FaktualNews.co

Potret Marsinah, Simbol Perlawanan UU Omnibus Law Ciptaker yang Kontroversial

Nasional     Dibaca : 1006 kali Penulis:
Potret Marsinah, Simbol Perlawanan UU Omnibus Law Ciptaker yang Kontroversial
FaktualNews.co/Mokhamad Dofir/
Potret Marsinah tepampang saat demo tolak UU Ciptaker di Surabaya.

SURABAYA, FaktualNews.co – Protes mengguncang Indonesia setelah Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, diloloskan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Senin, 5 Oktober 2020.

Kaum buruh bersama elemen mahasiswa hingga para petani kompak melakukan perlawanan. Mereka turun ke jalan mendesak pemerintah menerbitkan Perppu mencabut UU kontroversial itu.

Ketika beraksi, massa melengkapi diri dengan berbagai atribut, bendera, spanduk hingga poster berisi tuntutan. Beberapa diantaranya berupa sketsa wajah perempuan.

“Ini Marsinah, pahlawan buruh Indonesia,” ucap salah satu peserta aksi unjuk rasa di Surabaya, Selasa (20/10/2020).

Bagi generasi 90-an mungkin tak asing dengan Marsinah. Aktivis buruh yang dibunuh karena melawan dan berjuang ketidakadilan pada kaum pekerja terutama perempuan.

Jasad perempuan kelahiran 10 April 1969 tersebut ditemukan mengenaskan di sebuah gubuk pematang sawah Desa Jagong, Kecamatan Wilangan, Kabupaten Nganjuk, Sabtu (8/5/1993).

Marsinah, sepenggal nama buruh perempuan pabrik arloji PT Catur Putera Surya (PT CPS) berlokasi di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Dikenal sebagai sosok perempuan pintar nan sederhana. Namun, perangainya gigih  ketika melawan, mampu merebus kata-kata hingga mendidih membuat geram penguasa. Ia lantas dianugerahi Yap Tiam Hiem Award karena dianggap memperjuangkan hak asasi manusia.

“Melawan ketidakadilan dari sistem yang selama ini menghisap dia dengan kawan-kawannya dengan berjuang merebut hak-haknya,” tulis Alex Supartono pada buku Marsinah Campur Tangan Militer dan Politik Perburuhan terbitan YLBHI (1999:Pendahuluan).

Tindakan berani dan dinilai heroik itulah menjadikan Marsinah simbol perlawanan kaum buruh di masa sekarang. Wajahnya selalu muncul tatkala kehidupan kuli-kuli industri ini diusik. Termasuk setelah UU Ciptaker yang dituding banyak kejanggalan.

Kisah perjuangan Marsinah bermula ketika buruh PT CPS menggelar aksi mogok kerja, Senin (3/5/1993). Mereka menuntut kenaikan upah sesuai Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 50/Men/1992 yang baru dikeluarkan. Dalam keputusan itu ditetapkan upah pokok para pekerja tanah air naik 30 persen dikisaran Rp 2.250 per hari. Sedangkan dalam surat edaran yang dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Timur Basofi Sudirman, justru mengimbau perusahaan-perusahaan cukup menaikkan upah sebesar 20 persen.

“Surat inilah yang menggerakkan buruh PT CPS untuk berkumpul pada hari libur mereka (buruh). Minggu siang, 2 Mei 1993 untuk membicarakan tuntutan yang akan mereka ajukan pada perusahaan,” lanjut Alex di buku yang sama, (1999:5).

Masih dalam buku setebal 152 halaman tersebut dijelaskan, buruh PT CPS kala itu hanya menerima upah Rp 1.700 perhari ditambah tunjangan tidak tetap antara Rp 550 hingga Rp 850 perhari. Namun, peralatan kerja yang seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan malah dibebankan kepada buruh. Mereka diminta membayar uang sewa sebesar Rp 1.425 perhari. Tentu saja, pendapatan yang diterima buruh akhirnya jauh dari ketentuan pemerintah.

Merasa diakali perusahaan, kompak kaum buruh melawan. Aksi mogok kerja pun dilakukan.

Gerah dengan aksi ini, Selasa (4/5/1993), di hari kedua mogok kerja. PT CPS meminta bantuan Disnaker, Dinsospol, Lurah Siring, Kapolsek Porong, dan Danramil 0816/04 Porong untuk diadakan musyawarah bersama 24 perwakilan buruh guna mencari titik temu. Dari puluhan buruh yang mewakili, sembilan orang diantaranya merupakan pengurus SPSI PT CPS. Sedang sisanya, dipilih secara acak oleh rekan-rekan buruh.

“Marsinah termasuk dari 19 orang ini,” kata Alex ditulis dalam bukunya (1999:8).

Ada 12 tuntutan buruh yang diajukan. Antara lain soal kenaikan upah, uang lembur, penyesuaian cuti, jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan, pemberian tunjangan hari raya, kenaikan uang makan, pembubaran kepengurusan SPSI, pembayaran cuti hamil, penyamaan upah buruh, larangan mencabut hak buruh serta larangan perusahaan mengadakan mutasi maupun intimidasi hingga pemecatan pasca mogok kerja.

Dari 12 tuntutan itu, hanya ada satu butir yang tidak ada kesepakatan. Yakni soal pembubaran kepengurusan SPSI. 11 butir lain solid disetujui secara bersama-sama.

“Dengan tercapainya kesebelas butir kesepakatan diatas, masalah perselisihan perburuhan seharusnya sudah selesai. Ternyata tidak. Kita masih menyisakan Yudo yang pada hari yang sama sedang menghadapi Pasi Intel Kodim 0816 Sidoarjo,” ungkap Alex (1999:11).

Yudo, panggilan Yudo Prakoso, salah satu perwakilan buruh PT CPS yang sejak awal dituding sebagai koordinator aksi mogok kerja pada hari yang sama, dipanggil pihak Kodim 0816. Disana, ia ditemui Serka TNI, Karnadi.

Dalam pertemuan itu, intimdasi dari Karnadi seperti ditulis Alex dalam buku yang disertakan epilog Munir tersebut, kerap diterima Yudo. Macam-macam bentuknya, paling biasa berupa bogem mentah ke wajah sembari memaksa Yudo mengakui dirinyalah dalang aksi mogok kerja yang dikatakan oknum TNI itu, gayanya mirip komunis. Walau begitu, buruh kelahiran Jombang tersebut tetap kekeh tak bergeming, ia lantas digiring menghadap staf Kodim 0816 Sidoarjo, Kopka TNI Buseri.

Esoknya Rabu (5/5/1993), 12 buruh bernasib sama dengan Yudo Prakoso, mereka juga turut dipanggil ke markas Kodim 0816 Sidoarjo dan diminta menemui Pasi Intel, Kapten Sugeng. Ketika datang ke markas, mereka langsung menghadap Serka Karnadi. Di akhir pertemuannya itu, belasan orang ini dipaksa mengundurkan diri dari PT CPS, sebagai bentuk konsekuensi atas sikap kritis mereka.

Di tempat berbeda hari yang sama, Marsinah, kaget atas kabar pemanggilan rekan-rekannya. Perempuan berkulit sawo matang ini kemudian segera menyusun pernyataan sebagai langkah perjuangan melawan represi konglomerasi yang dianggap semena-mena terhadap kaum buruh berupah murah. Marsinah mempertanyakan sikap perusahaan atas pemanggilan belasan teman sejawat ke Kodim 0816 Sidoarjo. Padahal menurutnya, perselisihan nasib buruh sudah selesai seiring adanya 11 kesepakatan yang dicapai.

“Marsinah dalam surat ini mengancam kalau tuduhan terhadap buruh tidak dicabut, dia akan memperkarakan perushaaan sesuai dengan prosedur yang berlaku,” ungkap Alex (1999:25).

Rupanya, Hari Rabu Wage yang diisi penuh perjuangan Marsinah menjadi hari terakhirnya. Upaya menggandakan surat pernyataan untuk disebar, menitipkan ke satuan pengaman perusahaan hingga nekad bertandang ke Kodim 0816 mempertanyakan nasib sejawat menjadi sia-sia.

Pukul 21.15 WIB, dengan setelan kaos putih dipadu rok coklat bersandal jepit. Marsinah keluar rumah menuju kediaman Marni, kawannya. Namun tak dijumpai karena kerja malam. Ia lantas pergi ke rumah Yudo Prakoso bersama Joko dan Asiyem. Di rumah itu Joko dan Asiyem hanya menunggu dari luar, sehingga tidak tahu apa yang Marsinah dan Yudo bicarakan.

Usai dari tempat itu,  Marsinah kemudian mengajak Joko dan Asiyem, mencari makan untuk melepas penat, “Karena merasa malam sudah larut, Joko dan Asiyem menolak,” singkat Alex (1999:29).

Dibawah pohon mangga, dekat tugu kuning Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Ketiganya berpisah. Di tempat itu pulalah detik terakhir Marsinah terlihat masih hidup.

Empat hari kemudian, Sabtu (8/5/2020), jasad Marsinah ditemukan oleh anak-anak tergeletak di sebuah gubuk pematang sawah Desa Jegong, Kecamatan Wilangan, Kabupaten Nganjuk. Hasil otopsi menyebut, Marsinah meninggal sehari sebelum ditemukan dengan cara dianiaya terlebih dahulu karena ditubuhnya banyak ditemukan bekas-bekas penganiayaan berat.

Jenazah semula divisum Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Nganjuk pimpinan Dr. Jekti Wibowo. Yang menunjukkan adanya luka robek tak teratur sepanjang tiga sentimeter dalam tubuh Marsinah. Luka itu menjalar mulai dari dinding kiri lubang kemaluan (labium minora) sampai ke dalam rongga perut korban.

Di dalam tubuhnya juga ditemukan serpihan tulang berasal dari tulang panggul bagian depan yang hancur. Selain itu, selaput dara Marsinah robek. Kandung kencing dan usus bagian bawahnya memar. Rongga perutnya mengalami pendarahan kurang lebih satu liter.

Setelah dimakamkan, tubuh Marsinah kembali diotopsi. Visum kedua dilakukan tim dokter dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Menurut hasil visum, tulang panggul bagian depan hancur. Tulang kemaluan kiri patah berkeping-keping. Tulang kemaluan kanan juga patah. Tulang usus kanan patah sampai terpisah. Tulang selangkangan kanan patah seluruhnya. Labia minora kiri robek dan ada serpihan tulang. Ada luka di bagian dalam alat kelamin sepanjang tiga sentimeter. Juga pendarahan di dalam rongga perut.

“Kematian seorang gadis desa pekerja rendahan itu, mulanya tak mendapat perhatian masyarakat luas. Media massa baru memberitakan secara luas sebulan kemudian semenjak kematian itu, setelah sejumlah aktivis mahasiswa, buruh dan LSM dari berbagai kota di Jawa mempersoalkannya karena curiga kematiannya bukan persoalan kriminal biasa,” Buku Kekerasan Penyidikan dalam Kasus Marsinah, YLBHI (1995:4).

27 tahun kini berlalu. Kendati ada banyak pihak telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan dalam kasus ini. Fakta sebenarnya masih diselimuti tanda tanya dan dianggap kelabu. Walau samar, bagi kaum buruh masa sekarang semangat Marsinah terang benderang. Potretnya menjadi simbol perjuangan melawan kesewenang-wenangan.

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
S. Ipul