Pengajar Gratis, Operasional Sanggar Tari di Kota Probolinggo Didapat dari Saweran
PROBOLINGGO, FaktualNews.co – Pembaca mungkin tidak akan pernah percaya, kalau di era serba uang seperti saat ini, masih ada pengajar yang mau mengajar tanpa gaji sepeser pun. Mereka adalah pengajar di sekolah tari Mardi Budoyo, Kota Probolinggo.
Tembang guru tanpa tanda jasa, mungkin hanya disandang lima pengajar di Sekolah Tari Mardi Budoyo. Pengajar di sekolah yang berlokasi di jalan Juanda, Kelurahan Tisnonegaran, Kecamatan Kademangan, Kota Probolinggo tersebut tak digaji alias gratis.
Alasannya, karena memang pihak sekolah tidak memungut iuran sama sekali ke muridnya. Sedang bantuan dari pemerintah atau swasta, bahkan sumbangan dari wali atau orang tua murid tidak ada. Meski begitu, sekolah kesenian yang didirikan Yuyun Widowati (50) itu, tetap berjalan hingga sekarang.
Sekolah yang masih menempati rumah tinggal orang tuanya tersebut, didirikan 3 Desember 2009 lalu. Untuk menjaga sekolah yang didirikan tetap survive, Yuyun mencari dana dengan cara mengamen. Anak didiknya menari dan beratraksi, dan dana yang didapat dari warga dimasukkan ke kas.
“Uang saweran dari warga itu kita kumpulkan,” ujarnya, Minggu (4/10/2020) sore.
Namun, sejak pandemi Covid-19 kegiatan seperti itu tidak ada lagi. Bahkan, pertunjukan menyambut tamu kapal pesiar dari mancanegara, juga tidak ada. Sehingga selama itu, Yuyun tidak pernah mendapatkan penghasilan untuk biaya sekolah tarinya.
“Kami berharap kapal pesiar ke sini lagi pasca Covid-19,” katanya.
Adapun pengajar yang aktif hingga kini, meski tak mendapatkan apa-apa, berjumlah 4 orang. Di antaranya, Rahmat Hidayatullah Rizki Trisyahoutra, Ines Septiyarining dan Nur Aulia. Sementara murid yang belajar di sana hingga 80 orang. Namun, kini tinggal 65 anak karena ada yang sudah menikah dan bekerja di luar kota.
Anak-anak yang belajar di sanggar tari Mardi Budoyo terdiri dari siswa SD, SMP dan SMA. Sedangkan belajar tarinya setiap Sabtu pukul 19.00 WIB hingga pukul 21.00 WIB untuk SD. Sementara untuk pelajar SMP dan SMA jadwal belajar narinya, setiap Minggu pagi.
“Saat pelajaran, tidak ada konsumsi. Uang dari mana kami. Air minum dan kue anak-anak bawa sendiri,” imbuhnya.
Para siswanya diajari tari Reog Ponorogo, Klono Sewandono, Bujangganing, Jatilan, Reog Singo Barong , Barong Jeprok, Gambyong Parianong, Serimpi, Bondan, Bajdor Jahit atau Jaipong, Lenggang Probolinggo atau Rerere dan Lenggasor (Lengger Banyumasan) dan Tari Minak Jinggo Dayun.
Perempuan yang memiliki 2 anak ini bercerita, kalau beberapa kali pernah tampil di Taman Mini Indonesia (TMII) Jakarta. Bahkan, siswanya pernah diminta menari di lautan Pasir Gunung Bromo oleh warga berkebangsaan Amerika.
“Ternyata tarian Srimpi yang kami bawakan dipakai iklan RedBull. Shootingnya 2 hari tahun 2014,” tandasnya.
Meski Yuyun tak memiliki penghasilan sama sekali, namun ia tetap konsisten berusaha agar sekolah tarinya tidak sampai ditutup. Mengingat, tujuan dari pendirian sekolah kesenian ini untuk melestarikan kesenian tradisional. Selain itu, untuk mengajari anak-anak atau generasi muda mengenal alat musik, tarian dan tokoh-tokoh kesenian.
Anak pertama dari satu saudara ini kemudian memberi contoh nama-nama alat gamelan. Seperti, Kenong, Gong, Saron, pelog dan Selendro. Yuyun juga menyebut nama tokoh di tarian Reog Ponorogo seperti, Warok.
“Mereka kan tidak tahu siapa Warok itu. Kami juga mengajarkan Macapat. Macapat itu tembang-tembang Jawa yang berisi petuah kehidupan,” bebernya.
Perempuan yang pernah mengajar ekstra kurikuler kesenian di salah satu sekolah swasta ini mengatakan, sanggar atau sekolahnya selalu terbuka untuk dikunjungi. Terutama siswa yang ingin tahu secara kilat nama dan jenis tembang Jawa, nama-nama alat gamelan dan tokoh-tokoh yang ada di kesenian tari.
“Kami selalu membuka diri. Yang penting bisa membantu sekolah kami, sehingga tetap survive,” harapnya.