JOMBANG, FaktualNews.co – Dalam buku pelajaran Sejarah, peran Islam dan kaum Muslimin sampai saat ini bisa dibilang masih dipinggirkan dalam sejarah membangun negara dan bangsa Indonesia.
Padahal, peran ulama, kyai, dan santri begitu besar bagi Republik seakan tidak lebih berarti bila dibanding peran golongan Nasionalis.
Buku-buku sejarah mainstream jarang ada yang menjelaskan pengaruh Islam dalam pembangunan bangsa. Karenanya, banyak umat Islam yang tidak tau peran besar Islam dan kaum Muslimin bagi Indonesia.
Salah satu contohnya, dalam pemilihan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari paling bersejarah bagi bangsa Indonesia tidak terlepas dari peran ulama.
Adalah KH. Abdul Mukti seorang pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah Madiun yang dimintai pendapat Soekarno kapan sebaiknya proklamasi diproklamirkan.
Dari Kyai Mukti, Bung Karno mendapat kepastian waktu yang tepat untuk Proklamasi adalah pada tanggal 17 Agustus 1945 atau bertepatan dengan Jumat Legi, 9 Ramadan 1364.
Jika tidak diproklamirkan pada tanggal tersebut maka hari bahagia itu hanya akan ditemui lagi setelah 300 tahun lagi (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah II. hal 144).
Siapakah sebenarnya sosok Kyai Mukti sampai Bung Karno harus sowan kepadanya untuk memilih tanggal proklamasi.
Menurut Mohamad Roem dalam bukunya Bunga Rampai dalam Sejarah Jilid III, KH. Abdul Mukti atau yang biasa disebut dengan Kyai Mukti lahir pada bulan April 1898 di Desa BarongSawahan, Jombang, Jawa Timur.
Kyai Mukti mendapatkan pendidikannya di pesantren selama bertahun-tahun. Dimulai dari Jombang, Bangkalan, dan Nganjuk sebelum akhirnya meneruskan pendidikannya ke Mesir pada tahun 1914 pada umur 17 tahun.
Sejak Islam masuk ke Nusantara, pesantren merupakan “kawah candradimuka” tempat intelektual Islam digembleng. Pesantren sebagai lembaga pelestari ilmu pengetahuan telah melahirkan ribuan intelektual.
Beberapa alumni pesantren yang namanya masyhur di seluruh dunia adalah Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Mahfudz al-Tirmasi, dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, ketiganya pernah menjadi mufti di Makkah dan tercatat sebagai Imam al-Haramain (Tiar Anwar Bachtiar, Lajur-Lajur Pemikiran Islam hal 5).
Sepulang dari belajarnya di Mesir, Kyai Mukti terlibat aktif dalam upaya perlawanan terhadap Belanda melalui Persyarikatan Muhammadiyah.
Muhammadiyah lahir di Yogyakarta pada 18 November 1912 yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan. Kyai Dahlan mendirikan Muhammadiyah sepulangnya dari berguru kepada Syekh Ahmad Khatib di Makkah pada tahun 1890 (Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 hal 85).
Kyai Mukti juga tercatat sebagai pendiri Muhammadiyah Cabang Kudus dan menjadi ketuanya pada tahun 1923-1926.
Beliau gencar memberikan semangat kepada kaum muda untuk terus melawan Belanda yang telah ratusan tahun menancapkan kuku imperialismenya di Nusantara.
Kyai Mukti yakin bahwa pada saatnya nanti Belanda pasti akan jatuh karena kebathilan pasti akan selalu kalah. Itulah sebabnya, Kyai Mukti selalu skeptis dengan perundingan-perundingan yang diadakan antara Indonesia dengan penjajah Belanda.
Menurutnya, Belanda sering melakukan tindakan yang mengecewakan dan bahkan melanggar perjanjian yang telah dibuat.
Karena Belanda tidak dapat dipercaya, maka menurut Kyai Mukti perundingan yang telah dibuat akan sia-sia. Sikapnya yang sangat anti Belanda membuat Belanda berang dan menangkap Kyai Mukti.
Sebagai tokoh agama, Kyai Mukti juga mengajarkan akhlak kepada masyarakat, diantaranya adalah manusia hanya boleh tunduk dan menyembah kepada Allah, bukan kepada manusia lainnya.
Pada masa penjajahan, seorang Bupati memiliki kedudukan yang sangat terhormat dalam masyarakat, hampir seperti raja.
Jika berhadapan dengannya, masyarakat kecil harus berjongkok dan menyembah. Tapi Kyai Mukti menolak melakukan hal yang sama pada saat diundang oleh Bupati ke pendopo kabupaten.
Kyai Mukti selalu mempertahankan kebenaran yang diyakininya, meskipun membawa resiko karena berhadapan dengan penguasa.
Pada tahun 1943-1944, Kyai Mukti tercatat sebagai Pimpinan Pusat Masyumi di Jakarta (Mohamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah Jilid II hal 10).
Pada saat itu Masyumi belum menjadi partai politik. Masyumi dibentuk atas “restu” Jepang waktu itu. Jepang memerlukan Masyumi karena memerlukan bantuan ulama untuk mendekati masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam.
Tetapi bagi kaum Muslimin sendiri, terutama para ulama, berdirinya Masyumi adalah sebagai wadah persatuan dan tempat bermusyawarah, yang keputusan-keputusannya ternyata didengarkan oleh Jepang (Hidup itu Berjuang Kasman Singodimedjo 75 Tahun hal 47).
Mohamad Roem menyebut Kyai Mukti sebagai seorang pejuang. Membela kebenaran sampai maut menjemput. Mulai dari masa penjajahan Belanda, Jepang dan bahkan ketika Indonesia sudah merdeka.
Kyai yang pernah menjadi pemimpin Laskar Sabilillah melawan pasukan Inggris di Surabaya ini pernah dijadikan buron politik Soekarno selama enam tahun dan dijadikan tahanan politik selama empat tahun.
Soekarno seakan melupakan jasa Kyai Mukti. Dia tidak suka dengan Kyai Mukti yang tidak mau membenarkan kebijakannya dekat dengan PKI.
Kehidupan Kyai Mukti selama menjadi buron politik sangat sulit. Kyai yang berwawasan luas ini harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Kyai yang selalu membela kebenaran dan keadilan ini wafat pada hari Senin 20 September 1976 di Rumah Sakit Islam Jakarta. Meskipun wafat, semangat dan keteladanannya tetap diingat oleh orang-orang yang pernah mengenalnya.
Beliau menjadikan Islam sebagai ruh perjuangan, meskipun tidak pernah diingat dengan baik oleh sejarah. Wallahu a’lam bish shawwab. (*Khoirun Nisa)
*Penulis adalah mantan Aktivis LDK Universitas Brawijaya dan alumni Sekolah Pemikiran Islam Malang Angkatan ke-II.