah kunci dari setiap keburukan.”

Lalu bagaimana tips kita agar bisa menahan amarah? Al-Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip Syekh Jamaluddin al-Qasimi memaparkan bahwa ketika amarah memuncak, ada dua cara luapan emosi itu bisa diredam. Pertama, dengan ilmu. Kedua, dengan amal.

• Dengan Ilmu

Dari sisi ilmu, al-Imam al-Ghaazali menjelaskan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

الْأَوَّلُ: أَنْ يَتَفَكَّرَ فِيمَا وَرَدَ فِي فَضْلِ كَظْمِ الْغَيْظِ وَالْعَفْوِ وَالْحِلْمِ وَالِاحْتِمَالِ، فَيَرْغَبَ فِي ثَوَابِهِ، وَتَمْنَعُهُ الرَّغْبَةُ فِي الْأَجْرِ عَنِ الِانْتِقَامِ، وَيَنْطَفِئُ عَنْهُ غَيْظُهُ.

“Pertama berpikir tentang ayat atau hadits Nabi tentang keutamaan menahan amarah, memaafkan, bersikap ramah dan menahan diri, sehingga dirinya terdorong untuk menggapai pahalanya, dan mencegah dirinya untuk membalas, serta dapat memadamkan amarahnya.”

الثَّانِي: أَنْ يُخَوِّفَ نَفْسَهُ بِعِقَابِ اللَّهِ لَوْ أَمْضَى غَضَبَهُ، وَهَلْ يَأْمَنُ مِنْ غَضَبِ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَهُوَ أَحْوَجُ مَا يَكُونُ إِلَى الْعَفْوِ

“Kedua, menakut-nakuti diri dengan siksa Allah bila ia tetap meluapkan amarahnya. Apakah ia aman dari murka Allah di hari kiamat? Padahal ia sangat membutuhkan pengampunan.”

الثَّالِثُ: أَنْ يُحَذِّرَ نَفْسَهُ عَاقِبَةَ الْعَدَاوَةِ وَالِانْتِقَامِ، وَتَشَمُّرَ الْعَدُوِّ لِمُقَابَلَتِهِ، وَالسَّعْيِ فِي هَدْمِ أَغْرَاضِهِ، وَالشَّمَاتَةِ بِمَصَائِبِهِ، وَهُوَ لَا يَخْلُو عَنِ الْمَصَائِبِ، فَيُخَوِّفُ نَفْسَهُ بِعَوَاقِبِ الْغَضَبِ فِي الدُّنْيَا إِنْ كَانَ لَا يَخَافُ مِنَ الْآخِرَةِ.

“Ketiga, menakut-nakuti dirinya tentang akibat dari permusuhan dan pembalasan, bagaimana sergapan musuh untuk membalasnya, menggagalkan rencana-rencananya serta bahagianya musuh saat ia tertimpa musibah, padahal seseorang tidak bisa lepas dari musibah-musibah. Takut-takutilah diri sendiri dengan dampak (buruk) amarah di dunia, bila ia belum bisa takut dari siksaan di akhirat kelak.”

الرَّابِعُ: أَنْ يَتَفَكَّرَ فِي قُبْحِ صُورَتِهِ عِنْدَ الْغَضَبِ، بِأَنْ يَتَذَكَّرَ صُورَةَ غَيْرِهِ فِي حَالَةِ الْغَضَبِ، وَيَتَفَكَّرَ فِي قُبْحِ الْغَضَبِ فِي نَفْسِهِ، وَمُشَابَهَةِ صَاحِبِهِ لِلْكَلْبِ الضَّارِي وَالسَّبُعِ الْعَادِي، وَمُشَابَهَةِ الْحَلِيمِ الْهَادِي التَّارِكِ لِلْغَضَبِ لِلْأَنْبِيَاءِ وَالْأَوْلِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ وَالْحُكَمَاءِ، وَيُخَيِّرَ نَفْسَهُ بَيْنَ أَنْ يَتَشَبَّهَ بِالْكِلَابِ وَالسِّبَاعِ وَأَرَاذِلِ النَّاسِ، وَبَيْنَ أَنْ يَتَشَبَّهَ بِالْعُلَمَاءِ وَالْأَنْبِيَاءِ فِي عَادَتِهِمْ؛ لِتَمِيلَ نَفْسُهُ إِلَى حُبِّ الِاقْتِدَاءِ بِهَؤُلَاءِ إِنْ كَانَ قَدْ بَقِيَ مَعَهُ مُسْكَةٌ مِنْ عَقْلٍ

“Keempat, berpikir bagaimana buruknya muka ketika marah. Bayangkan
bagaimana raut muka orang lain saat marah, berpikirlah tentang buruknya marah di dalam dirinya, berpikirlah bahwa saat marah ia seperti anjing yang membahayakan dan binatang buas yang mengancam, berpikirlah untuk menyerupai orang ramah yang dapat menahan amarah layaknya para nabi, wali, ulama dan para bijak bestari. Berilah pilihan untuk dirimu, apakah lebih memilih serupa dengan anjing, binatang buas dan manusia-manusia hina; ataukah memilih untuk menyerupai ulama dan para nabi di dalam kebiasaan mereka? Agar hatinya condong untuk suka meniru perilaku mereka jika ia masih menyisakan satu tangkai dari akal sehat.”

الْخَامِسُ: أَنْ يَتَفَكَّرَ فِي السَّبَبِ الَّذِي يَدْعُوهُ إِلَى الِانْتِقَامِ وَيَمْنَعُهُ مِنْ كَظْمِ الْغَيْظِ، مِثْلَ قَوْلِ الشَّيْطَانِ لَهُ: إِنَّ هَذَا يُحْمَلُ مِنْكَ عَلَى الْعَجْزِ وَالذِّلَّةِ وَتَصِيرُ حَقِيرًا فِي أَعْيُنِ النَّاسِ فَيَقُولُ لِنَفْسِهِ: «مَا أَعْجَبَكِ! تَأْنَفِينَ مِنَ الِاحْتِمَالِ الْآنَ، وَلَا تَأْنَفِينَ مِنْ خِزْيِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَلَا تَحْذَرِينَ مِنْ أَنْ تَصْغُرِي عِنْدَ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّبِيِّينَ» .

“Kelima, berpikir tentang sebab yang mendorongnya untuk membalas dan mencegahnya dari menahan amarah, semisal ketika dalam hati terdapat bujuk rayu setan; ‘Sesungguhnya orang ini membuatmu lemah dan rendah serta menjadikanmu hina di mata manusia’, maka jawablah dengan tegas di hatimu ‘Aku heran denganmu. Kamu sekarang mencemoohku karena menahan diri, sedangkan kamu tidak mencemooh dari kehinaan di hari kiamat. Kamu tidak khawatir dirimu akan hina di sisi Allah, para malaikat dan para Nabi’.”

فَمَهْمَا كَظَمَ الْغَيْظَ فَيَنْبَغِي أَنْ يَكْظِمَهُ لِلَّهِ، وَذَلِكَ يُعَظِّمُهُ عِنْدَ الله

“Ketika ia menahan amarah, maka seyogiayanya menahan amarah karena Allah. Yang demikian itu bisa membuatnya agung di sisi Allah.” (Syekh Jamaluddin al-Qasimi, Mau’idhah al-Mu’mini Min Ihya’ Ulum al-Din, hal. 208)

• Dengan Amal

Sedangkan dari sisi amal cara menahan amarah adalah dengan berdzikir membaca ta’awudz, kemudian berusaha menenangkan diri.

Carilah posisi yang lebih rileks. Bila dalam keadaan berdiri, maka bisa berganti posisi dengan duduk. Jika dalam keadaan duduk, bisa berganti posisi dengan tidur miring.

Dianjurkan pula berwudhu dengan air dingin. Al-Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip Syekh Jamaluddin al-Qasimi mengatakan:

وَأَمَّا الْعَمَلُ فَأَنْ تَقُولَ بِلِسَانِكَ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، وَإِنْ كُنْتَ قَائِمًا فَاجْلِسْ، وَإِنْ كُنْتَ جَالِسًا فَاضْطَجِعْ، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَتَوَضَّأَ بِالْمَاءِ الْبَارِدِ؛ فَإِنَّ الْغَضَبَ مِنَ النَّارِ، وَالنَّارُ لَا يُطْفِئُهَا إِلَّا الْمَاءُ.

“Adapun (mengatasi amarah dengan) amal, katakanlah dengan lisanmu, A’ûdzu billâhi minasy syaithânir rajîm (aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk). Bila engkau berdiri, duduklah. Bila engkau duduk, tidurlah miring. Disunahkan berwudhu dengan air yang dingin, sesungguhnya kemarahan adalah dari api, sedangkan api tidaklah bisa dipadamkan kecuali dengan air.” (Syekh Jamaluddin al-Qasimi, Mau’ihhah al-Mu’mini min Ihya’ Ulum al-Din, hal. 208).

Barangkali ekspresi kemarahan menurut sebagian kalangan adalah sebuah perbuatan yang menunjukan ketegasan, keberanian, dan keperkasaan.

Mereka tidak sadar bahwa yang demikian tersebut timbul dari kebodohannya, pelakunya tidak mengerti bahwa untuk menunjukan keberanian tidak harus bersikap demikian.

Bahkan menurut al-Ghazali perbuatan tersebut menunjukan sakitnya hati dan kurangnya akal.

Orang yang bodoh tentang hal ini bisa diobati dengan dibacakan kepadanya hikayat-hikayat tentang ahli pemaaf dan kebaikan-kebaikan yang didapatkan dari mereka.

Al-Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip Syekh Jamaluddin al-Qasimi mengatakan:

وَأَشَدُّ الْبَوَاعِثِ لِلْغَضَبِ عِنْدَ أَكْثَرِ الْجُهَّالِ تَسْمِيَتُهُمُ الْغَضَبَ شَجَاعَةً وَعِزَّةَ نَفْسٍ، حَتَّى تَمِيلَ النَّفْسُ إِلَيْهِ وَتَسْتَحْسِنَهُ، وَهَذَا مِنَ الْجَهْلِ، بَلْ هُوَ مَرَضُ قَلْبٍ وَنُقْصَانُ عَقْلٍ، وَيُعَالَجُ هَذَا الْجَاهِلُ بِأَنْ تُتْلَى عَلَيْهِ حِكَايَاتُ أَهْلِ الْحِلْمِ وَالْعَفْوِ، وَمَا اسْتُحْسِنَ مِنْهُمْ مِنْ كَظْمِ الْغَيْظِ، فَإِنَّ ذَلِكَ مَنْقُولٌ عَنِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ.

“Dan motifasi paling besar yang mendorong untuk marah menurut mayoritas orang bodoh adalah apa yang mereka sebut kemarahan sebagai keberanian dan kemuliaan diri, sehingga dianggap baik dan dicondongi oleh nafsu. Ini adalah kebodohan, bahkan penyakit hati dan kurangnya akal. Orang bodoh ini bisa diobati dengan cara dibacakan kepadanya cerita-cerita orang yang ramah dan pemaaf, dan hal-hal yang dianggap baik dari mereka berupa menahan amarah, sesungguhnya hal tersebut dikutip dari para Nabi dan Ulama.” (Syekh Jamaluddin al-Qasimi, Mau’idhah al-Mu’mini Min Ihya’ Ulum al-Din, hal. 207).