SURABAYA, FaktualNews.co – Sambil sibuk menata celana-celana bekas di atas jok dan kemudi motornya, pria paruh baya itu tetap cakap melayani pelanggan. Sesekali ujaran bernada rayuan dia arahkan ke calon pembeli, biar tak urung.
“Barang bagus itu lek, harga sudah paling murah. Kalau di tempat lain enggak boleh segitu,” ujar Mosafak (45), pedagang celana bekas yang kesehariannya berjualan di Pasar Gembong Surabaya, Minggu (25/10/2020).
Tak mempan dengan rayuan itu, si pembeli tetap kekeh dengan harga semula, “Ya kalau boleh Rp 40 ribu, jadi beli,” tawar pembeli.
Seperti enggan melepaskan, Musafak menimpali, “nambah Rp 5.000 ya, bungkus.”
“Ya kalau boleh 40 ribu, aku ambil dua potong lah,” si pembeli menyahutinya tak mau kalah.
Dan Mosafak pun menyerah. Keduanya sepakat dengan harga Rp 40 ribu per potong dengan ketentuan si pembeli mengambil dua potong celana bekas pilihannya. Sejurus kemudian, Mosafak menyelipkan 3 lembar duit pecahan sepuluh ribu dan selembar 50 ribu ke tas pinggang yang tak pernah lupa dia kenakan.
Ya, begitulah sepotong percakapan yang terjadi di salah satu sudut Pasar Gembong, Kota Surabaya. Tempat paling terkenal di mana beragam barang bekas dijual. Mulai dari kebutuhan sandang, perabotan rumah hingga onderdil kendaraan bermotor.
Memasuki kemarau yang hampir berlalu dan setelah berbulan-bulan warga Surabaya dihantam virus Corona, situasi di pasar itu tak berubah. Tetap ramai meski sedang pandemi.
Sebaliknya, di pasar yang kebanyakan pedagangnya berdarah Madura itu disebut-sebut tetap laris manis meski virus Corona sedang mewabah.
“Alhamdulillah rame sekali waktu itu,” ujar Mosafak dengan raut sumringah.
Setiap hari, penjual asal Bangkalan Madura ini menggelar dagangannya mulai pukul 09.00 WIB pagi dan baru tutup pukul 17.00 WIB sore. Ia menempati lapak yang berada didekat lampu merah Jalan Tebasan, Kapasari, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya.
Jangan membayangkan lapak Mosafak itu layaknya sebuah toko atau gerobak kaki lima, bukan seperti itu. Tempat dia memajang pakaian bekas hanya berupa motor dilengkapi payung besar di tengahnya. Barang dagangan pun khusus berupa celana panjang maupun pendek. Tidak ada baju, jas apalagi sepatu seperti pedagang lain.
Namun bila dibandingkan rekannya, Mosafak bisa dibilang lebih beruntung. Sepanjang hari ini, pembeli tampak banyak tertarik melihat dagangannya. “Ini semua baru dikirim, bagus-bagus barangnya,” ucap dia.
Berapa keuntungan setiap hari yang dia bawa pulang? Pria berkulit sawo matang itu enggan mengatakan. Dia hanya menjawab sesekali kali kalimat syukur. “Alhamdulillah, disyukuri saja,” kata Mosafak.
Pasar Gembong disebut-sebut merupakan satu di antara pasar tua di kota pahlawan. Sebagian besar pedagang di pasar itu menggunakan trotoar sebagai tempat berjualan. Meskipun keberadaannya kemudian menjadi problem bagi tata kota dan lalu lintas, kenyataannya Pasar Gembong adalah tempat di mana masyarakat kelas bawah bertemu, berinteraksi dan bertransaksi.
Kemacetan lalu lintas dan tertutupnya akses pemukiman di tempat itu sering kali mengundang protes warga. Pemerintah Kota Surabaya pun merespon dengan melakukan penertiban.
Dan apa yang terjadi? Urusan perut memaksa pedagang kembali berjualan. “Ya kalau diobrak (ditertibkan) kita pergi,” tutup Mosafak, enteng.